22. Sesuatu Tentang Ketulusan dan Kengerian
Gayatri
Tangan Sunni mengusap lembut keringat yang bercucuran dari dahi Sea. Ujung baju bagian lengannya basah, bercampur dengan kotoran yang berasal dari tanah dan beberapa helai daun serta rumput kering. Dilihatnya Sea yang terbaring tidak sadarkan diri sambil sesekali meringis menahan sakit.
“Apa yang mereka lakukan padamu, Sea?”
Satu detik, dua detik. Jawaban tetap tidak keluar dari mulut cewek yang terlalu banyak dicecar oleh beragam pertanyaan itu. Terlalu banyak dicurigai karena minimnya bukti.
“Apa Sea baik-baik saja?” Gayatri mengulangi pertanyaannya. Ia tahu, sia-sia dirinya bertanya seperti itu. Berkali-kali pun, jawaban tetap tidak akan didapatkannya.
Wajah Sea tampak pucat jika diamati dengan saksama. Alis serupa bulan sabit miliknya berkerut dengan mata terpejam erat sekali. Bibirnya kering dan sedikit mengelupas. Dalam tidurnya, Sea menggumamkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti.
“Ayo kita bawa Sea ke tempat aman, Kak.” Gayatri menatap Ares tepat di mata. Berlama-lama di luar jelas bukan sesuatu yang harus dilakukan jika ingin Sea cepat sadar. Paling tidak, supaya cewek yang berusia setahun lebih muda darinya itu bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya.
Gayatri sedikit mendesah. Rasanya ia menjadi sangat egois.
“Kalau ke rumah penduduk, bagaimana?” tanya Sunni. Ia masih mengamati Sea dengan lekat. Sesekali tangannya mengusap lembut rambut biru Sea, sesekali ia memastikan jika kepala Sea nyaman berada di pangkuannya.
Dari posisinya, Gayatri bisa melihat Ares yang sedang berpikir. Selama mereka bersama—meskipun hanya beberapa hari—Gayatri jadi tahu jika Ares termasuk seseorang yang penuh perhitungan. Tentu saja Gayatri sangat mendukung kakak kelasnya itu.
Maksudnya, mereka harus tetap berpedoman pada tujuan utama dan jangan sampai terlalu terlena.
“Kamu jangan banyak mikir, dong!” Dean tampak geram. Sepertinya karena Ares terlalu lama memberi keputusan di saat seharusnya mereka dituntut untuk cepat bergerak. “Kalau kamu takut hal semacam tadi terjadi lagi, tenang aja. Kami bisa mengeluarkan Onyx lebih cepat daripada sebelumnya.”
Akhirnya, Ares mendesah keras. “Kita bawa Sea ke salah satu rumah penduduk itu,” katanya cepat, tanpa jeda.
“Kak Ares takut ada orang lain yang tersisa di sana?” tanya Zeera. “Maksudku, orang yang dari awal sengaja tidak diperintahkan keluar dan mungkin aja menunggu kita untuk datang ke sana dengan membuat Sea sebagai sandera.”
“Itu salah satunya.” Ares menekan bibirnya kuat-kuat, seperti hendak marah. “Apa kalian enggak merasa kalau mereka terlalu mudah kalah?”
“Mungkin mereka sengaja mengalah untuk membuat kita lengah,” kata Gayatri sambil mengamati banyaknya orang pribumi yang tergeletak di sekitar pohon Ek.
Memang benar jika mereka selesai menyingkirkan para penduduk pribumi yang mengerubungi Sea itu dengan sangat cepat. Tidak ada kendala ataupun perlawanan dari orang-orang itu. Artinya, begitu banyak kemudahan di dalamnya. Namun, bukannya senang, perasaan janggal justru kembali muncul.
Mengapa begitu mudah?
Mengapa hanya seperti itu saja, para penduduk pribumi itu sudah tergeletak tidak sadarkan diri?
Gayatri dan keempat temannya jelas tidak berani memindahkan para penduduk pribumi itu. Bukannya kembali sehat seperti semula, mereka mungkin saja akan benar-benar hilang ketika disentuh oleh manusia normal, seperti yang pernah dilakukan oleh Sunni.
“Bisakah kita tunda dulu diskusinya dan segera memindahkan Sea?” sela Dean. “Kalian enggak kasihan sama anak ini? Lihat tangannya, penuh luka.”
Memang benar, Gayatri dan ketiga temannya segera mengalihkan pandangan pada tangan Sea. Gayatri mengangkat pergelangan tangan Sea perlahan. Diamatinya salah satu alat gerak itu dengan saksama. Pergelangan tangan Sea memerah dan memar. Terdapat luka karena ikatan tali yang terlalu kuat hingga membuatnya berdarah. Bahkan, bekas talinya pun tidak kunjung memudar.
“Apa yang sudah mereka lakukan pada anak ini?” Sunni seperti ingin menangis. Buru-buru Zeera menepuk bahu cewek itu supaya tidak lagi bersikap melankolis. Beruntungnya, Sunni termasuk cewek yang lekas mengerti.
