32. Ternyata Belum Usai

Sunni


Kalian mungkin akan kembali ke tempat semula.

Tidak ada yang terpikirkan sebelumnya jika tempat mereka datang, mungkin juga tempat yang menjadi lokasi terkuburnya pusaka. Betapa bodohnya. Tidak mencoba kemungkinan lainnya. Sunni bahkan sempat mengira jika pusaka leluhur Ansoncree pasti ada di kastel pemimpin, mengingat eksistensinya yang begitu hebat.

Bukan tanpa alasan Sunni berpikir demikian. Biasanya, pusaka atau benda peninggalan bersejarah lainnya selalu diletakkan di tempat paling aman, megah, dan sakral, seperti kastel pemimpin yang dikatakan oleh Sea telah dibangun sejak Ansoncree tercipta. Artinya, sama lamanya dengan patung Dewa, bukan?

Hanya, mereka sudah pernah mendatangi patung Dewa. Tidak ada yang mereka temukan di sana. Cahaya merah dari dalam tanah waktu itu pun ternyata palsu. Helizar yang membuatnya seperti itu untuk memancing Sunni beserta semua temannya.

Untuk menghentikan mereka, tentu saja.

“Mungkin aja cahaya merah yang aku dan Aya lihat di dekat gapura itu asli.” Entah bagaimana caranya, Dean mendadak terpikirkan suatu kemungkinan. Otak Sunni rasanya tidak akan sampai sana. Maksudnya, ia hanya percaya pada sesuatu yang memang nyata terjadi, bukan pada spekulasi yang bersifat subjektif.

“Kalau memang begitu, kita benar-benar sudah terjerumus terlalu jauh,” komentar Zeera. “Ayo, sampai kapan di sini terus? Helizar udah lenyap. Kastel bukan lagi tempat yang harus dikunjungi lama-lama karena pusaka udah terbukti enggak ada di sini.”

“Teleportasi?” celetuk Dean.

Semua mengangguk setuju. Bahkan, Sea ternyata lebih bersemangat setelah sebelumnya hampir kehilangan nyawa. Bekas di lehernya belum hilang, tetapi rona wajahnya sudah kembali seperti biasanya. Ada binar terang dari matanya. Mungkin karena sebentar lagi akan berhasil menyelesaikan misi. Ah, atau berhasil menyelamatkan Ansoncree? Entahlah, Sunni kira keduanya juga sama-sama membuat bahagia.

Karena itulah, mereka tidak menunda terlalu lama lagi. Ares yang pertama kali bergerak, membantu Gayatri berdiri. Kaki cewek berkulit sawo matang itu rupanya masih lemas, tetapi masih bisa diajak kompromi. Sementara Dean, Zeera, dan Sunni, mereka lalu mendekat pada Sea sambil berpegangan tangan seperti sebelumnya.

“Kalian siap?” tanya Sea, memastikan saja.

“Enggak pernah sesiap ini,” balas Sunni sambil mengembuskan napas lewat mulutnya. Menurutnya, melakukan hal itu akan membuat rasa gugupnya hilang. Ibu panti yang selalu mengajarinya, selain kalimat motivasi.

Sea menjentikkan jarinya sambil memejam. Selain dirinya yang memegang Onyx, semua batu penangkal milik Sunni dan keempat temannya sudah kembali melebur dalam tubuh. Tandanya, hal yang harus mereka lakukan benar-benar berkurang kali ini.

Mereka seketika berpindah. Dalam sekejap saja, jarak antara kastel pemimpin dengan gapura berlumut pun dapat dilalui. Cepat, tanpa harus membuang-buang waktu seperti sebelumnya.

“Aku rasanya benar-benar terbiasa.” Zeera melepaskan tangannya dari Sunni dan mengalihkan pandangannya pada Sea. “Ngomong-ngomong, kenapa berhenti di gapura?”

“Benar, kenapa enggak langsung aja ke bangunan tua itu?” imbuh Sunni. Ia juga penasaran, sungguh.

“Aku hanya ingin bersama kalian lebih lama.” Sea malah menunjukkan deretan giginya lucu. Sementara, Sunni dan Zeera mengernyit heran. Bukankah selama ini mereka selalu bersama?

“Teman-teman!”

Seruan Ares tidak digubris. Sunni dan yang lainnya justru lebih tertarik dengan alasan Sea. “Kamu enggak berniat kabur atau semacamnya, kan?”

“Tentu aja enggak, Kak,” sungut Sea.

“Teman-teman!”

“Aku sengaja berhenti di gapura ini karena jaraknya hanya beberapa ratus meter dari tempat yang kalian sebut bangunan tua. Ngomong-ngomong, tempat itu adalah sekolah. Tempat yang—”

“Teman-teman, lihat ke depan!” teriak Ares akhirnya.

Sea berhenti, begitu juga dengan Sunni dan ketiga temannya. Fokus mereka beralih dari obrolan tidak penting menjadi sorot waspada yang kembali terpasang. Atmosfer mendadak terasa habis oleh sesuatu yang tidak dapat didefinisikan. Langit yang semula cerah, kini berubah. Awan gelap berarak menutupi langit di atas mereka. Sejalan dengan itu, angin berembus kencang sekali hingga mampu menggoyangkan pepohonan tanpa daun.

