28. Runtuhnya Kepercayaan

Zeera

Sosok itu ternyata bernama Helizar. Laki-laki yang tidak lebih tinggi daripada Sea. Tidak memiliki satu helai rambut pun di kepalanya. Berwajah awet muda, tetapi terlihat bengis. Senyum miring senantiasa terpatri di wajahnya yang mulai keriput dimakan usia. Sorot matanya redup. Jelas sekali sosok itu sedang merencanakan sesuatu.

“Sea, kamu kenal orang itu?” Dean bertanya. “Katamu, kamu enggak mengenalnya bahkan suaranya. Jadi, kenapa bisa gini?”

Zeera bisa melihat jika Sea juga sama terkejutnya dengannya. Cewek itu bahkan hanya bisa terpaku. Kedua matanya melebar dan bergetar. Alisnya berkerut dalam. Rona ceria di wajahnya perlahan menghilang, tergantikan dengan ekspresi terluka yang susah payah ditutupi.

Sea kesulitan menelan ludahnya. Meski begitu, ia harus tetap berbicara. “Jadi, Anda yang selama ini mengganggu kami?”

Keberaniannya sebagai remaja berusia lima belas tahun memang patut dicontoh. Zeera tahu jika tangan Sea gemetar sejak pertama kali menyadari sosok di depannya adalah orang yang sebenarnya dikenalnya. Cewek itu berusaha tegar. Mungkin agar Zeera dan keempat temannya tidak merasa dibohongi.

“Tunggu ... tunggu.” Helizar berdiri dari singgasananya sambil mengangkat jari telunjuk. “Kata mengganggu rasanya tidak cocok untuk digunakan. Bukankah lebih cocok kalau kerja sama kita akhirnya berhasil?”

“Apa maksud Anda?” Sungguh, bukan hanya Sea yang tersentak. Melainkan Zeera, Gayatri, Ares, Dean, dan Sunni juga sama. Mereka bahkan berusaha mencerna, menelaah apa maksud perkataan Helizar sebenarnya.

Helizar berdecak. Ia melangkah mendekati Sea dan mengusap lembut rambut birunya. “Sea, anakku yang malang,” katanya. “Aku tahu pasti berat bagimu karena kehilangan orang tua. Ibumu tiada, kini ayahmu tidak sadarkan diri di sana. Sekarang, usahamu justru sia-sia dan kamu pasti kesulitan mengakui kebenarannya pada semua temanmu ini.”

Sea semakin tercekat. Ia lantas menepis tangan Helizar meskipun terbelenggu. “Apa yang ingin Anda katakan, sebenarnya?”

“Semua rencana kita, apalagi memangnya?”

Baiklah, situasi macam apa yang terjadi kali ini? Pertama, sosok bertopeng yang mengganggu mereka sejak awal adalah Helizar—orang yang Sea kenal. Kedua, Helizar bilang jika dirinya dan Sea sedang bekerja sama?

Zeera bahkan tidak mampu berkata apa-apa selain menunggu seperti orang bodoh. Dean yang biasanya banyak bicara, kini memilih bungkam. Ares dan Gayatri justru tidak bisa ditebak. Tersisa Sunni dengan perasaan terluka yang terlihat jelas.

“Lihatlah, Nak. Teman-temanmu ketakutan.” Helizar beralih pada Zeera. “Anak ini manis sekali. Kamu pasti tidak menyangka kalau Sea akan berbuat tega pada kalian, benar?”

“Sea, siapa orang ini sebenarnya?” Mengabaikan perhatian Helizar padanya, Zeera justru bertanya pada Sea. Bagaimana pun, ia tidak bisa menunggu lagi. Kedua tangannya masih terbelenggu. Zeera bahkan yakin jika terdapat bekas kemerahan di sana. “Kenapa kamu diam aja? Tolong katakan sesuatu.”

“Biar kuberitahu, Nak.” Helizar kembali berbicara. “Aku adalah Helizar, penguasa di Ansoncree.”

“Bukankah penguasa Ansoncree telah lama mati?” Dean tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Mati? Siapa yang kamu bilang mati?” Suara Helizar meninggi. Lonjakan energi seketika menekan mereka. Mau tidak mau, mereka lantas memejam untuk menghindari tekanan lebih besar. Namun, hanya sebentar tekanan yang mereka rasakan, nada suara Helizar kembali tenang. “Apa Sea yang mengatakannya?”

Tidak ada yang menjawab. Semuanya benar-benar mematung meski ingin sekali mengeluarkan isi pikiran. Situasi yang mereka hadapi ini benar-benar di luar dugaan. Mulanya, Zeera kira mereka akan dieksekusi tepat setelah dipaksa bergerak menuju ruangan besar di dalam kastel. Namun, mereka justru dihadapkan pada perasaan ragu yang kembali menguasai.

“Kamu ... jawablah!” Helizar mengarahkan tangannya pada Sunni. Sedetik kemudian, Sunni seketika memekik karena dagunya seperti ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat. Perlahan, tubuh Sunni terangkat. Rasa sakit menguasai cewek itu. Terbukti dari tetesan air matanya yang disertai gemetar hebat di tubuhnya.

Baik Zeera maupun Gayatri, mereka kompak berseru. Memohon agar Helizar menghentikan apa pun yang sedang dilakukannya terhadap Sunni. Bahkan, Ares dan Dean pun tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengeluarkan Onyx.

