38. Kilas Balik 1

Sidoarjo, 16 tahun lalu

Desa Sepande

Hujan bulan September kembali mengguyur Desa Sepande dengan lebat. Angin berlarian dengan kencang hingga mampu menggoyahkan pepohonan, merobohkan palang di depan rumah warga, serta menarik lepas atap gazebo yang terbuat dari seng. Bersamaan dengan itu, awan kelabu gelap telah bermunculan sebelumnya, menutupi  langit Desa Sepande yang semula cerah. Jelas itu artinya sebentar lagi air akan naik.

Sejalan dengan itu, suara tangisan bayi sama kerasnya dengan suara jatuhnya air. Bayi itu mungil, masih merah. Mungkin baru saja lahir. Terbukti ari-arinya masih menempel pada pusar. Apalagi, bayi itu hanya ditutupi kain basahan yang tidak cukup hangat untuk melindungi tubuhnya yang sensitif. Bayi itu hanya di letakkan di keranjang buaian yang bagian atasnya terbuka setengah.

Parahnya lagi, bayi itu dibiarkan begitu saja di depan gerbang panti asuhan, tepat di seberang sungai yang airnya mulai naik. Tanpa rasa iba, orang tuanya menitipkan sang buah hati pada orang-orang di penampungan anak itu dan memilih pergi.

Beruntungnya bagi si bayi, suara hujan perlahan mereda. Kalah dengan tangisannya yang begitu nyaring dan melengking. Mungkin dia benar-benar sudah lelah dan kedinginan hingga langsung tenang begitu ada seorang wanita setengah baya yang menemukannya.

“Ya Tuhan, ada bayi!” Wanita itu terperanjat. Buru-buru berlari menembus hujan, dibukanya pagar panti asuhan, lalu berjongkok untuk mengangkat keranjang buaian berisi bayi itu dan segera kembali.

“Siapa yang tega meninggalkan bayi perempuan ini di bawah guyuran hujan?” Seorang pria lainnya—suami si wanita, ikut mengomel. Buru-buru memakai sandal—meskipun tidak sempurna—dan mengikuti istrinya. Lupa membawa payung pula. Alhasil, hanya menutupi wajahnya dengan telapak tangan agar matanya tidak langsung terkena hujan, lantas merangkul istrinya hingga benar-benar sampai di depan pintu rumah.

“Daripada itu, ayo masuk saja, Pak. Kasihan anak ini pasti kedinginan,” sahut wanita itu sebelum berdiri di atas keset untuk mengeringkan kakinya.

Wanita itu pun memanggil dua anak yang kira-kira seusia anak SMP untuk pergi mengambil handuk besar di lemari penyimpanan. Setelah kedua anak itu kembali sembari membawa handuk seperti yang diminta, barulah wanita itu membaringkan si bayi di atas meja kayu. Tentu saja, sebelumnya meja itu telah diberi alas agar si bayi merasa nyaman.

“Lihat dia, tidak menangis lagi,” kata wanita itu. Ekspresi wajahnya dibuat seceria mungkin agar si bayi tidak merasa sedih. Anehnya lagi, si bayi justru tertawa setelah menangis kencang di depan pagar. Padahal bibirnya sampai biru karena kedinginan, tetapi bayi itu seolah tahu bahwa ia berada di tempat aman sekarang.

Tidak kedinginan lagi.

Tidak sendirian lagi.

“Kita rawat saja, Buk.” Suami wanita itu akhirnya bersuara. “Di sini masih ada satu lagi kasur kosong yang bisa ditempati sama bayi itu. Kasihan. Orang tuanya benar-benar tega.”

“Tapi, bayi ini tidak punya nama, Pak. Mau dikasih nama siapa?” tanya si wanita. Mengabaikan segala proses yang harus dipenuhi dalam merawat anak.

“Panggil Sunni aja dulu.” Si wanita tua mengajak bayi yang dipanggilnya Sunni itu bercanda. “Sunni ... matahari kami. Harapan kami.”

Bersamaan dengan disebutnya nama si bayi, sesuatu seolah masuk ke tubuhnya. Cepat, hingga tidak ada satu pun yang menyadarinya.