“Apa ini artinya belum selesai?”

Percayalah, celetukan Dean rasanya datang di saat yang tidak tepat. Sunni dan keempat temannya saling bergerak mendekat. Seperti dejavu, mereka pernah mengalami hal ini sebelumnya.

Tidak ada penyebab, tidak tahu alasannya. Tiba-tiba para penduduk pribumi bergerak mendekati mereka. Kepala penduduk pribumi itu bergerak-gerak gelisah. Iris mata mereka berubah putih sepenuhnya. Mereka pun mengendus-endus, persis seperti anjing yang mencari sesuatu. Ketika hampir sampai di tempat Sunni dan semua temannya berpijak, para penduduk pribumi itu justru mengulurkan tangannya hendak menggapai mereka.

“Apa kita lagi-lagi buat salah?”

Zeera menatap Dean kesal. “Kak, please. Jangan bercanda!”

“Yang bercanda itu siapa, Hei?” Meski bersungut-sungut karena dituduh, Dean tidak melanjutkan ucapannya. Zeera pun tidak lagi merespons. Mereka fokus pada apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah harus mengeluarkan Onyx? Namun, jika mengeluarkan benda itu, apakah sempat? Bagaimana pula caranya agar tidak menyakiti para penduduk pribumi?

Rasanya kepala Sunni mau pecah. Memikirkan masalah para penduduk pribumi ternyata lebih rumit daripada ujian matematika SMA.

“Kak, kita harus apa?” Sunni memilih bertanya pada Ares.

Siapa tahu, kakak kelasnya itu bisa memberikan pendapat logis. Namun, belum sempat Ares mengucapkan sesuatu, lagi-lagi para penduduk pribumi itu semakin mendekat. Bahkan, lebih cepat daripada sebelumnya. Lebih tidak terkendali, tepatnya.

Sunni memekik. Mau tidak mau, mereka harus menghentikan penduduk pribumi itu. Bukan apa-apa, para penduduk pribumi tidak seperti penduduk yang sedang meminta tolong, melainkan sedang menyerang. Suara geraman mereka makin terdengar kencang. Jelas sekali mereka marah.

“Kenapa malah marah-marah?” Tidak ada yang menanggapi Dean. Semuanya sibuk menghindar, berkelit, atau apa pun yang penting bisa lepas dari kungkungan penduduk pribumi.

Di dekat gapura berlumut, Zeera dan Gayatri saling membantu. Kedua cewek itu ternyata pintar juga menghindari berbagai macam serangan yang dilakukan beberapa penduduk pribumi di depan mereka. Buktinya, bukannya menyerah karena gagal, penduduk pribumi itu justru semakin murka.

“Sea, apa warga Ansoncree memang pemarah?” Bukan tanpa alasan Dean bertanya begitu. Sunni bisa mengetahui apa makna pertanyaan Dean, mengingat sejak di pohon Ek, penduduk pribumi itu terlihat tidak ramah sama sekali. Tidak tahukah mereka jika Sunni dan keempat temannya sedang berusaha membantu?

“Kalau diusik, jelas marah, Kak. Semua orang bahkan di tempat tinggal Kakak juga begitu, kan?” jawab Sea sekenanya. Cewek itu bersama Sunni. Membantu Sunni yang tidak bisa leluasa bergerak efek terjatuh dari ketinggian. Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi cukup membuatnya kesakitan.

“Siapa yang mengusik mereka, memangnya?” Dean mendengkus. “Sekarang bukan saatnya bercanda, astaga!” keluhnya. Tersisa dirinya dan Ares yang bergerak sendiri-sendiri.

“Teman-teman, kita enggak bisa menghindar terus. Kita juga enggak bisa memegang mereka agar mereka enggak hilang.” Gayatri masih fokus dengan penduduk pribumi di depannya. Mereka benar-benar diserang dari segala arah. Bukan hanya dalam pertarungan, melainkan pikiran dan hati mereka pun diserang.

“Dalam hitungan ketiga, ayo lari.” Ares memberi komando. Rupanya ia mulai kehabisan tenaga. Luka di lengannya yang sempat berhenti mengeluarkan darah pun kembali terbuka. Ares memegangnya sambil menahan sakit.

Tidak ada waktu lagi. Ares berteriak. Hitungan satu sampai tiga berhasil diucapkannya. “Sekarang!” perintahnya.

Sunni dan yang lain mengikuti Ares berlari ke arah bangunan sekolah tua tempat mereka jatuh pertama kali. Berusaha cepat, berusaha tidak menyentuh penduduk pribumi. Suara pekikan pun tidak lantas berhenti mereka keluarkan. Perlahan tetapi pasti, begitu sampai di depan bangunan tua itu, para penduduk pribumi seketika berhenti mengejar.

Bisakah Sunni dan semua temannya bernapas lega sejenak?

***

2 November 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top