26. Kepedulian Seorang Teman

Gayatri

Gayatri tidak habis pikir pada pemandangan di depannya. Semua temannya yang semula sibuk dengan kegiatan masing-masing, kini beralih membantunya membereskan barang-barang yang berserakan di lantai. Mulai dari bantal, selimut, hingga buku-buku di atas meja.

Tidak ada satu pun dari mereka yang membiarkan Gayatri mengerjakan semuanya sendiri. Ketika Gayatri hendak melipat selimut, Sunni langsung mengambil alih benda itu dan melipatnya. Ketika hendak memasukkan buku dalam rak, Zeera juga melakukan hal yang sama. Bahkan, Dean yang biasanya cuek pun kini berubah drastis.

“Kalian habis melakukan kesalahan atau apa?” Gayatri tampak bingung di tengah ruangan. Semua temannya masih berlalu-lalang membersihkan rumah dan bekas mereka tidur semalam. “Atau aku yang melakukan kesalahan, ya?”

“Kamu duduk aja di tangga, Aya.” Bukannya menjawab pertanyaan Gayatri, Sunni malah mendorong Gayatri dan menyuruhnya duduk di undakan menuju dapur. “Biar kami yang merapikan rumah paman Sea ini.”

Alis Gayatri berkerut dari balik kacamata bulatnya. Jika Sunni sudah bersikap misterius, artinya Gayatri memang melakukan kesalahan seperti dugaannya semula. “Aku mau bantu,” katanya. Hendak berdiri, tetapi kembali dilarang.

“Aya, duduk!”

Gayatri tahu, perintah Ares itu mutlak. Ia harus menurutinya demi menjaga perdamaian. Namun, bukankah salah jika hanya dirinya yang duduk diam, sementara semua temannya bekerja? Memang bukan jenis pekerjaan berat, tetapi cukup menguras energi jika Gayatri tidak ikut membantu.

“Aku pasti buat salah.” Gayatri berdiri. “Maaf kalau aku buat salah, teman-teman. Tapi, tolong jangan begini.”

Lagi-lagi, tidak ada yang merespons. Gayatri kebingungan sendiri. Di dapur, Sea bersama Zeera sedang mengolah bahan makanan yang mereka temukan. Beruntung belum basi, jadi masih bisa digunakan. Sunni sedang membersihkan debu yang bersarang di atas meja serta sampul buku dalam rak. Ares menyapu ruangan setelah Dean menyingkirkan semua benda yang menghalangi. Hanya Gayatri yang diam saja sejak ia membuka mata pagi ini.

“Apa karena semalam aku pulang sama Kak Ares?”

Pertanyaan Gayatri sukses membuat semua temannya berhenti. Bahkan, Sea dan Zeera yang ada di dapur pun juga mendengar suaranya. Rumah Paman Hill terbilang kecil dan sempit, jadi sedikit suara saja pasti langsung terdengar ke seluruh penjuru rumah.

“Kalian diam aja, artinya aku benar.” Gayatri mengembuskan napas lelah. “Memangnya, tadi malam ada apa? Tolong jangan diam aja.”

“Apa kamu enggak ingat?” Sunni yang mengeluarkan suaranya lebih dulu. Ia meletakkan kemoceng di sudut ruangan. Ternyata, pekerjaan rumah di Ansoncree tidak ada bedanya dengan tempat tinggalnya.

“Apanya?” Gayatri mengerutkan kening. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam yang membuatnya kembali dengan kondisi basah kuyup dalam gendongan Ares. Saat bangun pagi ini, ia malah terkejut karena pakaiannya semalam diganti dengan kaus kebesaran. Kata Sea, itu milik pamannya. Bahkan, bukan hanya itu saja. Di kedua tangan Gayatri terdapat banyak plester. Padahal, ia ingat betul jika tidak ada benda itu meskipun ia terluka saat berusaha menemukan pusaka di dekat gapura.

Sunni mengembuskan napas keras. “Kamu enggak ingat, rupanya. Kalau begitu, duduk aja yang tenang, ya.”

