3. Gudang Sekolah

Zeera

Azura Putri Yanuar sebenarnya tidak percaya. Ia merasa tidak perlu mempercayai pesan aneh yang disampaikan oleh anonim saat sedang sendirian di ruang kesenian. Maksudnya, siapa yang akan percaya jika seseorang sedang berbicara lewat radio dengan mengatakan hal aneh dari sana? Ia tadi pun tengah berlatih untuk mengikuti lomba minggu depan. Jadi, semakin tidak mungkin, bukan?

Meskipun begitu, rasa penasaran selalu lebih unggul daripada apa pun. Mungkin saja, pengirim pesan anonim itu memang membicarakan kejadian sebenarnya, tetapi mungkin juga hanya kesalahan pada saluran radio yang saat itu didengarnya.

Zeera—begitu orang-orang memanggilnya, tidak bisa menebak mana yang benar.

Ia merasa harus membuktikannya sendiri. Maksudnya, ia butuh diyakinkan bahwa itu memang pesan salah kirim yang kebetulan sampai padanya.

Datanglah ke gudang sekolah pukul sebelas malam hari ini. Kepala sekolah terjebak di sana.

Begitu pesannya. Meskipun dengan suara putus-putus seolah sedang terburu-buru, tetapi Zeera masih bisa mendengarnya dengan jelas.

“Jadi, inikah wujud sekolahan saat malam?” gumam Zeera saat sampai di gerbang SMANA. Ia berhasil lolos dari pengawasan orang tuanya karena ia berbohong soal menginap di rumah teman. Meskipun kebenarannya adalah Zeera sama sekali tidak ke sana. Ia hanya duduk di sebuah kafe yang buka dua puluh empat jam sambil menunggu pukul sepuluh malam. Mengingat pesan itu mengharuskannya datang pukul sebelas, tidak ada salahnya datang lebih awal, bukan?

Zeera pun bergerak membuka gerbang. Aneh, pikirnya. Harusnya pak satpam yang biasanya menjaga sekolah tidak membiarkan gerbang tanpa dikunci ataupun tanpa pengawasan. Saat dilihat dalam pos satpam pun orangnya sedang tertidur lelap. Sampai-sampai mulutnya terbuka dan air liur menetes dari sana.

“Ternyata makan gaji buta.” Zeera benar-benar tidak habis pikir. Namun, ia memilih mengabaikan pak satpam itu dan mulai melangkah masuk. Jalan menuju bangunan utama SMANA tergolong jauh. Setelah gerbang, sepanjang kurang lebih tujuh ratus meter baru terlihat gedung utama. Sementara tempat yang harus ia tuju adalah gudang yang ada di samping aula. Kira-kira lebih jauh lagi.

Untuk itu, Zeera menggelung rambut hitam panjangnya. Ia memperbaiki jaket kulit yang dikenakannya, mempererat kuncian tas punggung, dan mengusap wajahnya sebentar. Matanya benar-benar harus beradaptasi dengan lingkungan sekolah saat malam.

Ia pun merasa perlu menekan rasa takutnya akan sesuatu. Memang rasanya tidak logis bagi seorang remaja perempuan untuk berkeliaran di sekolah yang sudah tutup saat malam hari. Namun, ia sudah bilang, kan, kalau rasa penasaran selalu lebih unggul?

Sepanjang jalan setapak, kanan dan kirinya hanya ada pohon cemara yang dihiasi lampu taman. Sebagian kecil cahayanya sangat membantu Zeera dalam melangkah. Tidak lama kemudian, ia telah sampai di gedung utama, tetapi tidak berniat lewat sana karena jalan masuknya selalu dikunci setelah semua siswa pulang. Ia malah sengaja berbelok ke kiri untuk memotong jalan. Dengan begitu, dapat lebih cepat sampai di gudang sekolah. Jalan yang ia lewati pun dapat langsung tembus ke lokasi yang ia tuju.

Meskipun agak jauh, Zeera tetap nekat. Seorang penari harus memiliki stamina yang kuat dan badan yang luwes. Karena itulah, saat sampai di depan pintu gudang sekolah, Zeera malah terkejut. Tubuhnya seketika mematung, tetapi tidak berteriak. Ternyata bukan hanya Zeera, melainkan empat orang lainnya yang juga ada di sana.

“Sepertinya kita kedatangan tamu,” kata seorang cowok yang ia ingat betul wajahnya. Dean, anak XI IPS 6 yang kemarin dihukum oleh Bu Indah.

“Kalian juga mendapat pesan yang sama?” tanya Zeera. Ia ingat beberapa wajah lain selain Dean. Ada cewek pendiam berkulit sawo matang dari kelas X IPA 3, cewek yang ujung rambutnya dicat merah—meskipun ditutupi hoodie merah juga tetap kelihatan, dan ... oh!

“Kak Ares?” Zeera rasanya tidak percaya. Ketua OSIS yang terkenal misterius seantero SMANA itu ternyata juga ada di gudang sekolah.

