29. Kebenaran Selalu Menyakitkan
Sunni
Sunni berjalan sambil ditopang oleh Ares. Langkah kakinya pelan. Rasa sakit di punggungnya masih terasa. Efek jatuh sebelumnya, menimbulkan kesan yang sulit sekali dihilangkan. Waktunya terlalu cepat. Namun, rasa sakit di hatinya ternyata lebih dominan.
Sementara Ares bersamanya, Dean berjalan lebih dulu. Langkah kakinya tidak terlalu cepat, tetapi memiliki keyakinan penuh. Zeera mengikuti cowok itu dengan tenang. Di belakang Zeera, terdapat Gayatri yang sesekali menoleh ke belakang, memasang wajah penuh harap.
Sunni mengembuskan napas keras. Berusaha mengeluarkan semua rasa sesak yang bersarang di hatinya. Ares yang mendengarkan embusan napasnya pun menoleh. “Kamu enggak apa-apa? Ada yang sakit?” tanyanya. Jelas sekali jika kakak kelasnya itu khawatir.
Sunni menggeleng. “Cuma punggung yang agak nyeri, Kak. Sisanya, aku baik-baik aja. Sebentar lagi juga udah bisa jalan normal. Terima kasih udah bantu, ya, Kak.”
Hanya begitu yang mampu Sunni tunjukkan. Ia berusaha memasang senyum manis meskipun berbanding terbalik dengan hati dan pikirannya. Benarkah yang mereka lakukan ini? Benarkah mereka akan pulang jika melewati pintu kedua? Jika benar, bagaimana dengan Sea?
“Enggak masalah,” kata Ares. Mereka kemudian kembali melangkah. Sedikit lagi akan sampai pada pintu keluar yang dimaksud oleh Helizar. Sosok penguasa Ansoncree itu pun tidak terdengar lagi suaranya. Mungkin hanya mengamati, tetapi tidak berkomentar.
“Itu pintunya.” Gayatri menunjuk sebuah pintu kayu berukiran rumit. Seperti sulur bunga teratai yang mahkotanya selebar daunnya, simbol-simbol unik yang belum pernah dilihat sebelumnya, hingga patung dewa. “Melewati pintu itu, kita akan menemukan pintu kedua. Yakin, enggak berbalik lagi?”
Sama seperti Gayatri, Sunni dan semua temannya berhenti. Sunni bisa melihat bahwa Gayatri kembali mengarahkan pandangannya ke arah Sea. Tingkah laku cewek itu masih tetap sama, menggeleng keras seolah menahan mereka. Namun, tetap saja. Hanya gerakan kepala tanpa penjelasan lebih jauh, tentu akan sia-sia. Apa Sea berharap Sunni dan keempat temannya mengerti kode yang dibuatnya?
“Cara bukanya cukup mudah!” seru Helizar. “Dorong sekali, pelan saja, nanti pintunya terbuka sendiri. Selamat mencoba, Anak-anak! Dan selamat kembali lagi ke rumah!”
Sesuai instruksi Helizar yang disertai dengan tawa kerasnya, Dean mendorong pintu itu sekali. Benar saja, pintu seketika terbuka perlahan. Prosesnya pun disertai dengan munculnya kabut tipis seperti efek panggung para penyanyi di dunia mereka. Tanpa pikir panjang lagi, mereka melangkah. Melewati batas antara ruangan besar dengan lorong yang mengarah pada pintu kedua.
“Aku enggak percaya kita bisa kembali dengan mudah!” seru Dean dalam sekali tarikan napas. Kepalanya menggeleng cepat. Menyiratkan bahwa cowok itu benar-benar lega.
Sesaat setelah mereka berhasil keluar dari pintu yang pertama, benda itu langsung tertutup dengan sendirinya. Suaranya begitu keras hingga sanggup mengejutkan Sunni dan semua temannya. Yang tersisa dari situasi mereka adalah lorong sepi yang mengarah ke kanan dan kiri. Tidak tampak ujung dari lorong itu, tetapi di depan mereka benar-benar terdapat pintu kedua.
“Ayo, kita pulang,” ajak Dean.
“Tunggu, Kak!” sela Gayatri kelewat cepat. “Kalian enggak berpikir kalau semua ucapan Helizar itu benar, kan? Tolong katakan kalau kita hanya pura-pura dan akan kembali untuk menolong Sea.”
“Atas dasar apa kamu bilang begitu, Aya?” tanya Dean.
“Pertemanan, tentu saja,” sahut Gayatri. “Kalau Sea ingin menjerumuskan atau bahkan mengorbankan kita, enggak mungkin anak itu sukarela membantu kita melewati semua hal di Ansoncree. Enggak mungkin Dewa melibatkan Sea waktu petunjuk itu muncul.”
Ucapan Gayatri tepat menohok mereka, terutama Sunni. Sudah ia duga, ada yang tidak beres. Rasanya tidak mungkin jika Sea—yang baru saja kehilangan ibunya—tega melakukan satu hal yang akan menimbulkan kerugian besar di kemudian hari. Beda lagi ceritanya jika Sea dikendalikan oleh Helizar.
“Ingat sajaknya!” seru Zeera. “Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya. Dengarkan jalan setapak. Kembalikan apa yang sudah seharusnya. Jangan terlena! Apa yang terlihat, tiada benar. Kalian mungkin akan kembali ke tempat semula. Salah satunya memiliki bagian yang sama.”
“Iya, tapi apa kita harus menunda kepulangan dan berakhir mencari jalan lain yang belum tentu ada?” gerutu Dean. “Ayolah! Jangan terus terbawa perasaan!”