“Jangan coba-coba mengeluarkan benda itu atau teman kalian yang imut ini akan mati!”

Hanya begitu saja ancaman Helizar, tetapi sanggup membuat Ares dan Dean berhenti. Mereka kembali tercekat. Bukan hanya kedua tangan yang terbelenggu, tetapi hati dan pikiran mereka juga sama. Tersisa Sea yang setia diam sambil menunduk. Sama sekali tidak berniat membantu.

“Sea, kenapa kamu diam aja?” Gayatri tampak tidak habis pikir.

“Ya ... ya, tunjukkanlah perasaan kalut yang kalian punya.” Helizar tertawa. Jenis tawa mengejek. Sunni belum juga diturunkan. Helizar justru membuatnya semakin tersiksa. Cewek itu bahkan sudah menangis keras, tetapi kesulitan berbicara.

“Tuan, tolong hentikan!” kata Sea akhirnya.

“Jadi, kamu mau mengakui kebenarannya pada semua temanmu?” Sorot mata Helizar berbinar terang. Namun, Zeera justru merasakan ketakutan yang luar biasa dari sorot matanya itu.

“Aku enggak tahu apa maksud Anda sebenarnya. Kebenaran apa?” Merasa diabaikan, Sea kembali berbicara, “Kumohon, tolong turunkan Kak Sunni.” Sea memohon sambil menangkupkan kedua tangan di dada.

Helizar mendengkus keras. Secepat kilat menurunkan satu tangannya. Belum sempat waktu berjalan melambat, Sunni seketika jatuh begitu saja. Bagian punggungnya yang terlebih dahulu menyentuh lantai marmer yang dingin. Disertai pekikan tertahan dari Sunni yang merasa kesakitan, Zeera dan Gayatri lantas menghampirinya. Bahkan, Ares dan Dean pun sama. Hanya Sea yang masih bergeming, seolah Sunni tidak berharga sama sekali.

“Kalian tidak seru,” Helizar beralih pada Sea.

“Apa yang Anda inginkan, sebenarnya?” Sea kembali bertanya. Sorot matanya berubah tajam, meski getaran hebat di tangannya masih bisa ditutupi sempurna.

“Kamu masih tidak mau mengaku?”

Sea memejamkan matanya. Kalimat itu lagi.

“Aku enggak—”

“Kalau kamu sengaja mengajak mereka kemari, berlagak mencari pusaka, padahal sebenarnya mereka akan ditumbalkan demi ayahmu, kan? Buktinya, sampai sekarang kamu tidak memberitahu kepada mereka di mana ayahmu berada,” sela Helizar.

Bagai disambar petir, Zeera dan keempat temannya kontan membelalak tidak percaya. Jadi, mereka sebenarnya akan dikorbankan untuk seseorang yang katanya melakukan kesalahan karena mengutak-atik pusaka. Kalau begitu, apa maksud sajak Dewa pada kalimat yang pertama?

“Enggak!” sergah Sea. “Tuan Helizar tolong jangan mengarang cerita yang enggak benar!”

Sea lantas berbalik. Menatap semua temannya sendu, hendak menangis. “Aku enggak begitu, teman-teman. Kalian percaya padaku, kan?”

Meskipun tidak ada bukti, Zeera tetap kesulitan mencari kesalahan dari sorot mata Sea. Ia sebenarnya ingin percaya, seperti yang dilakukan oleh Sunni. Namun, mengingat Sea tetap bergeming meskipun Sunni terjatuh tadi, Zeera rasanya ingin sekali marah.

“Kalau kamu enggak begitu, kenapa diam aja waktu Sunni jatuh tadi?” Zeera akhirnya memberanikan diri bertanya. “Apa kamu enggak tahu kalau Sunni adalah orang pertama yang mempercayaimu dan selalu menolongmu saat kesulitan?”

“Ya, Anak-anak!” Helizar bertepuk tangan, menarik perhatian. Suaranya memenuhi seluruh ruangan. “Begini saja. Kalian benar-benar ingin pulang, kan? Sea jelas tidak akan memberi tahu bagaimana caranya. Jadi, aku akan berbaik hati pada kalian.”

“Bagaimana caranya?”

Semua orang menoleh pada Sunni. Hatinya pasti terluka. Zeera tidak bisa mencegahnya jika Sunni tidak lagi mempercayai Sea.

“Pertanyaan yang bagus.” Helizar kembali mendekat. “Ketika kalian menuju pintu itu dan keluar dari sana, kalian pasti menemukan pintu kedua. Keluarlah dari pintu itu, kalian akan langsung kembali ke rumah. Jadi, bagaimana?”

Setelah berkata begitu, Helizar menjentikkan jari. Seketika belenggu di tangan Zeera dan keempat temannya menghilang. Mereka bebas. Jalan untuk pulang ternyata begitu mudah. Ares bahkan sudah membantu Sunni berdiri. Mereka benar-benar akan pergi tanpa berbalik lagi.

Hanya, Gayatri kembali menatap Sea. Mungkin ia berharap akan dicegah atau diberi penjelasan logis. Paling tidak, bantahan masuk akal yang dilontarkan Sea untuk Helizar. Namun, seberapa lama mereka menunggu, Sea lagi-lagi hanya menggeleng. Zeera mengartikannya sebagai tanda untuk tidak mengikuti ucapan Helizar.

Rasanya tetap percuma. Kepercayaan yang dibangun, telah runtuh sekarang.

***

28 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top