16. Saling Mencari

Gayatri

Padahal sudah dikatakan di awal, jangan sampai terpisah. Jangan pernah pergi sendiri atau tidak akan ada lagi yang tersisa. Harusnya, ketika peringatan itu diucapkan, semuanya mendengar. Ketika diminta terus bersama, jangan ada yang membantah. Apa yang terjadi ketika semua itu dilanggar?

Hilang, tidak ada yang bisa menemukannya.

Gayatri bisa menebak apa yang akan terjadi ketika teriakan Sunni terdengar keras sekali. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Tanpa sadar, langkah kaki semakin cepat, lebar, dan tanpa jeda. Pohon-pohon yang sama sekali berbeda dengan pohon pinus kering pun dengan pohon Ek, dilewatinya begitu saja. Akarnya muncul ke permukaan tanah, batang besar, dan tanpa cabang. Persamaan tumbuhan itu hanya pada daunnya yang selalu gugur meskipun masih muda.

Berusaha melompati akar pohon saja ia gagal. Bagaimana harus membantu?

“Kak, kita harus kembali ke jalan yang tadi.” Gayatri memegang jaket hitam Ares erat sekali. Bagaimana pun, ia tidak ingin ditinggal sendirian.

Saat berlari tadi, Gayatri memilih pergi ke arah belakang pohon Ek. Ia sempat mengira jika dirinya sendirian, tetapi ternyata Ares, Sunni, dan Sea juga bersamanya. Namun, dari berempat, menjadi hanya berdua. Gayatri dan Ares mendadak berpisah dengan Sunni dan Sea. Padahal, mereka menempuh jalan yang sama, tetapi terpisah di persimpangan jalan.

“Kalau kembali, enggak ada jaminan kita enggak ketemu orang-orang itu lagi.” Membiarkan Gayatri mencengkeram jaketnya, Ares enggan untuk berhenti.

“Tapi mungkin aja mereka sudah pergi,” cicit Gayatri.

“Jangan percaya kalau belum mengalaminya langsung, Aya!”

Hanya begitu saja. Obrolan mereka tidak lagi terdengar. Langkah kaki yang menyentuh sampah dedaunan menimbulkan suara gemeresik yang khas. Mereka tetap melewati jalan setapak meskipun tidak tahu jalan itu mengarah ke mana.

Namanya hutan, kanan dan kiri mereka tentu saja hanya ada pepohonan. Pepohonan itu tumbuh rapat, hampir tidak ada celah untuk dilewati. Bagian bawah hingga tengah, tidak ada sesuatu yang spesial. Namun, dari tengah hingga atas terdapat duri yang tumbuh. Meski jarang, tetapi cukup untuk membuat nyali seketika ciut.

Gayatri semakin merapatkan tubuhnya pada Ares. “Bagaimana dengan teman-teman kita lainnya, Kak?”

“Kalau Sunni sedang bersama dengan Sea, mungkin kita bisa bernapas lega. Enggak ada siapa pun di antara kita yang mengenal wilayah Ansoncree sebaik Sea.” Ares masih berjalan. “Kalau Zeera dan Dean, asumsikan saja mereka juga bersama. Ada Zeera, kita bisa bernapas lega sejenak. Seenggaknya, Dean bakalan nurut dan enggak banyak protes.”

Gayatri diam-diam setuju. Masalahnya bukan hanya pada mengapa mereka semua sampai bisa berpisah, melainkan mengapa orang-orang itu mendadak marah?

 Gayatri mendongak. Di atas sana, matahari tidak terlihat. Awan kelabu menutupi sebagian langit Ansoncree. Jika dipikir-pikir lagi, daerah rumah Sea juga selalu tertutup awan kelabu. Memasuki wilayah pohon Ek, langit benar-benar cerah seolah tidak pernah hujan. Namun, kini awan kelabu kembali mendominasi tempat mereka berpijak.

“Sebenarnya, tempat seperti apa Ansoncree ini?”

Padahal, Gayatri berbicara sendiri. Namun, Ares menanggapinya. “Yang pasti, bukan tempat untuk manusia normal.”

“Kak Ares benar. Ternyata tempat seperti ini benar-benar ada, bukan hanya dongeng belaka.”

Setelah mengucapkan itu, Gayatri mendadak berhenti ketika Ares juga menghentikan langkahnya. Ia tidak sempat menyadarinya hingga wajahnya membentur lengan kanan Ares. Gayatri mengaduh, tetapi Ares menghentikannya.

“Pelankan suaramu!” Cowok itu melirik ke kanan dan kiri dengan awas. Suaranya pelan sekaligus sarat akan perintah. “Ada yang datang,” katanya lagi.

