37. Keputusan Bulat

Sunni

Mereka terlonjak ketika mendengar suara berat nan serak menerobos masuk gendang telinga. Mereka seketika berbalik dan langsung terperangah ketika melihat Pak Fero—kepala sekolah SMANA yang sebelumnya tidak sadarkan diri, kini terbangun. Benar-benar sehat, tidak kurang suatu apa pun.

Sosoknya tinggi besar, sangat berkebalikan dengan Sea. Mungkin karena Sea memiliki dua darah dari dunia yang sepenuhnya berbeda, sehingga darah yang dominan mengalir pada Sea adalah khas Ansoncree. Bukan hanya itu saja, Pak Fero tampak semringah. Binar di matanya terang sekali. Senyumnya merekah, seperti tanpa beban.

“Selamat, Anak-anak!” kata Pak Fero lagi. Tawa khas orang tua berusia sekitar lima puluhan terdengar. “Kalian akhirnya berhasil membantu kami. Pusaka leluhur Ansoncree telah kembali seperti sediakala dan seluruh nyawa yang terserap kini kembali pada pemiliknya.”

“Ayah!” Sea yang pertama kali memberi respons atas sadarnya kepala sekolah SMANA itu. “Aku merindukanmu,” katanya lagi.

Sea langsung memeluk Pak Fero erat. Membenamkan wajahnya yang hanya setinggi dada Pak Fero. Menghirup aroma yang mungkin dirindukannya selama ini. Lantas, tanpa basa-basi lagi, Sea menangis keras. Pak Fero menepuk punggungnya, berusaha menenangkan Sea.

“Terima kasih, Anak-anak,” kata Pak Fero.

Cukup lama Sea menangis dan meluapkan semua keluh kesahnya pada sang ayah. Ketika akhirnya Sea berangsur-angsur tenang, barulah cewek itu mengurai pelukannya.

Melihat interaksi antara ayah dan anak itu, Sunni sedikit iri. Ia tentu ingin memiliki sosok ayah dan menghabiskan waktu dengannya, tetapi rasanya mustahil. Sunni jadi memilih menghapus air matanya yang menetes karena haru.

“Barusan Anda bilang kalau setiap nyawa yang terserap telah kembali. Jadi ... ” Kalimat Ares menggantung di udara. Cowok itu menatap Pak Fero tepat di mata tua kepala sekolah SMANA itu. Agaknya, Ares mencari segala macam penjelasan logis yang harus didengarnya. Ralat, didengar Sunni dan semua temannya, tentu saja.

Pak Fero mengangguk. “Mari, lihatlah sekeliling.”

Diminta begitu, Sunni lantas mengarahkan pandangannya ke segala arah. Begitu matanya menangkap suasana janggal, tetapi membuat tenang, Sunni seketika terperangah. Keadaan saat ini seratus persen berbeda daripada sebelumnya. Jika semula gelapnya malam terasa mencekam, kini benar-benar membuat nyaman. Kunang-kunang beterbangan ke seluruh penjuru, membuatnya terang benderang.

Bukan hanya itu saja, langit malam yang terlihat dari balik jendela tanpa kaca pun tampak berhamburan bintang. Tidak lagi mendung, tidak lagi tertutup awan kelabu.

“Keluarlah! Dan lihat apa yang terjadi.” Pak Fero berkata lagi.

Sunni dan semua temannya saling pandang. Begitu anggukan mantap tercipta, buru-buru mereka pergi menuju tempat mereka masuk sebelumnya. Ketika berjalan, kumpulan kunang-kunang itu seolah memimpin mereka, memberi petunjuk arah. Benar-benar ajaib.

Saat hampir sampai pada jendela yang rusak untuk keluar pun, mereka tidak diarahkan ke sana, melainkan ke sebuah pintu ganda yang mendadak tercipta.

“Luar biasa! Ternyata sekolah ini punya pintu juga.” Celetukan Dean benar. Sunni setuju dengan Kakak kelasnya itu. Padahal, mau dicari sampai bagaimana pun, awalnya mereka tidak menemukan pintu untuk keluar masuk. Namun, kini benda itu benar-benar ada dan terlihat nyata.

“Bukalah,” kata Pak Fero. Rupanya kepala sekolah SMANA itu ikut berjalan di belakang mereka sambil menggandeng tangan Sea.

Ares yang bergerak membuka pintu ganda berwarna putih itu. Perlahan, pintu itu terbuka. Udara segar seketika menyapu kulit bersamaan dengan bau tanah basah yang menenangkan.

Mereka tidak menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi. Langkah kaki mereka lebar-lebar, seolah ingin cepat-cepat pulang. Begitu sampai di luar sekolah tua, ternyata banyak orang yang berkumpul di sana.

