25. Satu Hari Itu Lama

Ares


Dalam tidurnya, Ares merasa terusik. Suara-suara berisik terus saja muncul. Mengganggunya supaya tidak bisa tidur nyenyak. Entah dentingan benda logam, entah tawa menyeramkan. Setelahnya, tawa menyeramkan itu malah bercampur dengan nada lembut yang menentramkan hati, seperti suara ibunya.

Teruslah mencari hingga kalian merasa tersiksa!

Suara itu disertai tawa jahat. Suaranya menggelegar hingga membuat telinga Ares berdengung. Ia lantas berbalik ke kiri, menghadap Dean yang masih terpejam. Siapa tahu, suara itu akan hilang dengan sendirinya.

Kegagalan ada pada kalian!

Ares menutup telinganya dengan telapak tangan. Dalam hatinya ia berharap tidurnya kali ini bisa senyenyak teman-temannya.

Masih melawan? Jalan pulang akan musnah!

Keringat sudah mengucur dari dahi. Ares mengusapnya dengan punggung tangan, masih memejam. Berusaha, lebih tepatnya. Padahal, angin malam bisa lewat dengan leluasa melalui jendela yang tertutup setengah. Namun, Ares tetap merasa kepanasan.

Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya.

Dengarkan jalan setapak.

Suara Dewa kembali terdengar. Bercampur dengan kalimat-kalimat penuh kebencian yang diucapkan entah oleh siapa. Alis tebal Ares berkerut, telinganya bergerak-gerak meski telah ditutupi oleh telapak tangan. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Suara-suara itu terdengar saling bertumpuk. Berkali-kali. Diulang terus menerus.

Seperti kaset rusak.

Jangan mencari!

Kelak kalian akan kembali ke tempat sebelumnya.

“Berisik!” Ares terbangun. Lantas, melihat ke kanan dan kiri. Semua temannya masih tidur dengan nyenyak beralaskan karpet tipis. Ia menahan dahinya dengan jempol, sementara sikunya bertumpu pada kaki dengan posisi bersila. Seingatnya, ia mengeluarkan suara keras sekali, tetapi teman-temannya tidak terbangun.

Apa suaranya kurang keras?

Meski begitu, Ares mendesah lega. Jangan sampai suaranya mengganggu istirahat teman-temannya atau mereka akan mendiamkannya seharian penuh. Bukan apa-apa, bagi Ares, bisa tidur nyenyak itu anugerah. Jadi, jelas tidak boleh diganggu.

Kepalanya menoleh ke kiri, ada Dean di sana. Kemudian, ia menoleh ke kanan, menghitung teman-teman ceweknya satu persatu. Sea, Zeera, Sunni. Semuanya ada, syukurlah.

“Sea, Zeera, Sunni,” gumamnya. Tunggu, ada yang kurang. Ares kembali menoleh ke kanan hanya untuk mendapati bahwa Gayatri tidak ada di antara mereka.

“Aya!” Ares terlonjak. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Rumah Paman Hill terbilang kecil dengan ruangan yang terbatas. Jadi, harusnya cukup mudah baginya untuk segera menemukan Gayatri, bukan?

Hanya, seberapa keras Ares mencari, Gayatri tetap tidak ditemukannya. Ares segera memutuskan beranjak dari posisinya. Dicarinya Gayatri di dua ruangan dalam rumah itu. Jalannya pun perlahan agar tidak membangunkan semua orang. Namun, tetap saja nihil.

“Gayatri?” panggilnya. Tetap tidak ada jawaban.

Ke mana perginya cewek itu saat dini hari seperti sekarang ini?

Ares memutuskan keluar rumah. Udara malam yang dingin langsung menusuk tulang. Buru-buru ia kembali, mengambil jaket hitamnya, dan pergi ke samping rumah. Mungkin Gayatri ada di sana.

“Aya, kamu di mana?” panggilnya lagi. Tidak ada yang merespons panggilannya. Hanya kegelapan yang menjadi temannya dalam mencari keberadaan cewek itu.

“Anak itu kenapa kalau mau keluar, enggak bilang dulu?” gerutunya. Sambil terus berjalan, Ares juga kerap memanggil nama Gayatri. Ia bahkan hendak berjalan ke kanan, tetapi mendadak urung karena mendengar suara ranting patah di sebelah kiri.

Ares seketika menoleh. “Aya?” tanyanya pada diri sendiri. Matanya memicing supaya bisa melihat dengan jelas di antara gelapnya malam dan rapatnya pepohonan. Barulah, setelah ia yakin jika cewek itu adalah Gayatri dari kacamata bulatnya yang memantulkan cahaya bulan, Ares buru-buru mengejarnya.

“Aya! Mau ke mana?”

Ares tampak curiga. Suara sekeras itu, tetapi Gayatri tidak mendengarnya. Ia juga merasa ada yang aneh. Cara jalan Gayatri sempoyongan dan lumayan cepat, seperti dikendalikan oleh sesuatu.

“Aya!” Ares tidak mau menyerah. “Jangan ke situ!”

Jika Gayatri berjalan lumayan cepat, Ares harus berlari lebih cepat daripada cewek itu. Bagaimana pun, harus bisa mengejarnya. Jangan sampai tertinggal atau tidak akan ada hal baik. Ia mengabaikan suasana menyeramkan saat malam, tanpa disertai cahaya lampu, dan hanya dibantu oleh sinar bulan yang terpancar tidak merata. Ares tetap bertekad.

Ia harus berhasil membawa Gayatri kembali.

Karena itulah, Ares semakin memacu larinya, menembus rapatnya pepohonan dengan sigap, mengabaikan suara gesekan kaki dengan sampah dedaunan, hingga jarak mereka semakin menyempit.