“Kamu tunggu aja. Meskipun masakanku enggak enak, tapi bisa jadi pengganjal lapar, kok,” sahut Zeera dari dapur. Sea juga mengangguk setuju.

“Diam sebentar di situ, biar debunya keluar dulu.” Ares juga ikut-ikutan. Cowok itu kembali menyapu.

“Kalau udah selesai, kita makan bareng. Awas kalau makan sendirian lagi!”

Gayatri benar-benar bingung atas perlakuan istimewa dari teman-temannya. Selama enam belas tahun ia hidup, belum pernah diperlakukan seperti itu oleh orang lain, apalagi mereka baru mengenal kurang dari satu minggu.

Gayatri akhirnya pasrah. Biarlah semua temannya bertindak sesuai yang mereka inginkan. Ia hanya bisa kembali duduk di undakan menuju dapur sambil terus berusaha mengingat. Apa kira-kira yang terjadi padanya tadi malam? Yang ia ingat hanya Ares sedang bersamanya di hutan sekitar rumah Paman Hill. Lalu, Gayatri kehilangan kesadaran dan tertidur hampir tujuh jam lamanya.

“Rasanya semalam aku mengeluarkan Onyx.” Ucapan Gayatri kembali membuat semua temannya menghentikan aktivitas. Buru-buru mereka berjalan mendekat. Sunni, Ares, dan Dean ikut duduk di undakan di depan Gayatri. Sementara Sea dan Zeera di belakangnya.

Gayatri melihat temannya satu persatu sebelum melanjutkan ucapan. “Niatku kalau enggak salah, mau cek apa aja yang bisa dilakukan Onyx selain sebagai penangkal, pelindung, dan teleportasi. Mungkin aja bisa mencari lokasi terkuburnya pusaka sekaligus memecahkan petunjuk dari Dewa.”

“Setahuku, Onyx hanya punya tiga fungsi, Kak,” kata Sea. “Semua fungsinya udah Kak Aya sebutin barusan.”

“Benarkah?” Gayatri sedikit tidak percaya. “Soalnya aku juga mendengar suara-suara waktu Onyx keluar dari tubuhku.”

“Apa itu campuran antar suara saat di pondok dan suara Dewa?” tanya Ares.

Gayatri menoleh padanya. “Benar, Kak. Apa Kak Ares juga mendegarnya?”

Ares mengangguk. “Jadi, itu alasanmu keluar rumah sendiri dan berakhir di kolam kecil di tengah hutan sana?”

“Jangan bilang kamu ke sana cuma karena penasaran, Aya!” Dean memperingatkan.

“Di sana aku ngapain, Kak?” Gayatri malah balik bertanya. Ada yang harus ia pastikan.

“Membenamkan kepalamu di air. Waktu kutarik, kamu malah menggali tanah di sekitar kolam sambil bilang kalau ada benda yang terkubur di sana.”

Gayatri sama sekali tidak terkejut atas ucapan Ares barusan. Samar, ia bisa mengingat kejadiannya. Bagaimana Onyx diletakkan di atas meja, ia pergi ke dapur mencari minum, lalu suara-suara itu mulai terdengar dan membuat kepalanya sakit bukan main.

“Katanya, rasa sakit di kepalaku bisa hilang kalau aku pergi ke kolam, Kak.” Gayatri menerawang. Di atas meja sudah tidak ada Onyx. Ia memejam sebentar, berniat mengeluarkan benda itu. Ketika sinarnya muncul dan Onyx berada di tangannya, sepertinya Onyx kembali padanya saat ia berhasil bebas dari pengaruh tadi malam.

“Kata siapa?” telisik Ares.

“Apa suara yang sama persis seperti di pondok itu yang bilang?” tanya Zeera. Ia lebih memperhatikan sejak tadi. Tidak berniat menginterupsi pun menghakimi.

Gayatri mengangguk. “Benar. Orang itu seperti menuntunku. Tanpa sadar, aku mengikuti ucapannya.”

