27. Muncul Seseorang yang Tidak Terduga

Dean


Dean mulai merasa lelah. Sejak pertama kali dikurung hingga sekarang, ia terus memberontak sambil menggoyang pagar besi di depannya. Begitu keras, kuat, dan brutal. Tidak sedikit kalimat-kalimat kasar yang ia lontarkan demi bisa keluar dari sana. Namun, seberapa keras ia berusaha, tidak akan ada yang mendengar.

Ia bahkan tidak lagi bertenaga. Tempat mereka dikurung sepertinya penjara bawah tanah. Tempat gelap, bau, dan kotor yang lebih cocok untuk para tikus pencuri. Tidak ada celah untuk keluar. Tidak pula ada cahaya yang masuk barang sedikit. Ia jadi tidak tahu, berapa lama mereka dikurung.

“Hei, lepaskan kami!” Untuk ke sekian kalinya, Dean kembali berteriak. Padahal, tidak ada siapa pun yang menjaga ruang bawah tanah, tetapi Dean merasa selalu ada yang mengawasi mereka.

“Udahlah, Dean. Mereka enggak akan mendengar.” Ares duduk di pojok sambil merapatkan lututnya mendekat ke tubuh. Cowok itu membenamkan kepalanya di sana. “Jangan buang-buang tenagamu untuk sesuatu yang enggak ada hasilnya.”

Dean memejam sejenak. Ia menggeleng pelan. Rahangnya mengeras, sementara matanya terbuka, menyipit tajam. Berusaha sekuat tenaga menahan amarah yang mulai muncul. “Seenggaknya, aku enggak seperti kamu yang cuma bisa pasrah. Apa ini? Ketua OSIS SMANA yang dipilih karena wibawanya? Omong kosong! Kamu bahkan enggak berusaha atau memikirkan bagaimana caranya kita bisa keluar dari sini.”

“Kak, udah.” Zeera berusaha menghentikan mereka.

“Jangan suruh aku berhenti, Zee.” Dean mengangkat satu tangannya, menahan ucapan Zeera. “Meski kelihatan sia-sia, usaha sekecil apa pun tetap aja berguna. Aku bukan orang yang pasrah sama keadaan sambil nunggu kapan kiranya waktu yang pas untuk eksekusi. Emangnya, kalian mau terus berada di sini dan enggak bisa pulang? Kita enggak salah apa-apa, loh!”

“Aku tahu kamu enggak sabaran,” balas Ares. Cowok itu mendongak. Menatap Dean tepat di mata. “Tapi, kita juga harus tenang. Jangan gegabah! Pikirkan strategi untuk kabur tanpa harus menguras tenaga.”

Dean membuang muka. Pembicaraan itu lagi. Sejak mereka terlempar ke Ansoncree hingga saat ini, Ares hanya bisa menyuruhnya untuk tenang, tidak boleh buru-buru, tidak boleh asal bertindak. Namun, apa yang terjadi ketika ia menuruti itu semua? Apakah ada hal baik yang terjadi setelahnya?

Dean bahkan hendak protes lebih jauh, tetapi urung karena ucapan Gayatri. “Tolong jangan bertengkar,” katanya. Cewek itu menyampirkan rambut pendeknya ke belakang telinga. “Sekarang, yang penting bukan bagaimana kita terus berontak supaya dilepaskan, tapi bagaimana kita menurunkan ego supaya bisa keluar hidup-hidup.”

Suara Gayatri sukses menembus gendang telinga Dean. Ia mendengkus keras, masih membuang muka. Bukannya tidak mau membantah ucapan cewek itu, Dean juga merasa bahwa kalimat yang dilontarkan Gayatri ada benarnya.

Setelah Dean lumayan tenang, barulah Gayatri kembali berbicara, “Apa kalian ingat sajak dari Dewa?”

“Bicara soal itu, rasanya kamu bilang sesuatu sebelum kita tertangkap, Aya. Tapi, apa, ya?” Zeera menerawang. Ruangan yang gelap sama sekali tidak membantu. Udara pengap selalu terasa sejak mereka dibawa paksa dari luar kastel hingga ke tempat ini. Terkesan berat dan membuat sesak napas.

Hanya, tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali duduk sambil meringkuk di pojok ruangan. Dean tidak termasuk, tentu saja. Ia bahkan yang paling gencar memberontak sejak awal. Sosok bertopeng yang mereka lihat di depan pintu kastel waktu itu, seperti tuli meskipun telinganya masih terpasang.

“Bukankah Dewa pernah bilang, jangan sampai terlena?” tanya Gayatri. “Apa yang terlihat tiada benar.”

Dean mulai tertarik. Bagaimana pun, yang bisa mereka lakukan adalah berpedoman pada sajak Dewa. Hanya itu satu-satunya penolong di saat semua jalan tertutup. Semua usaha seakan dipatahkan oleh sesuatu atau seseorang yang tidak bertanggung jawab. Seperti sosok bertopeng itu, misalnya.

