2. Lilin yang Menyala
Gayatri
***
Selama menempuh pendidikan di SMANA, Gayatri menyadari satu hal. Orang-orang di sini tidak terlalu kaku dan senang sekali menyapa dengan akrab. Terutama, teman-teman satu kelasnya di kelas X IPA 3. Saling berbicara meskipun tidak ada hal mendesak, membantu ketika ada teman yang kesulitan memahami pelajaran, hingga mengadakan pelajaran tambahan yang langsung dikomandoi oleh ketua kelas.
Kata ambisius memang selalu ada dalam kamus siswa-siswi di SMANA. Di urutan paling atas. Nilai ujian harus sempurna, sikap patuh tidak boleh hilang, dan persaingan antar siswa sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, semua itu masih kalah dengan kekompakan yang diciptakan.
Tidak heran jika SMANA masuk dalam kategori sekolah swasta elite di Kota Sidoarjo, meski lokasinya yang ada di pinggir sawah. Elite dalam arti sering memborong prestasi, tentu saja. Baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Biaya masuknya saja fantastis. Jelas hal itu sebanding dengan fasilitas yang didapat oleh setiap siswa. Ah, iya. Jangan lupakan gerbang masuknya yang seperti portal masuk ke dunia dogeng—megah sekali.
Gayatri tidak pernah menyesal ada di SMANA. Demi apa pun, proses masuknya saja sulit, apalagi jika mengincar program beasiswa. Ia berhasil lolos dengan peringkat dua puluh tiga dari total lima puluh peserta saja sudah sangat bersyukur. Jadi, harusnya tidak ada yang perlu dicemaskan, bukan?
Toh, Gayatri juga senang karena lolos program beasiswa. Teman-teman satu kelasnya pun tidak ada yang menghakimi atau bersikap diskriminatif. Ia termasuk bebas melakukan apa saja. Seperti menggambar, lebih tepatnya.
Rambutnya hitam pendek nan bergelombang, sedang ia sampirkan ke belakang telinga. Kacamata bulatnya terlihat pas pada proporsi wajahnya. Duduk di bangku paling kiri nomor tiga dari depan, dekat dengan jendela, Gayatri siap menuangkan idenya yang sejak tadi bergumul dalam kepala.
Kira-kira, apa yang harus ia gambar kali ini?
“Perhatian, semuanya! Kemarin, acara ulang tahun sekolah sudah selesai dengan sempurna. Harusnya kan kita belajar seperti biasa, tapi guru-guru ada rapat hari ini.” Suara Rehan, si ketua kelas berhasil membuat seluruh siswa menghentikan kegiatannya sejenak. “Jadi, jam fisika setelah istirahat kedua nanti, Bu Endang cuma kasih kita tugas yang materinya sudah dipelajari minggu lalu. Tugas harus selesai hari ini dan dikumpulkan di meja beliau.”
“Kapan tugasnya dikasih? Kalau mengerjakan sekarang apa enggak bisa?” Salah satu teman Gayatri, bertanya dari pojok kelas.
“Kata Bu Endang, tugasnya dikasih nanti waktu jam fisika. Jadi, mumpung masih ada waktu, mendingan dibuat belajar. Bu Endang melarang kita melihat catatan, soalnya.”
Serius, bukannya mendesah kecewa, hampir semua teman kelas Gayatri malah bersorak senang. Apanya yang menyenangkan dari tugas fisika tanpa melihat catatan? Gayatri menggeleng perlahan, sebenarnya ia juga bisa. Namun, ia mengabaikan suasana kelas yang mendadak hening karena mereka semua belajar dan memilih menyelesaikan sketsanya.
“Aya, enggak belajar?” tanya Rehan. Kebetulan ketua kelasnya itu duduk sebangku dengannya. Cowok yang tidak terlalu tinggi itu langsung mengeluarkan buku paket fisika.
Gayatri menggeleng sambil tersenyum. “Aku mau menyelesaikan ini dulu,” katanya sambil menggoyangkan sketchbook miliknya.
Rehan hanya mengiyakan, lalu sibuk sendiri.
Gayatri memasang penyuara telinga putih yang tampak kontras dengan kulitnya yang berwarna sawo matang. Selama menggambar, Gayatri selalu mendengarkan musik. Ia adalah penyuka musik garis keras. Meskipun genre musik favoritnya bukan rock yang suaranya keras, ia tetap menyukai musik.
Gerakan tangan Gayatri lihai sekali membuat bermacam-macam goresan. Kali ini ia berniat menggambar seorang gadis yang duduk bersandar di tembok dengan ditemani satu buah lilin. Sejalan dengan suara merdu penyanyi dari salah satu siaran radio di Sidoarjo, perlahan gambar itu memiliki makna.
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan,” gumam Gayatri pelan. Ia tidak sadar jika baik Rehan mau pun dua orang temannya yang duduk di depannya kontan menoleh. Mereka sama-sama memberikan ekspresi terkejut.
Meskipun begitu, Gayatri tidak sekali pun merasa terusik.
