23. Kebenaran Ada Padanya
Dean
Dean sangat tidak mengerti. Sejauh yang ia tahu, mereka hanya diharuskan mencari pusaka leluhur, membangunkan kepala sekolah, dan pulang ketika semua itu berhasil dilakukan. Namun, jangankan berhasil, masalah terus saja datang bertubi-tubi.
Ini baru lokasi pertama, belum lokasi kedua yang harus mereka tuju. Memangnya, Ansoncree itu dunia yang seperti apa hingga setiap wilayahnya seperti membuat semua orang hanya berputar-putar di tempat? Kadang cerah, kadang mendung tanpa hujan. Belum lagi orang-orang pribumi yang sikapnya aneh. Tidak bisa disentuh, tetapi menyentuh orang lain tanpa takut menghilang.
Dean menggelengkan kepalanya dramatis. “Orang itu sengaja membakar pondok?” tanyanya heboh. Setelahnya, Dean malah menatap keempat temannya, meminta penjelasan.
“Sebenarnya, aku sudah mengantisipasi kalau terjadi sesuatu, kalian bisa datang ke pondok untuk mencari bantuan, Kak.”
Nah, muncul lagi. Dean mendelik tidak percaya. “Itu kalau kami berhasil menemukan pondok, kalau enggak, bagaimana? Usahamu sia-sia, kan?”
“Enggak, Kak.” Sea menggeleng lemah. Rasa sakit di tubuhnya masih ada. Terbukti dari cara duduk cewek itu yang gelisah dan raut wajahnya yang menahan sakit. “Ke mana pun kalian pergi, pondok itu pasti akan ada di depan kalian. Aku sudah mengaturnya begitu.”
“Pondok itu? Yang terbuat dari bambu? Atapnya hangus?” Dean tidak bisa jika tidak bertanya lebih jauh. Untuk memastikan saja, sebenarnya. Siapa tahu pondok yang ada di pikirannya berbeda dengan pondok di pikiran Sea.
“Benar,” kata Sea lagi. “Ketika pintu pondok itu terbuka, harusnya kalian akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang tidak bisa aku beritahu. Tapi, orang itu tahu lebih dulu dan malah berniat mengurung kalian di sana.”
“Mengurung dengan membakar pondok? Orang itu justru ingin membunuh kami!” Dean semakin geram. Mereka ini hanya anak SMA yang masih membutuhkan uang saku dari orang tua. Mengapa harus datang ke Ansoncree tanpa diberi kesempatan untuk menolak?
“Siapa orang yang kamu maksud itu, Sea?” Ares bertanya dengan nada menuntut. Mungkin cowok itu sudah benar-benar lelah dengan semua drama yang terjadi sejak mereka menginjakkan kaki di tanah Ansoncree ini.
Sea menggeleng. “Aku enggak tahu, Kak. Aku enggak pernah bertemu orang itu, apalagi mendengar suaranya.”
Ares tampak berpikir. “Seharusnya tidak ada penduduk Ansoncree yang tersisa yang masih bersikap normal selain kamu, benar?”
“Seharusnya.”
“Kalau asumsiku benar, artinya masih ada satu orang yang tersisa.” Ares menatap keempat temannya lekat.
“Dan orang itu enggak mau kita menemukan pusaka,” timpal Gayatri.
Dean memejam sambil berpikir. Sejak awal, banyak informasi yang masuk ke otaknya, tetapi tidak sepenuhnya dapat dicerna. Tentu saja. Gelas jika diisi air sekaligus pun pasti akan tumpah dan hanya terisi sebagian saja. Analoginya sama, bukan?
“Apa kamu tahu kenapa orang itu enggak mau kita menemukan pusakanya?” tanya Zeera. Cewek itu berdiri sambil bersandar di batang pohon Ek. Pertanyaannya jelas ditujukan untuk Sea.
“Hal gila yang bisa aku pikirkan adalah orang itu memang ingin memusnahkan seluruh penduduk Ansoncree.” Bukan Sea yang menjawab, melainkan Gayatri. Tingkah laku cewek itu setelah berhasil mengeluarkan Onyx benar-benar berbeda. Bukan lagi pendiam dan harus dipaksa berbicara, Gayatri sendiri yang sukarela mengutarakan pendapatnya.
Udara malam lumayan dingin, ternyata. Merapatkan jaket pun seperti tidak ada gunanya. Bulan purnama bersinar terang. Warnanya kuning bercampur merah, semakin menambah kesan menyeramkan.
Dean mendengkus. Ia tidak suka bulan. Alasannya, saat bulan muncul, artinya sudah malam. Ketika malam, suasana rumahnya sangat tidak menyenangkan untuk didengar ataupun dilihat. Suara teriakan, sahutan penuh amarah, dan barang pecah selalu menemaninya saat malam. Tidurnya tidak pernah nyenyak. Ia jadi—tunggu. Dean mengerjap, lantas berbicara, “Masuk akal juga omonganmu, Aya. Tapi, kita enggak punya bukti.”
“Kak Dean mirip Kak Ares kalau ngomong soal bukti,” celetuk Sunni.
Dean dan Ares kompak saling menatap, lalu kompak juga membuang muka. Semua cewek di sana terkikik geli.
“Tapi, Sea.” Zeera membuat Sea menatap ke arahnya. “Kenapa kamu melarang kita untuk ke rumah salah satu penduduk di sana?”