“Aya! Kamu ngapain?” Ares seketika mendelik.

Gayatri mendadak jatuh bertumpu pada lututnya tepat di depan sebuah kolam yang ada di tengah hutan. Ukurannya memang tidak besar, tetapi cukup membuat Ares benar-benar terkejut atas apa yang dilakukan cewek itu setelahnya.

“Astaga, Gayatri!” Ares berhasil sampai di belakang Gayatri. Ia lantas memegang bahu cewek itu dan berusaha mengeluarkannya dari dalam kolam. Bukan apa-apa, memasukkan kepalanya ke dalam kolam berkali-kali, jelas saja termasuk tindakan yang membahayakan nyawa.

“Aya, bangun! Kamu ngapain? Aya!” Ini aneh, tenaganya kalah kuat. Gayatri terus saja membenamkan kepalanya di dalam kolam. Dipanggil berapa kali pun, cewek itu tetap tidak mendengar. Telinganya seolah tertutup oleh sesuatu dan kesadarannya mendadak hilang.

Tidak, tidak. Jangan panik! Ia harus bisa membantu. Berkali-kali Ares menarik Gayatri agar berhenti. Ares tidak berniat menyerah. Lantas, dalam sekali sentakan, Ares menarik Gayatri sekuat tenaga hingga mereka sama-sama jatuh di atas tanah. Namun, belum selesai kepanikannya karena tingkah laku cewek itu, Gayatri justru bangkit dari posisi jatuhnya dan langsung menggali tanah di sekitar kolam.

“Astaga, Aya! Kamu ini kenapa?” Ares mulai lelah, rasanya. Gayatri yang biasanya tenang, kini menjadi seperti orang kesetanan.

“Cari sampai ketemu. Harus ditemukan. Ada di sini. Di dalam sini.” Gayatri bergumam sendiri. Rambut dan pakaiannya basah. Cewek itu mengabaikan luka di tangannya yang kembali terbuka. Darah merembes dari sela-sela goresannya.

“Aya, kamu bisa dengar aku?” Ares masih berusaha. Dicengkeramnya bahu Gayatri, lalu ia membalik tubuh cewek itu dengan cepat. Semoga tidak menyakitinya. Dalam posisi mereka, Ares bisa melihat sorot mata Gayatri begitu kosong. Cewek itu terus menggumamkan sesuatu yang sama.

Ares rasanya ingin sekali marah. Namun, ia urungkan kemarahannya dan memilih membawa cewek itu ke pelukannya. Meski memberontak, Ares tetap tidak akan menyerah. “Tenang, Aya. Aku di sini. Kami semua di sini.”

Cukup lama Ares mempertahankan posisinya, memberi kekuatan kepada Gayatri agar cewek itu tidak lagi merasa terbebani. Ia bahkan menepuk-nepuk punggung Gayatri sambil berusaha menenangkannya. Perlahan-lahan, Gayatri berangsur-angsur tenang. Tersisa deru napas mereka yang naik turun tidak teratur.

“Kak Ares?” Gayatri mendongak, tampak bingung. Kesadarannya sudah kembali.

Ares hanya tersenyum. “Apa kamu sudah tenang?”

“Kita di mana? Mana teman-teman yang lain?” Kini, giliran Gayatri yang mengedarkan pandangannya. Bukan rumah Paman Hill yang tampak, melainkan hutan gelap nan menyeramkan.

“Ayo, kita kembali dulu ke rumah pamannya Sea. Kamu kelihatan kedinginan.” Memang benar, Ares melihat Gayatri menggigil. Jelas saja, tubuh bagian atas cewek itu basah. Hanya mengenakan kaus berlengan pendek, tentu membuatnya kedinginan. Ares baru menyadari jika Gayatri tidak memakai jaketnya.

Buru-buru Ares melepas jaket hitamnya dan membantu Gayatri memakainya. Cewek itu hanya diam saja. Mungkin mencerna, mungkin juga sedang bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Kamu masih sanggup jalan?” tanya Ares. Gayatri tidak meresponsnya. Namun, ketika Ares selesai memasang jaketnya pada Gayatri, cewek itu mendadak lemas dan menjatuhkan dirinya tubuh Ares sambil terpejam.

Ares kembali panik. Dilihatnya bahu Gayatri yang naik turun dengan teratur, sepertinya cewek itu kelelahan hingga tanpa sadar tertidur. Ares mendesah keras sekaligus penasaran. Apa lagi yang akan mereka alami setelah ini?

Hanya, apa pun itu, ia bertekad tidak akan menyerah sedikit pun. Setidaknya, demi teman-temannya.

“Aya, ayo kembali ke teman-teman.” Ares menggendong Gayatri di punggungnya. Beruntung mereka tidak pergi terlalu jauh dari rumah Paman Hill sehingga Ares masih mengingat jalan kembali.

Ia berjalan perlahan sambil sesekali melihat ke belakang, ke arah Gayatri. Cewek itu benar-benar tertidur, rupanya. Ares mendesah lega saat mereka sampai di depan rumah Paman Hill. Di sana, ternyata semua temannya sudah terbangun. Dean yang lebih dulu menghampirinya.

“Kamu dari mana?” tanya Dean. Namun, ketika melihat Gayatri yang basah kuyup dan terlelap, Dean kontan mendelik. “Aya kenapa?”

Ares menggeleng. “Enggak tahu. Anak ini mendadak ada di kolam sana dan bertingkah aneh.”

“Maksudmu?” Bukan hanya Dean yang penasaran, tetapi Sea, Sunni, dan Zeera juga sama. Mereka bahkan berkumpul di teras dengan ekspresi panik.

“Nanti aja penjelasannya. Tunggu Aya bangun, karena yang tahu kejadiannya cuma dia.”

***

25 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top