“Mungkinkah cahaya merah dari dalam tanah yang kita lihat selama ini bukan pusaka asli?” celetuk Sunni. Cewek itu duduk diam sejak tadi. Ekspresinya kusut, kentara sekali bahwa ia merasa takut.

Dean melihatnya beberapa kali ingin berbicara, tetapi urung karena sesuatu yang tidak diketahui. Meski begitu, Sunni tetap berusaha tenang bersama Sea yang memilih bungkam. Zeera pun hanya sesekali merespons. Ares terus saja membenamkan wajahnya di antara lutut, terkesan pasrah. Jadi, selain Gayatri yang bisa berpikir jernih, Dean menjadi salah satu kandidat yang mampu menetralkan semua perasaan kalut, bukan?

Meskipun dia sendiri tidak sepenuhnya yakin.

“Sepertinya benar,” tandas Gayatri. “Sosok bertopeng yang kita lihat di pintu masuk tadi, sepertinya adalah dalang utama di balik semua kesulitan yang kita alami selama di Ansoncree. Kalau asumsiku benar, sosok itu sengaja menjebak kita agar sampai di kastel.”

“Jadi, semua kejadian aneh itu ulahnya?” Zeera tampak tidak habis pikir. “Bagaimana dengan Sea yang tertangkap dan tangannya digantung di tiang?”

Semua pasang mata langsung mengarah pada Sea. Ada sedikit rasa tidak percaya yang kembali hadir. Kalau begini, Dean tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Semuanya abu-abu. Mereka butuh bukti sekarang.

“Kamu yakin, enggak pernah ketemu orang itu sebelumnya, Sea?” telisik Dean. “Paling enggak, dengar suaranya aja.”

“Orang itu menyambut kita di kastelnya. Artinya, dialah pemimpin Ansoncree, benar?” imbuh Gayatri.

“Aku enggak yakin, Kak,” kata Sea akhirnya. Rambut birunya sedikit tersapu angin yang masuk lewat celah sempit di antara batu bata. Dean menyipit. Angin bisa masuk, tetapi cahaya tidak. Aneh sekali.

“Bukankah aku udah bilang kalau pemimpin Ansoncree adalah orang pertama yang terkena efek samping pusaka?” Sea kembali bebricara. “Selain itu, aku enggak tahu apa-apa.”

“Tapi, siapa tahu kalau dia memalsukan semua informasi itu demi tujuan yang lain?” Dean tidak ingin berhenti mencecar. Bagaimana pun, sepatah atau dua patah kalimat saja, belum bisa dijadikan bukti. Ia harus melihat langsung. Namun, tenaganya sudah habis hanya untuk memukul pagar besi lagi.

Sea hanya mampu menggeleng.

“Kamu tahu—” Belum sempat Dean melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pagar besi yang memenjara mereka perlahan menghilang. Refleks, semuanya berkumpul di tengah-tengah dengan niat saling melindungi.

Mengedarkan pandangan, itu yang bisa mereka lakukan. Tatapan awas seketika muncul. Mereka abaikan obrolan yang belum selesai itu hanya untuk mendapati kedua tangan mereka tiba-tiba terpasang borgol dengan rantai yang saling menyambung.

“Demi apa pun, apa lagi sekarang?” Dean menggerakkan tangannya berusaha bebas, tetapi gagal.

Detik selanjutnya, sesuatu seolah mendorong mereka dengan paksa. Pekikan pun terdengar sejalan dengan langkah mereka yang mulai keluar dari ruangan bawah tanah. Melewati tangga curam menuju ke lantai atas. Mereka tidak bisa berhenti. Tidak pula bisa berbelok arah untuk kabur. Jalan yang harus dituju pun sudah dipastikan. Saling mendorong satu sama lain sambil menahan sakit di kedua pergelangan tangan yang terbelenggu oleh borgol.

“Kita mau dibawa ke mana?” pekik Sunni.

Tidak ada yang meresponsnya. Mereka tetap dipaksa berjalan. Melewati lorong sunyi yang hanya disinari oleh beberapa obor. Suara langkah kaki mereka seirama dengan kayu yang bekertak dari dalam obor. Begitu sepi dan menyeramkan.

Perlahan tetapi pasti, mereka sampai pada ruangan besar yang hanya berisi satu singgasana. Singgasana itu berwarna merah dengan aksen keemasan di sekelilingnya. Semula keadaan gelap, tetapi kini beberapa obor menyala serentak hanya dengan satu jentikan jari.

Di atas singgasana itu, sosok bertopeng akhirnya menampakkan diri. “Kalian memang anak-anak yang pintar. Bagaimana, sudahkah semua teka-teki terpecahkan?”

Topeng seketika dibuka. Membuat Sea memekik tanpa sadar. “Tuan Helizar?”

Dean dan semua temannya refleks menatap Sea penuh tanda tanya.

***

27 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top