“Arti kalimat pertama udah diketahui. Kalimat kedua juga. Lewati kalimat ketiga karena aku sendiri enggak yakin apa artinya, kita langsung lompat ke kalimat keempat dan kelima.” Gayatri tetap berbicara, mengabaikan Dean dengan segala bentuk protes yang diucapkannya.
“Jangan terlena! Apa yang terlihat tiada benar. Artinya, pusaka yang kita lihat waktu itu palsu, kan?” celetuk Zeera.
“Kalian ini terlalu banyak mikir. Kalau enggak mau pulang, biar aku aja!” Setelah berkata begitu, Dean langsung menuju pintu kedua. Cowok itu mengabaikan panggilan Gayatri ataupun seruan Ares untuk tidak bertindak gegabah. Namun, memang dasarnya Dean adalah cowok keras kepala. Ia bahkan membuka pintu kedua dengan sekali percobaan.
Percayalah, ketika pintu itu terbuka, tidak akan ada hal baik. Buktinya, angin seketika berembus kencang hingga sanggup menerbangkan apa saja yang dilaluinya.
“Teman-teman, tolong aku!” teriak Dean. Cowok itu seperti terserap ke dalam ruang hampa dari balik pintu itu. Ia berusaha bertahan di tengah kencangnya angin yang menerpa dengan berpegangan pada kusen pintunya.
“Kak Ares, awas!” pekik Sunni.
Terlambat. Ares sudah lebih dulu terpental karena berusaha menolong Dean. Zeera yang melihatnya dan Gayatri yang berusaha tetap berdiri tegak pun hanya bisa saling berpegangan.
“Bukan Sea yang mau mengorbankan kita, tapi Helizar!” teriak Zeera.
Usaha mereka agaknya sia-sia. Ares tergeletak dengan darah mengucur deras dari lengannya, sementara Dean masih berusaha bertahan melawan angin kencang yang menerpa. Beruntung Ares masih bisa mempertahankan kesadarannya meskipun terluka. Apa ini? Bukannya jalan pulang, mereka justru kembali menemukan gang buntu.
“Teman-teman, tarik aku dan tutup pintunya!” seru Dean. Satu persatu jarinya terlepas dari kusen pintu. Sedikit lagi saja, ia benar-benar akan terserap dan hilang dari dunia.
Sunni jelas tidak ingin hal itu terjadi. Ia harus membantu. Apa pun akan dilakukannya demi bisa selamat bersama-sama. Demi menebus kesalahannya pada Sea karena kembali mencurigai cewek itu.
“Aya! Bantu aku tarik Kak Dean!” Sunni akhirnya melawan rasa sakit di punggungnya. Ia berjalan susah payah. Bukan hanya karena rasa sakitnya masih ada, tetapi juga karena angin yang menerpa begitu kuat. Tidak sekali dua kali Sunni goyah. Hampir terseret, malah. Namun, ia tetap berusaha berdiri tegak.
Setelah berhasil mendekati Dean, Sunni mengulurkan tangannya. Ia berusaha menggapai tangan Dean yang bebas, begitu juga dengan Gayatri. Sementara Zeera, cewek itu bersiap memegang daun pintu dan akan langsung mendorongnya ketika Dean berhasil diselamatkan.
“Kak, pegang tanganku!” Sunni masih berusaha, begitu juga Dean.
“Coba lagi, Sunni!” seru Dean. Raut wajah cowok itu benar-benar lelah. Tangannya pasti sakit. Terbukti dari seberapa banyak darah yang menetes karena berusaha sekuat tenaga.
Percobaan pertama, gagal.
Percobaan kedua, kembali gagal.
Mereka rasanya benar-benar putus asa. Angin semakin menjadi. Dean semakin tertarik. Usaha Sunni dan Gayatri pun rasanya sia-sia. Namun, kata menyerah jelas tidak ada di kamus mereka. Tepat setelah jari-jari tangan Dean terlepas sepenuhnya, Ares bergerak menangkap cowok itu dengan cepat dan tepat.
“Tertangkap!” seru Ares.
Zeera pun tidak mengulur waktu lagi. Ditutupnya pintu itu paksa. Meski berlawanan arah dengan angin kencang, ia tetap berusaha. Gayatri dan Sunni membantunya. Mereka kerahkan tenaga terakhir hingga pintu itu tertutup sempurna dan meledak begitu saja. Refleks, Sunni dan keempat temannya berusaha melindungi diri.
Angin kencang mendadak lenyap. Dean dan Ares tergeletak dengan dada naik turun. Napas mereka menderu. Kaki seketika berubah menjadi jeli. Lemas sekali rasanya.
“Jangan pernah bertindak ceroboh lagi, Dean! Aku benar-benar memperingatkanmu!” Peringatan Ares itu mutlak.
Bukannya merespons peringatan Ares, Dean justru berteriak frustrasi sambil mengacak rambutnya asal.
“Sekarang terbukti, kan, siapa yang hendak mengorbankan kita?” Gayatri menampilkan ekspresi yang benar-benar tajam. Begitu juga Zeera dan Sunni. “Ayo kembali, kita selamatkan Sea dan cari jalan pulang sendiri!”
Tepat setelah berkata begitu, suara tawa kembali muncul. Tawa yang terkesan menyeramkan. Begitu keras, begitu brutal, dan benar-benar tidak terkalahkan. Sunni dan keempat temannya saling pandang.
“Sea dalam bahaya!”
Buru-buru beranjak menuju pintu pertama, membukanya dengan paksa. Mereka begitu terkejut ketika mendapati Helizar sedang mencekik Sea dan hendak membunuhnya.
***
29 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top