Gayatri mendelik tanpa suara. “Orang-orang pribumi?” bisiknya. “Mereka sudah enggak mengejar kita sejak keluar dari lingkungan pohon Ek itu, kan?”

Ares mengangguk. “Mereka mengejar, tapi enggak lama. Begitu lihat kita pergi menjauh, baru mereka berhenti.”

“Apa mereka diperintah untuk menjauhkan kita dari tempat pemujaan?” tebak Gayatri.

“Bisa jadi.” Ares beralih menggenggam tangan Gayatri erat, sedikit menariknya. “Tempat ini enggak aman, Aya. Dalam hitungan ketiga, ayo lari!”

Ares masih menatap waspada. Suasana hutan begitu lengang. Berbanding terbalik dengan gemeresik yang mereka dengar sebelumnya. Dilihat ke segala arah pun, hanya pohon yang mereka temukan. Tidak ada bayangan orang yang tampak seperti dugaan mereka sebelumnya. Jadi, berasal dari mana suara gemeresik itu?

Gayatri mengangguk mantap. Genggaman tangan mereka semakin erat, berusaha memberi kekuatan satu sama lain.

“Sekarang!”

Gayatri dan Ares baru saja hendak lari, tetapi seketika batal karena muncul sosok laki-laki dan perempuan dari arah kiri. Kedua orang itu sedang berlari dengan cepat. Tanpa melihat keadaan, keduanya jatuh menimpa Ares. Mereka mengaduh bersamaan.

Baik Ares maupun Gayatri, mereka sama-sama terkejut saat mendapati dua orang di depan mereka adalah Dean dan Zeera. Mereka pun kompak memanggil nama Dean dan Zeera bersamaan.

“Kalian selamat!” Ares mendesah lega.

“Kukira, aku bakal jatuh ke jurang atau sungai. Untungnya enggak.” Dean buru-buru bangkit dari posisi jatuhnya, begitu juga dengan Zeera.

“Kalian masih dikejar sama orang-orang itu?” tanya Ares.

“Bukan dikejar, tapi ditemukan.” Zeera membersihkan sisa dedaunan di tubuhnya. Ia seketika mendesah lega. “Semula kami sudah enggak dikejar lagi. Orang-orang itu kelihatannya gagal mengejar. Tapi, karena Kak Dean yang egois, orang-orang mendadak kembali menemukan kami dan mengejar kami lagi.”

“Egois apanya?” Dean tampak sewot. “Yang bilang mending pergi sendiri daripada sama orang minim empati, siapa? Yang mau lari balik lagi ke arah pertama kan, kamu sendiri. Kenapa nuduh?”

“Ya, kalau kita enggak balik, kita bakal tersesat, Kak!” elak Zeera, mengabaikan ucapan Dean yang pertama.

“Apa kalian bisa berhenti berdebat?” Ares melihat ke arah Dean dan Zeera. Alis tebalnya berkerut, menandakan bahwa ia benar-benar kesal. Dibilang seperti itu, akhirnya Dean dan Zeera berhenti saling menyalahkan.

“Terlepas dari alasan orang-orang itu mengejar kita dan membuat kita sempat terpisah, harusnya enggak ada perdebatan lagi. Beruntung kalian bertemu kami saat kabur. Kalau ternyata kalian bertemu sesuatu yang lain, bagaimana?”

“Ketemu orang pacaran, maksudnya?” cibir Dean sambil melirik ke arah tangan Gayatri dan Ares yang masih saling menggenggam.

“Ini, maksudmu?” Ares mengangkat tangannya hingga ke depan dada. Otomatis, tangan Gayatri juga ikut terangkat. “Kamu mikir, enggak, sih? Dalam situasi apa kita harus saling melindungi? Di situasi begini, sikap egois benar-benar akan menghancurkanmu sendiri!”

Genggaman tangan dilepas. Tanpa menunggu respons Dean, Ares seketika mengajak Zeera pergi bersamanya. Cowok itu membiarkan Gayatri dan Zeera berjalan di depan, sedangkan Ares mengikuti dari belakang. Mereka bergerak pergi meninggalkan Dean yang mendengkus sambil mengalihkan pandangan. Gayatri juga ikut kesal, sebenarnya. Dean itu maunya apa? Mengapa kakak kelasnya itu selalu saja menyakiti hati orang lain tanpa pikir panjang?

“Maaf,” kata Dean akhirnya.

Hal itu sukses membuat Ares, Zeera, dan Gayatri menghentikan langkah. Ada keheningan di antara mereka. Angin berembus menerbangkan sebagian sisi rambut disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Perlahan, Ares, Gayatri dan Zeera berbalik menghadap Dean yang menunggu respons semua temannya dengan tenang.

Ares menarik napas panjang sejenak. “Ayo, kita cari Sunni sama-sama.”

***

16 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top