35. Dean dan Kisah Singkatnya
Dean
Gayatri tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Dari mana Kak Dean punya benda seperti ini?”
Sungguh, Dean tidak mengira jika seorang perempuan seperti Gayatri bisa bersikap agresif. Maksudnya, selama ini cewek itu tidak pernah menunjukkan ketertarikannya secara gamblang. Setelah sekitar lima hari berteman, cewek itu cepat sekali beradaptasi.
Dean tidak mempermasalahkan tindak tanduk Gayatri, sebenarnya. Ia hanya sedikit tidak habis pikir. Selama ini, semua orang yang mengenalnya akan cenderung menyembunyikan jati diri karena merasa takut padanya. Takut pada wajahnya yang dianggap garang karena kerutan selalu ia munculkan di dahi. Bahkan, perkataan-perkataan tidak menyenangkan juga sering ia keluarkan. Jadi, aneh saja ketika Gayatri justru bersikap berani.
“Dari mana, ya? Aku lupa,” jawab Dean sekenanya. Ia bukannya tidak ingat, tetapi malas mengingat-ingat kejadian yang sudah lalu. Toh, untuk apa? Masa lalu bukanlah hal baik untuk selalu dikenang. Setidaknya, itu bagi dirinya yang tidak memiliki kenangan indah.
“Kak, jangan bohong!” Gayatri tampak marah. Mereka kini saling berhadapan di tengah-tengah ruangan. Semua pasang mata termasuk Gayatri, sedang melihatnya seperti menginterogasi tersangka.
“Kalau itu memang pasangan pusaka yang kita cari-cari, kenapa Kak Dean enggak ngomong sama sekali?” Bukan hanya Gayatri yang tampak marah, tetapi Zeera juga. “Apa Kak Dean enggak mau pulang?”
“Tunggu ... tunggu,” sela Dean. “Jangan marah dulu, dong! Kalian main tuduh aja.”
“Kami enggak akan nuduh kalau Kak Dean jujur dari awal, dong!” Kali ini Sunni yang tampak sewot.
“Oke ... oke. Aku coba ingat-ingat dulu,” kata Dean akhirnya. Pasrah karena enggan berdebat lebih jauh dengan para cewek yang sulit sekali dibantah. Ia pasti kalah telak kalau nekat. Jadi, lebih baik menyerah sambil melakukan tindakan yang dapat menenangkan Gayatri, Sunni, Zeera, dan terutama Sea.
Dalam keheningan yang terasa, semilir angin menerobos masuk ruangan yang mereka tempati melalui sela-sela jendela teralis tanpa kaca. Dinginnya tetap saja menusuk tulang. Jaket hitam yang Dean kenakan benar-benar tidak dapat dijadikan penghalang. Otomatis, ia menggigil seketika.
Hanya, membuang-buang waktu di saat seperti ini jelas bukan hal baik. Dean melihat ke atas, menerawang. Ia berusaha keras mengingat-ingat di mana pernah menemukan batu permata berwarna merah yang diduga pasangan pusaka leluhur Ansoncree. Ralat, bukan menemukan, tetapi mengambilnya karena warnanya yang menarik.
“Kalau enggak salah, aku melihat benda itu di ruang kepala sekolah di SMANA.” Dean kembali bersuara. Semua temannya tidak ada yang menyela. Mereka mendengarkan Dean dengan saksama seolah sedang berhadapan langsung dengan penjelasan guru di sekolah. “Waktu itu malam. Aku belum pulang. Enggak ada siapa-siapa juga di SMANA jam segitu. Pak satpam si pemakan gaji buta juga enggak kelihatan.”
“Ngapain Kak Dean ke sana malam-malam?” tanya Sunni, penasaran.
Dean meliriknya sekilas, lalu kembali berbicara. “Cari angin,” katanya singkat.
“Kak Dean cari tempat kabur dari rumah, kan?”
Serius, Dean benar-benar tertohok dua kali. Kedua-duanya pun karena ulah Gayatri. Mengapa cewek itu menjadi begitu berani sekarang? Semua kalimat yang keluar dari mulutnya serupa kebenaran sekaligus kebohongan yang dibuat-buat. Dean tidak bisa membantah. Tidak pula dapat mengelak karena apa yang diucapkan cewek itu adalah apa yang ia rasakan sebenarnya.
Dean mendengkus keras. Dirinya menjadi terlalu melankolis. Hal itu benar-benar membuatnya kesal setengah mati.
