24. Arti Kalimat Kedua

Zeera

Ternyata, Sea tidak bercanda. Ketika cewek itu bilang bahwa fungsi Onyx tidak hanya sebagai pelindung, Zeera kira itu hanya lelucon untuk menyenangkan hati kelima remaja yang sedang putus asa. Teleportasi yang Sea maksud bukanlah berlari secepat kilat menembus hutan saat malam agar bisa segera sampai ke tujuan, melainkan berpindah posisi hanya dalam satu kedipan mata.

Tubuhnya oleng ketika matanya terbuka. Di depannya kini tampak sebuah rumah panggung yang serupa dengan milik Sea. Rumah itu lebih kecil dan tidak terawat. Terbukti dari banyaknya sampah yang berserakan di sekitarnya.

Alis Zeera berkerut. Keseimbangan tubuhnya tidak sempurna, begitu juga dengan keempat temannya. Mereka malah lebih parah. Jatuh dalam posisi tidak menyenangkan setelah berhasil mendarat. Sampai kapan pun rasanya Zeera tidak akan terbiasa.

“Ini kastelnya?” Dean bangkit dari posisi jatuhnya, lalu berjalan mendahului. Satu tangannya mengambil kaleng bekas yang sudah berubah bentuk, mungkin karena terlindas sesuatu. Lalu membuangnya sembarangan. “Aku kira kastel pemimpin bakalan super besar dan megah. Kamu tahu, semacam destinasi wisata.”

“Ini bukan kastelnya, Kak.” Sea melompati dua anak tangga sekaligus agar sampai di depan pintu. Begitu sampai, Sea langsung mendorong pintu yang tidak tertutup sempurna itu.

“Kosong?” Ares mengikuti langkah Sea. “Apa ada yang kamu cari di sini?”

Sea mengangguk. “Ini rumah pamanku, Kak. Orang yang selalu dijuluki kutu buku karena dari seluruh penduduk Ansoncree, hanya Paman Hill yang punya banyak koleksi buku.”

“Apa semua orang di Ansoncree selalu menggunakan nama kenampakan alam untuk nama mereka? Namamu, Sea. Sekarang Hill,” komentar Dean. Sea hanya meresponsnya dengan senyum lucu. Dean lalu mengikuti Sea dan Ares masuk ke rumah. Zeera, Gayatri, dan Sunni juga mengikuti setelahnya.

Di dalam mereka benar-benar disuguhi pemandangan luar biasa. Tidak pernah dijumpai di tempat tinggal mereka sebelumnya. Deretan buku berbagai ukuran dan warna disusun rapi dalam rak yang menyatu dengan dinding. Rak itu diatur melingkar sehingga dinding yang berbentuk segi empat jika dilihat dari luar, tidak tampak begitu jika dilihat dari dalam.  Zeera kira, rumah paman Sea ini akan sempit mengingat ukurannya tampak lebih kecil daripada rumah Sea.

Ternyata, perkiraan Zeera salah. Susunan buku-buku itu benar-benar sempurna hingga tanpa sadar, Zeera dan keempat temannya mengamati sambil berputar. Sorot mata mereta berbinar dengan pandangan terpesona. Bahkan, Dean yang tidak terlihat ambisius pun, ikut terperangah.

“Takjub, kan?” Sea terkikik geli. “Aku dulu juga begitu waktu pertama kali datang ke sini. Koleksi buku milik Paman Hill banyak banget. Dari yang paling umum hingga paling langka di Ansoncree.”

“Ini bukan rumah, tapi perpustakaan!” Zeera tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya jika sudah melihat buku. Meski tidak pintar dan nilai kecerdasannya hanya sebatas rata-rata, Zeera tetap menyukai sumber ilmu itu. Mungkin semua temannya juga sama.

“Sepertinya pilihan tepat aku mengajak kalian ke sini. Kalau sedang bingung, aku selalu pergi ke sini untuk meminjam buku.” Sea bergerak menuju bola kristal di atas meja. Disentuhnya bola itu, keadaan seketika berubah lebih terang.

“Bagaimana cara ambil bukunya?” Pandangan Sunni masih berkeliling.

“Katakan saja judul bukunya, maka buku itu akan langsung datang.”

“Maksudnya?” Sunni membeo.

“Pusaka Leluhur Ansoncree.” Sea mengatakannya dengan lantang dan dalam sekali tarikan napas. Beberapa detik kemudian, sebuah buku yang berada di rak paling atas, terbang dan langsung mendarat di tangan Sea.

Semua mata kembali takjub. Buku itu benar-benar bisa bergerak, seperti sihir. Sampulnya berwarna hitam, tampak usang. Namun, tidak terdapat lekukan atau sobekan di setiap halamannya. Bukunya benar-benar dijaga dengan sempurna meskipun tampak seperti tidak terawat dengan baik.

“Sejak awal, aku sudah berencana mengajak kalian ke sini.” Sea memilih duduk lesehan di tengah ruangan. Ada meja kayu besar di sana. Bukunya diletakkan di atas meja itu dengan posisi terbuka. “Kemarilah dan lihat ini.”

Zeera yang lebih dulu mendekati Sea. Kemudian, disusul oleh Gayatri, Ares, Sunni, dan terakhir Dean. Mereka duduk mengelilingi buku itu dengan rasa ingin tahu. Apa kiranya yang ingin Sea tunjukkan?