Orang-orang pribumi itu akhirnya tampak normal. Iris mata mereka tidak lagi putih sepenuhnya. Kendali atas tubuh mereka menghilang. Tergantikan oleh sosok manusia nyata yang mampu berpikir jernih.

Salah satu dari mereka, maju mendekati Sunni dan semua temannya. Sunni seketika terperangah. Ia ingat betul jika orang itu adalah orang yang sama yang ia sentuh dan menghilang. Syukurlah, akhirnya orang itu dapat kembali.

Orang itu lantas berkata, “Terima kasih telah menyelamatkan kami. Kalau bukan karena kalian, Ansoncree mungkin akan benar-benar lenyap.”

Bukan hanya satu orang saja yang mengucapkan terima kasih, tetapi semua penduduk Ansoncree saling bersahutan menunjukkan rasa hormat. Hati Sunni seketika menghangat. Ia tersenyum manis sekali. Begitu juga dengan Gayatri dan Zeera yang benar-benar terpaku. Ares dan Dean pun hanya mampu berdiam sambil merasa bangga.

“Tinggallah kalian lebih lama di sini. Akan kami adakan perayaan,” kata orang itu lagi.

Senyum Sunni merekah. Ia menatap semua temannya, berharap mereka setuju. Namun, Sunni seketika mengerti saat melihat keraguan tampak jelas di mata semua temannya, terutama Gayatri.

“Kami menghargai niat baik Anda, Tuan,” kata Ares. “Tapi, kami tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Ada yang menunggu kami di rumah, sehingga kami harus segera pulang.”

“Lagi pula, urusan kami telah selesai. Masyarakat Ansoncree telah kembali seperti sediakala. Pusaka leluhur pun tidak bermasalah lagi,” timpal Gayatri. Ia melirik sekilas pusaka leluhur Ansoncree yang melayang di depan Pak Fero.

“Kalau itu niat kalian, kami tidak bisa memaksa. Sekali lagi, kami ucapkan banyak terima kasih.” Di akhir kalimatnya, orang itu membungkuk sekilas. Aksinya itu diikuti oleh seluruh penduduk di belakangnya. “Berkunjunglah jika kalian memiliki banyak waktu.”

Hanya seperti itu saja, orang-orang pribumi seketika berbalik pergi. Bersama dengan keluarga masing-masing, mereka saling menyalurkan kerinduan dan suasana kembali haru di tengah hiruk-pikuk penduduk pribumi yang bergerak menjauh. Tidak berselang lama, tersisa Sunni dan keempat temannya beserta Pak Fero dan Sea di depan bangunan sekolah tua.

“Kalian yakin, enggak mau menginap dulu?” tanya Sea. Tangan mungilnya memegang tangan Sunni. “Aku benar-benar berterima kasih karena kalian sudah membantu. Kalau enggak ada kalian atau pesan radio itu enggak sampai, entah apa aku masih bisa bertemu ayahku atau enggak.”

“Sea,” panggil Sunni lembut. “Sama seperti kamu, kami juga ingin bertemu dengan keluarga kami lagi. Meskipun Kak Dean pernah bilang enggak ada yang mencarinya—”

“Hei, kenapa bawa-bawa cerita itu?” sela Dean cepat. Sorot matanya tidak suka, tetapi cocok itu tidak marah lebih lama.

“Intinya, kami juga kangen rumah. Kamu mengerti, kan?”

Sea mengangguk cepat. Ia lantas memeluk Sunni erat sekali. Sunni pun sama. Teman baru didapatkannya secara tidak terduga. Tentu saja hubungan baik ini tidak boleh sirna, bukan?

Setelah memeluk Sunni, Sea beralih memeluk Zeera dan Gayatri sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lalu ia mendekati Ares dan Dean, mereka menempelkan telapak tangan dengan riang.

“Kalian benar-benar ingin pulang sekarang?” tanya Pak Fero.

Ares mengangguk. “Benar, Pak. Keputusan kami sudah bulat. Berada jauh dari keluarga ternyata membuat kami benar-benar rindu rumah.”

“Kami keluarga kalian juga sekarang.”

“Saya yakin Anda mengerti maksud saya, Pak.” Sungguh, senyum Ares kembali berwibawa lagi. Mungkin karena yang dihadapinya adalah kepala sekolah SMANA. Sebagai ketua OSIS, ia jelas tidak boleh menunjukkan kelemahan.

Pak Fero justru tertawa renyah. “Memang ketua OSIS SMANA. Kamu benar-benar enggak bisa ditebak.”

Hanya begitu saja obrolan mereka. Pak Fero lantas menggunakan pusaka untuk membuka portal. Sunni menahan napas. Akhirnya mereka benar-benar pulang, bukan?

Ia rindu ibu panti asuhan. Ia rindu teman-temannya di sana. Namun, ia juga bersyukur karena mengenal Ares, Dean, Zeera, Gayatri, dan Sea meskipun hanya dalam beberapa hari.

***

7 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top