4. Dimensi Lain
Ares
***
Sejujurnya, Ares bukanlah orang yang suka sembarangan bertindak. Ia cenderung berpikir panjang sambil menebak konsekuensi yang akan didapatkannya. Apalagi, ini menyangkut nyawa manusia yang katanya sedang terjebak di gudang sekolah. Itu pun entah kata siapa. Ia hanya mendengar pesannya saat ada di ruang penyiaran sambil mendengarkan radio. Ia sedang bersiap-siap memulai siaran langsung saat tengah hari.
Hanya, kini apa yang telah diperbuatnya hingga mereka terdampar di tempat antah-berantah saat malam hari? Tanpa persiapan, tanpa pemberitahuan. Mulanya, Ares mengutak-atik radio usang di gudang sekolah. Siapa tahu ada petunjuk yang ia dapatkan. Namun, ketika mengarahkan antena radio itu ke kanan, dan—oh!
Mereka mendadak sampai di tempat yang sangat gelap dan berdebu.
Posisi jatuhnya pun berantakan. Ares tidak bisa menebak siapa yang menindih siapa. Yang ia tahu, mereka jatuh satu persatu dengan punggung atau tubuh bagian depan yang langsung mencium entah lantai entah apa pun dengan sangat keras.
Refleks, mereka mengaduh bersamaan.
“Punggungku!” keluh Sunni.
“Aduh, kita di mana?” tanya Zeera.
Tunggu, di mana Gayatri dan Dean?
“Gayatri? Dean?” Ares memastikan keberadaan kedua temannya.
“Di sini, Kak,” Jawab Gayatri. Suaranya dari arah kanan. Mungkin cewek itu jatuh terakhir dan langsung berdiri begitu berhasil menguasai diri.
“Apa kalian enggak ada niatan bangun? Kalian kira badanku apa?” Suara Dean akhirnya terdengar. Ternyata, mereka jatuh menindih cowok itu.
Perlahan-lahan, mereka semua bangun dan berdiri. Suasana benar-benar gelap gulita. Kanan dan kiri mereka serupa ruang hampa, tidak terdapat pemandangan apa pun. Apa karena tidak adanya cahaya? Ares mengambil ponselnya dari saku celana. Ia mencoba menyalakan benda segi empat itu, tetapi nihil. Ia ingat betul telah mengisi daya sampai penuh sebelum pergi ke gudang sekolah, tetapi sekarang malah tidak bisa digunakan.
“Ada yang bawa senter?” tanya Ares.
Mendadak, salah satu dari mereka menyalakan senter. Ada sedikit harapan. Ternyata, yang menyalakan salah satu sumber cahaya itu adalah Gayatri. Cewek pendiam yang hanya mengeluarkan sepatah atau dua patah kata saja. Itu pun jika diberi pertanyaan. Jika tidak, jelas saja diam.
“Aya bawa senter ternyata,” komentar Sunni. Kedua tangannya sibuk menepuk-nepuk bagian depan hoodie karena debu yang menempel cukup banyak. “Aku enggak mengira kalau benda itu benar-benar dibutuhkan sekarang.”
“Kamu kira ini zaman purba? Pakai senter aja seperti dapat sesuatu yang berharga?” Dean lagi. Ares mendesah. Agak kesal karena ucapan yang keluar dari mulutnya selalu saja kasar.
“Kalau enggak bisa bantu, mendingan diem aja! Enggak usah bikin suasana jadi runyam!” Ares jadi gatal ingin berkomentar. Nalurinya kuat ingin melindungi sosok yang tampak lemah.
“Hei, kenapa kasih komentar aja enggak boleh? Memangnya kamu siapa?” tantang Dean.
“Bukan begitu cara berkomentar yang benar. Orang tuamu enggak pernah ngajarin?”
Baiklah, sepertinya Dean agak sensitif ketika mendengar kata orang tua. Cowok itu memilih mendengkus keras sambil berdecak dan berjalan begitu saja tanpa melihat arah. Alhasil, kakinya malah terantuk kayu yang suaranya terdengar keras. Dean mengaduh.
Keempat remaja yang lain pun menahan tawa. Puas rasanya melihat kesombongan Dean dibalas kontan saat itu juga.
“Ini senternya, Kak.” Gayatri memberikan senter miliknya pada Ares.
“Aku malah enggak kepikiran bawa senter, loh! Kan udah ada ponsel.” Mengabaikan ucapan kasar Dean, Sunni memilih mengomentari barang bawaan Gayatri itu. “Kamu kok kepikiran, sih, Aya?”
Gayatri menaikturunkan bahunya sekilas. “Di dekat tempat parkir SMANA ada kucing liar. Kalau nunggu dijemput, aku suka main sama kucing itu pake senter. Jadi, tanpa sadar senternya kebawa di tasku.”
“Dasar aneh!” cibir Dean untuk ke sekian kalinya.
Mungkin Zeera merasa tidak lagi bisa menahan diri, ia akhirnya memukul punggung kakak kelasnya itu dengan telapak tangan. Bunyinya cukup keras hingga mampu membuat Ares dan yang lain terkejut. “Kak, dari tadi kudengerin, kalau ngomong jahat banget. Enggak bisa, kah, diem sebentar aja?”
Dipukul begitu, membuat Dean sempat mengaduh dan melayangkan tatapan kesal. Namun, ia mendadak diam. Mungkin karena melihat ekspresi wajah Zeera lebih garang dari pada dirinya.
“Lebih baik kita cari tahu dulu tempat apa ini, baru bisa mikirin jalan keluar supaya bisa pulang. Karena sepertinya kita bukan berada di SMANA lagi,” kata Gayatri.
