34. Antara Keberuntungan atau Kesialan

Zeera


Semua hal yang terjadi di Ansoncree seperti sengaja dibuat agar Zeera dan keempat temannya terjebak lebih lama. Mereka hanya terus berputar pada siklus yang tidak kunjung berakhir. Pintu masuk terbuka ketika Ares mengarahkan antena radio ke kanan. Namun, pintu keluarnya tidak dapat ditemukan di mana pun. Seolah ada tembok tidak kasat mata yang menghalangi mereka untuk pulang.

Zeera jadi terus bertanya-tanya, harus berusaha seperti apa lagi hingga mereka diperbolehkan kembali ke rumah? Lima hari mengelilingi Ansoncree tanpa tujuan pasti. Kini, ketika pusaka telah ditemukan, mengapa justru muncul masalah lain?

“Apa benar ini tulisan tangan Pak Fero?” Bukan tanpa alasan Zeera bertanya begitu. Mengingat sebelum sampai di sekolah tua ini, mereka kerap kali dibohongi oleh sosok pemimpin yang tidak punya otak. Hasutan-hasutan semacam ini harusnya tidak lantas membuat mereka langsung percaya.

“Itu tulisan tangan ayah.” Sea mengarahkan telunjuknya pada salah satu tulisan di atas kertas itu. “Lihat, ayah selalu memberikan tanda berupa huruf A dan S yang berarti inisial dari Ansoncree.”

“Kalau itu palsu dan sengaja dibuat oleh seseorang, bagaimana?” Masih tidak percaya, Zeera harus mengorek informasi lebih jauh. Bukan demi kesenangannya sendiri, melainkan demi keberlangsungan rencana mereka selanjutnya.

“Mau coba hancurkan pusakanya?” tanya Dean asal.

“Jangan!” sergah Zeera. Ares, Gayatri, Sunni, dan Sea pun kompak berteriak. Ia benar-benar tidak habis pikir. Jalan pikiran Dean ternyata ekstrem juga.

“Kalau masih ragu, lebih baik kita coba dulu hancurkan pusakanya. Mudah, kan?” Sepertinya Dean juga merasa frustrasi hingga nekat mengusulkan ide tanpa pikir panjang.

Zeera tidak bisa menyalahkan kakak kelasnya itu, sebenarnya. Namun, ide Dean tentu saja sangat berisiko. Apalagi, kesialan tetap menghantui mereka. Masalah satu selesai, muncul masalah lain. Jalan pulang yang mulai terbuka, kini justru kembali tertutup. Memangnya, kapan kejadian-kejadian di luar logika ini akan benar-benar berakhir?

“Kamu enggak bilang kalau sekat pembatas antara Ansoncree dan bumi bakalan hilang, Sea?” Dean mengarahkan telunjuknya pada Sea. Rupanya ia menuntut Sea karena hanya Sea yang mengetahui semuanya dari awal. “Jangan bilang kamu enggak tahu. Lima hari kami luntang-lantung di tempat ini, begitu benda yang dicari akhirnya ketemu, sekarang malah muncul masalah lain. Yang benar saja!” Secepat kilat Dean menyela Sea yang hendak berbicara.

Diam-diam Zeera setuju dengan Dean. Entah apa yang membuatnya dan semua temannya tidak bisa yakin sepenuhnya. Sebentar-sebentar ragu, sebentar-sebentar meminta maaf karena bersikap seenaknya. Ia juga sebenarnya tidak berniat menyalahkan Sea lebih jauh. Ia juga tahu jika Sea bukan tipe cewek yang akan menyembunyikan sesuatu demi keuntungannya sendiri. Namun, rasa frustrasinya sudah sampai di ubun-ubun. Bukankah diam saja di saat seperti ini tidak akan membantu sama sekali?

Karena itulah, Dean sengaja bertanya. Zeera yakin sekali.

“Aku emang enggak tahu, Kak,” cicit Sea sambil menunduk.

“Kak, enggak usah nuduh, bisa, kan?” Zeera berusaha tenang. “Kita udah sampai sini. Semua hal yang kita lakukan sebelumnya sebentar lagi membuahkan hasil. Daripada marah-marah enggak jelas, lebih baik mikirin jalan keluarnya, kan?”

“Dengan cara apa?” sambar Dean. “Di surat itu jelas tertulis kita harus temukan pasangan pusakanya dulu. Cari satu pusaka aja butuh waktu lima hari, mau sampai kapan kita di sini? Mau cari ke mana lagi?”

“Apa enggak ada petunjuk?” Bukan Dean, melainkan Ares yang bertanya pada Sea.

Dean mendengkus kesal. Mungkin karena lagi-lagi diabaikan secara terang-terangan.