“Aya, kamu ngomong sama siapa?” Rehan menepuk pelan tangan Gayatri yang sibuk membuat goresan.
Gerakan tangan Gayatri mendadak terhenti. Ia melepas satu penyuara telinga dan merespons panggilan Rehan. “Iya? Kenapa, Rehan? Bu Endang udah kasih tugas?”
“Kamu sehat, kan?”
Ditanya begitu, jelas membuat Gayatri merasa aneh. Ia tidak sakit pun tidak merasa badannya panas. Jadi, mengapa Rehan tiba-tiba bertanya begitu?
“Kelihatannya?” Gayatri bingung.
“Kamu gambar apa?” Rehan malah balik bertanya.
“Iya, kamu gambar apa?” Fia, salah satu siswi terpintar di kelas X IPA 3 juga ikut bertanya dari depan. Tubuhnya diarahkan menghadap Gayatri. Fia termasuk cewek yang suka ingin tahu.
“Gambar—oh!”
Sebentar, Gayatri jadi merasa aneh sendiri. Ia bahkan berkali-kali melihat Rehan, Fia, dan sketchbook miliknya secara bergantian. Tangan kanannya membawa pensil, sketchbook ada di hadapannya, tetapi mengapa masih kosong? Buru-buru Gayatri mengangkat sketchbook miliknya dan melihat ke atas meja. Siapa tahu ia barusan menggambar di atas meja, bukan pada kertas. Kalau benar begitu, tamatlah sudah. Ganti rugi fasilitas SMANA serupa membeli rumah. Prosesnya panjang dan rumit.
“Aku tadi gambar di kertas ini, kok.” Gayatri berusaha meyakinkan Rehan, Fia, dan satu lagi temannya yang tampak tidak peduli.
“Gambar apa? Kamu tadi tidur, kok!” bantah Fia.
“Bercanda, deh!” Gayatri menatap kedua temannya tidak percaya.
“Tanya Rehan kalau enggak percaya. Setelah dia tanya kamu enggak belajar tadi, terus kamu tidur. Sakit, kah?” Fia berdiri, lalu menyentuh dahi Gayatri dengan punggung tangannya. “Enggak panas,” katanya.
“Aku memang enggak sakit,” kata Gayatri lagi. Baru kali ini Gayatri bisa leluasa bicara. Biasanya ia yang merasa malu. Ketika disapa, Gayatri hanya merespons singkat. Pekerjaan kelompok pun yang penting ia sudah berkontribusi, maka semuanya beres. Terus begitu hingga tanpa sadar mereka sudah empat bulan bersekolah di SMANA.
“Oke, oke. Kalau enggak sakit, cuci muka sana!” Rehan beranjak dari duduknya agar Gayatri bisa lewat. “Sebentar lagi jam fisika dimulai.”
Gayatri menggeleng. “Aku baik-baik aja, sungguh. Terima kasih sudah khawatir,” katanya tulus.
Rehan dan Fia pun percaya. Mereka kembali berkutat dengan buku fisika. Sedangkan Gayatri, ia memilih memasang lagi penyuara telinganya dan berniat belajar sambil mendengarkan radio. Meskipun ia masih bingung, ke mana hasil gambarannya padahal jelas-jelas ia tadi menggoreskan pena di atas buku sketsa.
Apa tadi itu mimpi? Batinnya.
Hanya saja, muncul masalah lain. Aplikasi radio di ponsel Gayatri mungkin sedang bermasalah. Berkali-kali ia mengganti saluran radio untuk mencari musik yang mengalun, Gayatri tetap kembali pada keadaan semula. Aplikasinya menjadi seperti semut dengan layar yang mendadak hitam putih. Begitu juga dengan suara di penyuara telinganya, benar-benar tersendat.
“Rehan, kamu tadi enggak mainin ponselku, kan?” tanyanya pada Rehan.
“Enggak, kenapa memangnya?”
Gayatri memilih tidak menjawab. Ia berusaha memperbaiki ponselnya supaya bisa mendengarkan radio lagi. Namun, seberapa keras ia mencoba, suara tersendat itu tetap terdengar.
Seperti seseorang yang berkali-kali membolak-balik halaman buku. Suaranya seperti gesekan antar kertas, seperti orang menyapu, atau bahkan seperti meja yang diseret. Kabel penyuara telinga dicabut lalu dipasang lagi pada ponselnya pun tetap tidak membuahkan hasil. Aneh sekali.
“Baiklah, coba lagi,” gumam Gayatri. Ia abaikan Rehan yang mungkin saja terusik akibat kesibukannya, ia pun mematikan ponsel, kemudian menyalakannya lagi.
Satu menit, dua menit. Akhirnya ponsel menyala. Buru-buru Gayatri membuka aplikasi radio di ponselnya, memasang kabel penyuara telinga, dan mencobanya kembali. Syukurlah, ternyata sudah bisa.
“Eh?” Tunggu, bukan lagu yang terdengar, melainkan sebuah pesan.
Gayatri benar-benar dibuat terkejut dua kali.
Apalagi, ternyata pesan itu juga tersampaikan pada empat remaja yang lain.
***
2 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top