“Kalau yang kamu maksud kabur itu karena mengira aku anak urakan yang enggak pernah pulang, kamu salah besar, Aya.” Dean memilih jujur. Tidak ada celah lagi untuknya menghindar lebih lama. “Suasana rumahku sama sekali enggak menyenangkan. Aku bahkan yakin banget kalau kalian mampir ke sana, pasti akan ada omongan-omongan kasar yang bikin kesal. Jadi, lebih baik cari udara segar, kan?”
“Apa yang membuat Kak Dean jadi lebih terbuka ke kami?” Gayatri bertanya lagi. Dean meliriknya sekilas, sepertinya Gayatri termasuk cewek yang tidak pernah puas.
“Sesederhana karena kalian adalah temanku sekarang.”
Sungguh, Dean menjadi malu sendiri. Dari mana keberanian untuk menyatakan apa yang ia rasakan begitu gamblang? Terlebih lagi, pada keempat cewek yang usia setahun lebih muda darinya dan Ares yang sudah ia anggap musuh bebuyutan. Meskipun tidak secara langsung, tentu saja.
Jika begitu, ke mana ucapannya yang tidak ingin didengar pada Bu Indah waktu itu, ya?
“Jadi, setelah Kak Dean berhasil kabur dari rumah waktu malam hari, apa hubungannya dengan pasangan pusaka?”
Dean mengembuskan napas pasrah. Jika terlalu bertele-tele, Zeera pasti akan protes. Dean benar-benar memperhatikan setiap gerak-gerik cewek yang tampak anggun ketika banyak senyum itu.
“Yang dari tadi mengalihkan pembicaraan, siapa?” sungut Dean. Meski begitu, ia tetap melanjutkan ucapannya. “Waktu itu kalau enggak salah malam Senin. Bisa kalian bayangkan bagaimana sepinya sekolah karena besoknya hari paling capek?”
Tidak ada jawaban. Semuanya tetap diam mendengarkan Dean.
“Aku iseng ke sekolah karena katanya Pak Fero suka bertingkah aneh kalau malam. Tenang, aku bukan tipe orang yang percaya begituan. Tapi, tetap aja penasaran.”
“Jadi, karena itu Kak Dean bela-belain datang ke SMANA waktu malam demi rumor enggak berbobot itu? Kupikir Kak Dean orangnya kritis. Ternyata, percaya rumor.” Zeera tidak bisa menyembunyikan ekspresi mengejek di wajahnya.
“Huh, kalau aku enggak ke sana, pasangan pusaka enggak akan pernah kuambil dan kita enggak akan bisa pulang, benar?” balas Dean ketus. “Jadi, kalian harusnya berterima kasih padaku.”
“Apa waktu Kak Dean menemukan pasangan pusakanya, ada tanda-tanda keberadaan Pak Fero?” tanya Sunni hati-hati.
“Rasanya ... enggak. Kalau diingat-ingat lagi, Pak Fero udah enggak kelihatan sekitar semingguan. Pasangan pusaka itu pun tergeletak di dalam rak buku yang terbuka seolah menunjukkan eksistensinya padaku,” kata Dean lagi.
“Jadi, karena itu kamu ambil pasangan pusaka dan membawanya secara enggak sadar?” Ares yang sejak awal diam dan tenang, kini mulai menunjukkan ketertarikannya.
Dean mengangguk. “Ceritanya udah jelas, kan? Kalau begitu, jangan membuang-buang waktu lebih lama lagi. Pusaka leluhur Ansoncree udah dikeluarkan dari dalam tanah. Enggak menutup kemungkinan benda itu akan bereaksi lebih brutal sebelum kita sempat mengatasinya. Yah, meskipun kita bawa Onyx.”
“Baiklah.” Gayatri yang lebih dulu berdiri. Disusul Ares, Sea, Zeera, Sunni, dan terakhir Dean.
Mereka kembali mengerubungi pusaka yang masih aman dalam cangkang transparan. Percaya atau tidak, mereka menahan napas ketika memastikan benda yang dibawa Dean dengan pusaka dalam cangkang sama persis atau tidak.
Beruntung, mereka menemukan titik terang dalam pencarian yang terhalang jalan buntu itu. Seolah ingin ditemukan, pasangan pusaka yang biasanya tidak memancarkan cahaya itu kini mengeluarkan pendar merah terang dari balik jaket hitam Dean. Karena itulah Gayatri mudah sekali mengenalinya.
“Apa kalian siap?”
Pertanyaan Ares barusan benar-benar menyedot paksa perhatian mereka.
***
5 November 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top