“Konfirmasi isi pesannya,” kata Ares. Cowok yang berpakaian serba hitam—tampak sebelas, dua belas dengan Dean—itu akhirnya membuka mulut.

“Datanglah ke gudang sekolah pukul sebelas malam hari ini, kepala sekolah terjebak di sana, “ jawab Zeera mantap.

Ares mengangguk. “Sekarang baru pukul sebelas kurang dua puluh menit. Coba masuk ke dalam?” tanyanya.

Jujur, Zeera juga penasaran apa isi gudang itu dan siapa yang ada di dalamnya. Mengapa mereka berlima mendapatkan pesan itu secara bersamaan? Mengapa pula harus saat tengah malam? Beruntung orang tuanya tidak menyadari kebohongan yang ia buat. Namun, bagaimana kalau ia salah mengira?

Meskipun enggan, semua mengangguk setuju. Si kulit sawo matang hanya diam seribu bahasa. Si pemakai hoodie malah mengangguk antusias. Sedangkan Dean, justru hendak membuka lebih dulu pintu gudang tanpa persiapan apa-apa.

Bagaimana bisa cowok itu bersikap santai di saat seperti ini?

Zeera bisa menangkap ekspresi Ares yang tampak terganggu karena sikap Dean barusan. Serius, bukan hanya Ares yang terganggu.

“Perlahan. Kita tidak tahu apa dan siapa yang ada di sana. Mungkin ini jebakan!” Ares memperingatkan.

“Apa perlu terlalu cemas begitu?” Dean mencibir.

“Kak Ares benar. Kita harus waspada.” Wah, akhirnya si rambut merah bicara juga. Tersisa si kulit sawo matang yang tetap diam sejak awal.

Mereka pun akhirnya masuk perlahan. Mulanya pintu kayu di bagian kiri yang didorong masuk. Pintu ternyata tidak terkunci dan tampak celah kecil sehingga Dean menjadi leluasa membukanya. Begitu pintu kiri berhasil terbuka, kini giliran yang kanan. Mereka bahkan kompak menahan napas.

Ketika pintu kanan akhirnya didorong juga, mereka kira yang tampak adalah kepala sekolah yang terikat di tengah ruangan seperti pada novel kriminal. Mulut ditutup selotip, duduk menghadap pintu seolah mendambakan pertolongan, dan serentetan imajinasi liar lainnya. Namun, nyatanya tidak. Gudang sekolah benar-benar kosong melompong. Flash dari masing-masing ponsel bahkan telah diarahkan ke segala penjuru oleh Zeera dan keempat temannya, tetapi nihil.

Hanya tersisa radio usang di atas meja tepat di tengah-tengah gudang sekolah.

“Aku tadi sedang mengerjakan tugas di kelas ketika pesan itu sampai? Kalian bagaimana?” Si rambut merah bertanya. Zeera tidak tahu namanya.

Jadi, Zeera memutuskan bertanya. “Kurasa tidak akan ada untungnya jika kita tidak saling mengenal. Maksudku, sebagai penerima pesan yang sama, mari berkenalan dulu. Namaku Ayura Putri Yanuar. Kalian bisa memanggilku Zeera.”

Di luar dugaan, si kulit sawo matang berkacamata bulat dulu yang berbicara. “Namaku Gayatri. Panggil saja Aya.” Ternyata senyumnya manis juga.

“Aku Sandy Taenia. Panggil Sunni aja. Itu lebih cocok,” kata si rambut merah ceria. Ia malah membuka ikatan rambutnya dan membiarkannya terurai indah. Nyala merahnya sangat kontras di kegelapan gudang. “Akhirnya, aku selalu ingin melakukan ini.”

“Dasar cewek, enggak di rumah, enggak di sekolah, enggak di gudang. Bisa diem, kan?” Dean kembali mencibir.

Sementara Ares yang tidak ikut bergabung dengan yang lainnya, memilih sibuk mengamati radio usang di tengah ruangan itu.

“Tolong matikan flash ponselnya!” pinta Ares. Semua menurut. Ketika cahaya flash dimatikan, saat itulah muncul sebuah tulisan di bagian kosong di depan radio usang itu.

Datanglah ke Ansoncree dan selamatkan kepala sekolah.

“Ansoncree?” gumam Ares lagi. Ia perlahan menyentuh radionya, kemudian saling menepuk-nepuk telapak tangannya karena terkena debu. Sepertinya cukup tebal.

“Itu, radionya udah lama di sini, Kak?” Sunni bertanya pada Ares yang sejak tadi diam.

“Dari debu yang menempel di permukaannya, sepertinya begitu. Tidak ada yang menyentuhnya mungkin hampir bertahun-tahun. Jadi—oh!”

Benar, ketika orang bilang jangan berani-berani menyentuh benda yang bukan miliknya, harusnya dituruti.

Mereka bahkan tidak menyadari bahwa perpindahan itu terlalu cepat dan tanpa persiapan.

Gudang sekolah kembali lengang dengan radio usang yang tiba-tiba menyala.

***


3 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top