“Baiklah.” Ares berjongkok. “Ayo, bantu aku mengangkat Sea. Kita pergi ke salah satu rumah di sana.”
Mereka hendak membawa Sea pergi dari tempat semula. Apalagi, Sea sudah berada pada posisi yang pas di gendongan Ares dengan kepalanya yang bersandar pada punggung cowok itu. Namun, langkah mereka terhenti karena Sea mencengkeram jaket Ares.
“Jangan, Kak,” kata Sea lemah.
Semua pasang mata kontan terperangah. Buru-buru Ares kembali menurunkan Sea perlahan dan menyandarkan cewek itu di pohon Ek. Sea tampak lemah sekali. Bahkan, cewek itu seperti menahan sakit.
“Apa kamu merasa enggak nyaman?” Sunni berjongkok di depan Sea. Ia memberikan botol minumnya pada cewek itu dan membantunya minum hingga isinya tersisa setengah.
“Terima kasih, Kak.” Suara Sea kembali bertenaga, meskipun sedikit. Ia melihat pergelangan tangannya sejenak. Sisa kemerahannya masih tampak. Sea sedikit meringis. “Aku kira aku bakalan tamat.”
“Sea, maaf sebelumnya.” Ares ikut berjongkok di depan cewek itu. “Kalau aku bertanya bagaimana caranya kamu bisa berakhir dengan mereka, apa kamu sanggup cerita?”
“Kak, tunggu bentar bisa, dong.” Zeera menunjukkan ekspresi tidak senang.
“Iya, Res,” timpal Dean. “Paling enggak, tunggu satu atau dua jam dulu.”
Ares meliriknya. “Siapa di awal yang suka mencecar Sea dengan pertanyaan, kalau gitu?”
Dean mendadak bungkam. Gayatri melihatnya sebagai sesuatu yang langka setelah kakak kelasnya itu meminta maaf atas kesalahannya. Bicara tentang desakan Ares barusan, rasanya Gayatri bisa mengerti. Sudah sejauh ini, tetapi mereka belum mendapat titik terang sama sekali.
Harus melangkah ke mana, harus berbuat apa, tidak ada yang tahu. Jadi, Gayatri menilai Ares bukan sebagai cowok yang suka mendesak orang lain, tetapi karena tuntutan.
“Kami ingin pulang, Sea.” Gayatri memejamkan matanya. Ia tahu, pasti sebentar lagi akan ada yang mencibirnya karena tidak memiliki sikap toleransi.
“Enggak masalah, Kak. Aku udah lumayan bertenaga setelah minum.” Sea memaksakan seulas senyum. “Apa kalian ingat ketika Kak Sunni didekati oleh orang-orang pribumi itu?”
“Itu awal mula kita terpisah.” Zeera menatap Sea lekat.
Sea mengangguk. “Saat itu aku ikut berlari dengan Kak Sunni. Kak Sunni bahkan megang tanganku erat banget. Logikanya, enggak mungkin pisah, kan?”
“Apa yang membuatmu tiba-tiba pisah dari Sunni?” tanya Gayatri. Ia mulai mengerti ke arah mana pembicaraan Sea ini.
Hanya, Sea mendadak bungkam saat diberi pertanyaan oleh Gayatri. Cewek itu memilih menatap satu persatu remaja di depannya dengan lekat. Mulai dari Gayatri, Ares, Dean, Zeera, dan terakhir Sunni. Sorot matanya seketika berubah sendu ketika melihat Sunni. Senyumnya kecil, tetapi terasa penuh luka.
“Sea?” panggil Sunni.
“Tolong jangan pergi ke salah satu rumah penduduk itu,” kata Sea akhirnya.
“Kenapa?” Dean dan Ares kompak bertanya.
“Aku mendengar suara orang itu, Kak.” Kini, ekspresi wajah Sea tampak ketakutan. Sunni merangkulnya supaya tenang. “Aku berpisah dengan Kak Sunni karena waktu itu Kak Sunni hampir tertangkap, tapi gagal.”
“Dan kamu yang mengorbankan dirimu sendiri demi aku?” telisik Sunni.
Sea menunduk, seperti tidak berani membantah. “Waktu aku tertangkap, aku diseret sampai ke depan desa. Entah bagaimana caranya, orang-orang itu enggak hilang meskipun memegang tanganku. Saat itulah suaranya muncul.”
“Apa orang itu membicarakan soal pondok di hutan?” tanya Gayatri. Dean kontan melihatnya seolah bertanya apa hubungannya Sunni dengan pondok di hutan.
Semula, Gayatri kira itu hanya dugaannya saja. Mungkin memang pondok dan Sea tidak saling berhubungan. Namun, keadaan seketika berubah saat Sea mengatakan sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Orang itu bilang, pondok di hutan sengaja dibakar untuk mengurung kalian.”
***
22 Oktober 2025
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top