***

Desa Kemiri

Seorang pria berusia sekitar 30-an menggendong bayi perempuan di depan sebuah makam yang terletak di Desa Kemiri. Pada batu nisan yang tampak baru itu tertulis nama sang istri yang meninggal minggu lalu. Air matanya meluncur jatuh kala mengingat perjuangan sang istri saat melahirkan putri mereka yang kini berusia delapan bulan.

Azura Putri Yanuar, nama yang ia sematkan sebelum sang istri pergi ke pelukan Tuhan. Sementara Zeera adalah nama panggilan sayang yang mereka tentukan sebelum si bayi lahir ke dunia.

“Kamu pergi cepat sekali, Sayang!” Kepalanya ia sandarkan pada batu nisan yang tampak baru itu. Berbagai macam bunga telah ia tabur sebelumnya. Begitu pun dengan air mineral yang ia siramkan di atas tempat peristirahatan terakhir istrinya. Ia juga meminta tolong kepada penjaga makam agar merawat pohon yang sengaja ditanam di dekat makam sang istri seperti payung yang menaungi saat hujan.

“Zeera sudah bisa merangkak sekarang. Kamu juga melihatnya, kan?” Pria itu tahu bahwa berbicara sendiri tidak akan membawa kembali istrinya. Namun, setidaknya ia pernah mendengar bahwa roh sang istri akan datang ketika ia mengunjungi makamnya. Karena itulah ia memutuskan berbicara. Meskipun tidak akan mendapatkan jawaban langsung, ia tetap merasa jika istrinya akan mendengar.

Zeera kecil menggeliat dalam gendongan pria itu. Tangisan kecil terdengar dari mulut mungil Zeera. Sesekali ia menepuk-nepuk kaki Zeera pelan agar Zeera kembali tenang. Pria itu pun mendadak menghapus air matanya agar tidak keluar lebih banyak. Meskipun rasa rindunya tidak tertahankan lagi,  ia jelas tidak boleh menangis atau jalan sang istri akan semakin jauh. Tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan lebih lama atau jalan yang ditempuh akan berliku. Apalagi, sampai sang istri enggan pergi ke keabadian yang menantinya.

Tidak, ia benar-benar berharap itu tidak terjadi.

“Sesuai janjiku sama kamu, Zeera aku ajak ke sini sekali aja, ya. Karena anak kita masih bayi. Nanti, kalau Zeera sudah bisa berjalan dan menjadi balita, kami akan ke sini lagi setiap minggu,” katanya. Tekad kuat terpancar di sorot matanya yang sendu. Dalam hatinya selalu ia tanamkan satu hal: jangan sampai Zeera kekurangan kasih sayang orang tua. Ia bertekad akan menjadi ayah sekaligus ibu bagi buah hatinya.

Seolah sang istri menjawab janji yang pria itu sampaikan dalam diam, angin berembus kencang sekali. Dedaunan ikut berguguran disertai bau tanah basah yang terbawa angin. Zeera menggerak-gerakkan tangannya heboh, sepenuhnya terbangun dari tidur nyenyak. Sambil bersuara lucu, tangan kecilnya seperti hendak menggapai sesuatu di atas sana. Si pria malah tertawa kecil melihat tingkah laku bayi mungilnya. Hatinya yang semula tertutup kabut kesedihan, menjadi lebih baik setelah dihibur oleh Zeera.

Setelah dirasa cukup, si pria berdiri. Ia memperbaiki posisi Zeera dalam gendongannya agar bayinya itu merasa nyaman. Namun, baru satu langkah ia berbalik hendak pergi, angin kencang kembali menerpa mereka. Seperti ada benda yang jatuh dari langit dengan sangat cepat.

Anehnya, bukan jatuh di tanah seperti yang ia kira. Suara jatuhnya pun tidak terdengar sama sekali. Guncangan atau apa pun yang menjadi patokannya, juga tidak ada. Dilihat ke segala penjuru pun tidak ditemukannya benda itu. Tahu-tahu, Zeera menangis keras sekali. Buru-buru ia membawa bayinya itu pergi. Mungkin Zeera ingin kembali pulang.

***

8 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top