Sea mengembuskan napas keras. Kepalanya mengarah pada deretan rumah penduduk yang gelap gulita. “Aku merasakan tanda bahaya, Kak,” katanya, lalu beralih pada Dean dan keempat temannya lagi. “Apa kalian sudah bisa mengeluarkan Onyx?”
Alis Dean berkerut. “Kamu memata-matai kami?”
“Enggak, kok.” Sea memaksakan seulas senyum. “Kalian bisa terhindar dari orang-orang itu, membuat mereka pingsan, malah. Artinya, Onyx milik kalian udah sempurna.”
“Kenapa kamu enggak pakai Onyx waktu ditangkap?” tanya Sunni.
“Enggak sempat, Kak.” Sea menunduk. “Onyx harus keluar dari dalam tubuh untuk bisa digunakan sebagai pelindung secara sempurna.”
Keheningan malam ternyata membuat suasana menjadi sangat tidak enak. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Hutan tampak lengang. Patung dewa tempat Sea bersandar seolah memberi kesan magis yang begitu kuat. Bersamaan dengan helaan napas dan rasa putus asa yang kembali muncul dalam hati, patung dewa itu tiba-tiba bergerak.
Dean kembali terlonjak kaget karena ia menatap langsung patung dewa tepat di bagian wajah. Patung dewa itu sedang tersenyum. Padahal, awalnya tidak.
“Apa lagi ini?” Ares membantu Sunni membawa Sea pergi menjauh. Semuanya berkumpul menjadi satu dengan pandangan yang terkunci pada patung dewa. Rasa cemas, takut, dan waswas menjadi satu. Apalagi, ketika benda itu mulai mengeluarkan cahaya yang sama persis dengan cahaya Onyx.
Tanpa aba-aba, kelima Onyx mendadak dipaksa keluar dari dalam tubuh Dean, Ares, Gayatri, Sunni, dan Zeera. Cepat, tanpa bisa dicegah. Mereka seketika jatuh terduduk saat kelima Onyx itu berputar di atas patung dewa. Sedetik setelahnya, muncul lapisan putih yang menyelubungi mereka seperti cangkang telur.
Lapisan itu seperti sekat yang membatasi mereka dengan daerah lain yang tidak terlindungi. Perlahan tetapi pasti, tanpa sempat mencerna apa yang akan terjadi, sebuah suara kembali terdengar. Lembut nan menenangkan hati.
Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya.
Dengarkan jalan setapak.
Kembalikan apa yang sudah seharusnya.
Jangan terlena!
Apa yang terlihat, tiada benar.
Kalian mungkin akan kembali ke tempat semula.
Salah satunya memiliki bagian yang sama.
Suara itu seperti sajak, sarat akan makna. Tiba-tiba menghilang. Perginya secepat ia datang. Lapisan putih memudar, tersisa Dean dan semua temannya yang terpaku tanpa sanggup bergerak. Onyx kembali kepada pemiliknya. Bersinar sebentar, lalu melebur. Cahayanya tidak ada lagi. Senyum di wajah patung dewa tidak terukir lagi. Suasanya kembali lengang.
“Dewa berpihak pada kita.” Sea yang lebih dulu menemukan suaranya kembali. Ia menggoyang tubuh Dean dan keempat temannya heboh. Seperti lupa akan lukanya, Sea justru terlihat baik-baik saja.
“Sea, lukamu!” Sunni terperanjat.
“Sembuh, kan?” Seulas senyum manis kembali terukir di wajah Sea. Wajahnya tidak lagi lesu. Luka-luka di sekujur tubuhnya mendadak hilang tanpa sisa. “Dewa membantu kita!”
“Jadi, dewa yang itu benar-benar nyata? Bukan hanya patung yang dibuat untuk menakut-nakuti anak-anak? Bukan buat pajangan?” Dean benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ini termasuk hal gila ketiga yang dialaminya sejak ada di Ansoncree.
Pertama, saat pertama kalinya melihat orang-orang pribumi tidak punya telinga. Kedua, saat mereka dikepung oleh banyaknya orang-orang pribumi itu di pohon Ek. Ketiga, patung dewa itu ternyata asli.
Sea mengangguk cepat. “Petunjuknya sudah muncul. Kita pasti bisa menemukan pusakanya dan kalian bisa pulang!”
“Ikutilah dia karena kebenaran ada padanya.” Gayatri menatap Sea tepat di mata. “Apa artinya itu kamu?”
Sea terdiam. “Aku enggak tahu pastinya, Kak. Tapi, karena aku yang membawa kalian kemari, aku juga yang harus membantu kalian untuk pulang.” Sea menunjukkan deretan giginya lucu. Cewek itu kembali seperti anak kecil pada umumnya. “Mau langsung berpindah ke lokasi kedua?”
Dean dan keempat temannya mengerutkan kening. Bukan berjalan, melainkan berpindah. “Kamu enggak salah ngomong?”
Sea menggeleng. “Enggak, kok.”
“Berpindah? Dengan cara apa?” Zeera baru bisa bicara setelah beberapa menit berlalu. Sepertinya cewek itu begitu kaget.
“Teleportasi.” Sea masih tersenyum, tetapi kini senyum misterius. “Aku tahu kalian pasti capek. Kastel ada di bagian paling utara Ansoncree. Butuh waktu seharian penuh kalau jalan kaki.”
“Kamu ini penyihir atau apa?” Ares membeo. Sosoknya yang tegas dan berwibawa seketika hilang.
“Kalian enggak mengira kalau fungsi Onyx hanya pelindung, kan?”
Ucapan Sea barusan benar-benar mengguncang pikiran Dean dan keempat temannya.
***
23 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top