“Mau cari petunjuk di mana?” Lagi-lagi, Dean menyela sebelum Sea sempat berbicara.

“Kak, tunggu dulu, astaga!” Zeera pun kembali menyuruh Dean agar tidak terburu-buru. Meski dirinya juga ragu, bukan berarti ia harus secara gamblang menunjukkan sikap tidak suka pada Sea.

Satu menit, dua menit, hingga lima menit berlalu, tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Sea. Cewek itu masih berpikir keras. Alisnya berkerut dalam sekali. Bulir-bulir keringat menetes dari dahinya. Sesekali Sea mengusap keringatnya dengan punggung tangan. Sea juga tampak gusar. Kegelisahan tergambar jelas dari matanya yang berkali-kali melihat ke kanan dan ke kiri.

“Ruangan ini adalah ruang kepala sekolah, benar?” Gayatri membuka pembicaraan. Semua mata melihatnya. “Kalau begitu, ayo kita cari informasi yang mungkin dari semua buku yang ada di sini.”

“Aya benar,” kara Ares. “Itu lebih baik daripada hanya diam. Apalagi kalau sampai menyalahkan orang lain.”

Seperti tertohok, Dean yakin sekali jika ucapan Ares barusan ditujukan untuknya. “Aku enggak menyalahkan orang lain, kalau kamu lupa.”

“Aku enggak bilang kamu menyalahkan orang lain, Dean. Bukan aku yang membuatmu sadar, tapi kamu sendiri.”

Baiklah, Dean terlihat kalah telak. Mereka akhirnya berpencar, mengelilingi ruang tempat Pak Fero tidak sadarkan diri ini. Ares, Sea, dan Gayatri memulai penyelidikan dengan mengambil beberapa buku pada lemari kayu. Dean membantu mereka membawa buku-buku itu ke tengah ruangan. Sedangkan Zeera bersama Sunni, mereka membongkar kardus-kardus yang terletak di sudut ruangan karena isinya juga buku.

Mereka berkutat dengan segala macam bacaan tanpa memedulikan sekitar. Cangkang tempat pusaka diletakkan itu telah ditutup kembali, menyisakan binar merah terang yang lumayan menyulitkan penglihatan. Meskipun terganggu, tidak ada yang protes dan lebih memilih fokus mencari segala jenis informasi.

Buku pertama selesai dibaca. Lanjut ke buku yang kedua. Kedua lanjut ketiga. Begitu seterusnya hingga tumpukan buku yang mereka baca mulai menggunung. Waktu yang mereka lalui pun bergerak begitu cepat. Siang hari menjadi malam hari. Terbukti dari keadaan yang mulai gelap.

“Ah, aku capek.” Zeera melempar buku yang terakhir ia baca. “Di mana lagi kita harus mencari petunjuknya? Pak Fero, bisakah Bapak bangun dan mengatakannya pada kami?”

Ia malah mengajak bicara seseorang yang terpejam. Namun, seberapa keras ia mencoba, Pak Fero tetap tidak bereaksi. Beruntung, dada Pak Fero bergerak naik turun dengan teratur. Artinya, kepala sekolah SMANA itu masih berada di dunia ini.

“Sea, kamu punya ide lain?” tanya Ares. Merasa tidak ada respons dari Sea, Ares mencoba bertanya kepada semua temannya. “Apa kalian enggak terpikirkan sesuatu?”

Zeera menggeleng, begitu juga dengan Sunni. Dean apalagi. Cowok itu hanya merespons dengan gelengan cepat tanpa berniat membicarakan apa yang sedang dipikirkannya.

“Dari awal, aku penasaran, Kak,” celetuk Gayatri. Sorot matanya begitu misterius dan penuh tanda tanya. “Sebentar. Kak Dean tolong diam dulu.”

Tanpa bisa mencegah tingkah laku Gayatri selanjutnya, Dean pasrah saat cewek berambut pendek itu mencengkeram jaket hitamnya. “Hei, kamu ngapain?” Dean hanya bisa mendelik tanpa sanggup mendorong Gayatri menjauh.

“Aku penasaran sama ini.” Gayatri berhasil mengambil benda berwarna merah dari balik jaket hitam Dean. Diarahkannya benda itu ke dekat pusaka. Binar merahnya sama. Bentuk dan ukurannya juga sama.

Gayatri seketika menatap Dean horor. “Dari mana Kak Dean punya benda seperti ini?”

Bukan hanya Gayatri yang terkejut, sebenarnya. Zeera yang bertindak sebagai orang awam pun tahu bahwa benda dari balik jaket Dean itulah pasangan pusaka leluhur Ansoncree.

***

4 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top