Gayatri benar. Ares yang menerima senter dari cewek berkacamata bulat itu segera mengarahkannya ke segala arah. Bangunan yang tampak tua karena didominasi oleh kayu yang mulai keropos itu benar-benar asing. Ada beberapa bagian kayu yang mencuat dan terlepas dari posisinya. Pantas saja Dean barusan terantuk benda itu saat berjalan.
Apalagi, muncul suara berderit ketika berjalan. Itu jelas menandakan jika tempat yang mereka datangi itu sudah tidak layak pakai. Berderit seperti akan rusak.
“Ayo kita cari pintu keluar dan lihat keadaan di sana,” ajak Ares pada semua temannya. “Untuk kamu, Dean. Kalau enggak mau bekerja sama, seenggaknya jangan ceroboh!”
Diarahkan senter tepat ke wajah seperti itu, membuat Dean terlihat seperti tersangka. Cowok itu mendadak pasrah dan menurut. Ia bahkan mengikuti keempat temannya berjalan beriringan. Ares di barisan depan sambil mengarahkan senter, Gayatri di belakangnya dengan posisi waspada, Zeera dan Sunni yang sedang bergandengan, serta Dean yang berada di barisan paling belakang seolah menjaga.
Perlahan-lahan kaki mereka melangkah. Berusaha menghindari banyaknya kayu keropos yang mencuat baik dari atap mau pun di lantai. Mereka juga berjalan pelan-pelan karena takut jalan berkayu yang dilalui mendadak roboh. Ares yang memberi komando pada mereka. Ada kayu di depan, harus hati-hati. Berbelok ke kanan, semua mengikuti. Namun, seberapa keras mereka mencoba mencari jalan keluar, mereka seolah hanya sedang mengelilingi bangunan itu berkali-kali.
Hingga, tanpa terasa muncul seberkas cahaya dari arah timur yang masuk melalui jendela di sebuah ruangan. Semuanya kompak menoleh.
“Sudah pagi ternyata.” Zeera melepaskan pegangan tangan Sunni padanya. “Sepertinya semalaman penuh kita cuma berputar-putar di tempat ini.”
“Benar juga. Ada di mana pintu keluarnya?” Sunni mendesah lelah. Cewek itu bahkan memakai tudung kepala dari hoodie miliknya. Lebih terlihat seperti orang Eskimo daripada Sunni yang Ares tahu sebelumnya.
Ares juga ikut memandang ke arah berkas cahaya itu. Sebenarnya ia juga lelah. Berkali-kali mencari jalan keluar, tetapi tidak ketemu. Ia bahkan berpikir nekat hendak keluar dari jendela. Jika jendela itu tertutup, ya ... tinggal terobos saja. Namun, jendela itu hanya berupa teralis tanpa kaca. Benar-benar berlubang sehingga angin malam selalu berembus hingga menembus tulang.
“Jendelanya apa enggak bisa dirusak?” Dean seperti bertanya pada dirinya sendiri. Tanpa menunggu respons dari keempat temannya, ia malah menerobos masuk ruangan berjendela itu dan berdiri tepat di depan teralis. “Kusennya udah keropos, teralisnya berkarat. Kalau ini bisa kuhancurkan, jangan jadikan cowok itu pemimpinnya, ya! Terlalu banyak drama!”
Ares menekan bibirnya rapat-rapat. Rasa kesalnya memuncak, tetapi ia memilih diam daripada adu mulut tidak jelas tanpa hasil apa pun. “Kalau kamu enggak bisa, awas aja!” katanya geram.
“Diterima!” Dean tersenyum miring. Seperti orang yang sudah memperkirakan itu sebelumnya.
Ketiga cewek yang sama-sama terjebak pun hanya bisa mengamati interaksi antara kedua kakak kelas mereka itu. Ares dan Dean, siapa orang di SMANA yang tidak mengenal keduanya? Ibarat dua hal berbeda, Ares menjadi bagian putih karena terlalu sempurna menurut para cewek di sekolah, sedangkan Dean menjadi bagian hitam karena sering dihukum.
Ketiga cewek itu memilih menepi di sudut ruangan dan tidak berniat mengganggu. Dean sedang berpikir keras. Cowok itu menelaah setiap sudut jendela. Siapa tahu ada celah yang bisa memicu kerusakannya. Dan benar saja, begitu ia menemukan yang dicarinya, Dean segera mencungkil bagian itu sedikit demi sedikit menggunakan alat seperti pencabut paku yang didapatnya entah dari mana.
“Bisa, nih!”
Ares mampu melihat ekspresi meremehkan Dean yang biasanya ditunjukkannya saat bolak-balik dihukum. Meskipun Ares tidak terlalu menanggapi ocehan Dean, ia sebenarnya juga bersyukur karena bisa keluar karena bantuan Dean.
Setelah ia mencungkil semua bagian yang dirasa perlu, Dean menarik teralis itu dalam sekali percobaan. Teralis akhirnya berhasil lepas. Lubang yang terbentuk beruntungnya pas untuk dilewati tubuh tinggi para remaja.
Dean mempersilakan ketiga cewek itu untuk keluar lebih dulu. Dimulai dari Gayatri, Sunni, dan terakhir Zeera. Sebelum giliran Dean, cowok itu melihat ke arah Ares sebentar dan memasang ekspresi mengejek.
“Fine!” kata Ares akhirnya. Mereka pun bisa keluar dari bangunan itu dengan selamat.
***
4 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top