“Itu pusaka leluhur Ansoncree?” Zeera tampak tidak percaya. Pasalnya, pusaka yang terdapat di salah satu halaman dalam buku itu ternyata juga berupa batu yang mirip dengan Onyx. Bentuknya seperti tebing yang bagian bawahnya runcing, tetapi tumpul dan melebar di bagian atas. Zeera segera mengetahui jika itu bukan batu biasa, melainkan batu permata. Warnanya merah dan diletakkan di dalam cangkang serupa cangkang telur, tetapi transparan.

“Benar, Kak. Ini pusaka leluhur Ansoncree,” kata Sea.

“Ternyata warna merah yang kita lihat di dekat patung dewa tadi, memang benar pusaka,” celetuk Gayatri. Cewek itu terus menatap gambar pusaka dengan lekat. Tidak melepasnya barang sedetik pun.

“Di sini dikatakan, pusaka leluhur Ansoncree berada dalam cangkang sejak pertama kali ditemukan.” Sea membaca buku itu. Zeera dan keempat temannya mendengarkan. “Pusaka ini memiliki energi dahsyat yang tidak bisa dibayangnya sebelumnya. Jika dikeluarkan dari cangkangnya, siapa pun harus bersiap dengan kemungkinan terburuk.”

“Sepertinya itu udah terjadi,” celetuk Dean. “Maksudnya, kepala sekolah mengambil pusakanya dari dalam cangkang, mengutak-atik benda itu, dan akhirnya seperti yang kita tahu.”

Zeera diam-diam menyetujui ucapan Dean. Sepertinya Pak Fero memang mengeluarkan pusaka dari cangkangnya. Karena penasaran, benda itu diutak-atik. Portal ke Ansoncree terbuka. Namun, bukannya senang karena pusaka leluhur dapat kembali ke tempat seharusnya, benda itu justru menimbulkan malapetaka bagi setiap penduduk di Ansoncree.

“Namun, jangan percaya dengan apa yang dilihat.” Mengabaikan ucapan Dean, Sea kembali membaca kalimat yang tertera di bawah gambar pusaka itu. “Kebenaran tidak selalu sesuai dengan apa yang tertangkap oleh mata. Jika itu terjadi, bersiaplah untuk menukar pusaka dengan pasangannya.”

“Pasangannya? Apa maksudnya itu?” Sunni tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Aku enggak tahu, Kak.” Sea menggeleng. “Enggak ada yang tertulis lagi setelah kalimat tadi.”

“Serius?” Kali ini, Dean yang berkomentar. “Buku setebal itu, tapi enggak punya petunjuk lain? Yang benar saja!”

“Aku penasaran dengan kalimat dari Dewa.” Gayatri tampak serius. Manik matanya menatap satu persatu temannya. “Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya. Dengarkan jalan setapak. Kembalikan apa yang sudah seharusnya. Jangan terlena! Apa yang terlihat, tiada benar. Kalian mungkin akan kembali ke tempat semula. Salah satunya memiliki bagian yang sama.”

“Aku bisa mengerti kalimat yang pertama.” Ares rupanya mencatat apa yang diucapkan oleh Dewa. Entah kapan cowok itu melakukannya. Kalau dipikir-pikir, kombinasi antara Ares dan Gayatri ini benar-benar cocok. Maksudnya, keduanya hampir selalu kompak dan memiliki arah pikiran yang sama. Zeera jadi sedikit iri.

“Kalimat itu mengarah pada Sea karena hanya Sea yang bisa kita percayai saat ini,” kata Ares lagi. “Tapi, kalimat kedua justru bikin bingung. Dengarkan jalan setapak?” Ares menggeleng lemah di akhir kalimatnya, tidak terpikirkan ide lain.

“Apa kita harus mengartikan sajak itu secara keseluruhan?” Sunni ikut menanggapi.

“Kalau secara keseluruhan, bukannya malah enggak nyambung?” Dean mengambil kertas berisi kalimat itu dari tangan Ares. “Setahuku, sajak semacam ini harus diartikan satu persatu, tapi tetap saling berhubungan.”

Zeera pikir, ini jalan buntu pertama yang mereka alami setelah beberapa hari saling mengenal. Sama seperti Ares, Dean, atau Sunni, Zeera juga tidak bisa menebak apa maksud sajak itu sebenarnya. Apakah petunjuk yang langsung mengarah kepada lokasi pusaka? Atau apakah berupa rangkuman seluruh kejadian yang mereka alami? Di masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Zeera tidak tahu mana yang benar.

“Mungkin maksudnya kita harus terus melihat ke bawah.”

Ucapan Gayatri barusan, sukses membuat Dean mendelik heboh. Cowok itu bahkan sudah hendak berdiri protes, tetapi Gayatri menahannya dengan satu tangan.

“Dengarkan aku dulu, Kak. Jangan protes dulu,” kata Gayatri. “Aku memang enggak yakin soal arti kalimat kedua, tapi dengarkan jalan setapak juga bisa diartikan kalau kita harus melihat ke bawah. Mengamati jalan yang kita lewati, maksudnya. Bukan hanya untuk mengetahui dikubur di mana pusaka itu, mengingat dua kali hasil usaha kita, pusaka itu memancarkan cahaya merah dari dalam tanah.”

“Persingkat, Aya!” Ares mulai tidak sabaran. Bahkan, semua temannya juga sama.

“Maksudku, jangan terus-terusan lihat ke atas kalau enggak mau jatuh.”

***


24 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top