“Itu bukan menuntun, Aya. Tapi, mau menjerumuskanmu dalam bahaya!” Dean tampak murka. “Lain kali, jangan sekali-kali kamu meninggalkan Onyx jauh darimu. Apa kamu lupa tempat seperti apa Ansoncree ini? Lengah sedikit, kamu mungkin ada di alam lain. Beruntung ada Ares yang membantu saat itu. Kalau enggak ada, bagaimana?”

“Aku setuju dengan Kak Dean,” celetuk Sunni. “Kita enggak akan tahu apa yang terjadi tanpa perlindungan. Dan kamu, mulai sekarang enggak boleh pergi sendirian. Kami enggak membiarkanmu membantu tadi, karena tanganmu masih penuh luka. Kalau tambah besar lukanya, bagaimana?”

Gayatri menunduk. Setengah merasa tenang dan lega karena diperhatikan. Hatinya menghangat seketika. Namun, setengahnya lagi, ia merasa bersalah karena sudah merepotkan.

“Maaf,” kata Gayatri akhirnya. “Aku enggak akan mengulanginya lagi. Terima kasih, teman-teman. Terima kasih, Kak Ares.”

Semuanya mengangguk sambil tersenyum. Masalah teratasi tanpa ada adu mulut berkepanjangan. Pagi itu, mereka lewati dengan tenang. Sarapan sederhana yang dibuat oleh Zeera dan Sea langsung habis tanpa sisa. Setelahnya, mereka kembali bersiap pergi menuju lokasi kedua, kastel pemimpin Ansoncree.

“Kalian siap?” tanya Sea. Semuanya saling berpegangan dengan erat. Begitu Sea menjentikkan jarinya, mereka seketika berpindah. Kemampuan Onyx memang tidak bisa dianggap remeh.

Perpindahan ketiga kalinya ini, rupanya membuat mereka lebih terbiasa. Khususnya Gayatri. Ia tidak lagi merasa pusing atau oleng seperti kemarin. Saat tiba di depan kastel pemimpin pun, mereka berhasil mempertahankan posisi tanpa terjatuh.

“Inikah kastel pemimpin Ansoncree?” Sunni merasa takjub, rupanya. Kastel pemimpin Ansoncree benar-benar megah. Ukurannya sekitar lima kali lipat rumah Sea. Kastel itu tidak terbuat dari kayu, melainkan dari batu bata yang disusun tanpa meninggalkan warna aslinya. Bangunannya serupa istana zaman dulu yang biasanya ada di negara-negara Eropa.

Gayatri dan semua temannya tidak bisa mengalihkan pandangan. Tempat inikah yang menjadi pusat pemerintahan di Ansoncree? Dalam hati, Gayatri tentu berharap jika pusaka itu memang benar-benar ada di kastel.

“Cahaya merah!” celetuk Sunni. Semua mata mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh Sunni.

“Ayo, ke sana!” ajak Zeera. Tidak ada yang membantah. Mereka terpaku pada bagaimana cahaya merah itu memiliki warna yang lebih terang daripada sebelumnya. Seolah memanggil mereka untuk mendekat.

Jangan terlena!

Apa yang terlihat, tiada benar.

Kalimat dari Dewa mendadak terlintas di benak Gayatri. Ada yang aneh. “Teman-teman, tunggu!”

Terlambat. Peringatan Gayatri tidak didengar. Mereka segera pergi ke tempat cahaya merah itu berada tanpa mengeluarkan Onyx lebih dulu. Gayatri pun menjadi sasaran tarikan kuat milik Zeera.

Setelahnya, mereka benar-benar beranjak. Namun, belum sempat sampai di tempat cahaya merah itu, sebuah kurungan besi mendadak muncul dari bawah mereka. Cepat, tanpa sempat menghindar.

Suara tawa menyeramkan itu kembali hadir. “Selamat datang di kastelku.”

Seseorang yang tidak diduga sebelumnya, kini benar-benar muncul.

***

26 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top