15. Terpisah

Dean


Gila!

Hanya satu kata itu yang terpikirkan oleh Dean ketika melihat pemandangan di depannya. Semua temannya sedang pergi melihat patung dewa di belakang pohon Ek, sedangkan ia memilih mencari sesuatu yang berpotensi sebagai pusaka di bagian depan. Siapa tahu, pusaka itu dapat ia temukan.

Hanya, kata aman yang diucapkan Sea sebelumnya, kini tidak berlaku lagi ketika orang-orang pribumi keluar dari rumah panggung di depan Dean. Keluarnya mereka disertai angin yang berembus kencang hingga membuat sampah dedaunan ikut beterbangan. Refleks, Dean memejamkan matanya.

Bukan hanya itu saja, ia mendadak mendengar gemeresik di kanan dan kirinya. Suara dedaunan atau ranting pohon yang saling bergesekan itu terdengar semakin keras seiring langkah kaki yang mulai mendekat dari segala penjuru. Pandangan awas seketika ditunjukkannya. Ia melihat ke segala arah. Bukan hewan liar yang semula ia duga, melainkan para penduduk pribumi berbondong-bondong datang dengan tingkah laku aneh. Mereka serupa monster yang berada dalam kendali seseorang. Iris mata mereka pun tidak lagi berselaput putih, tetapi merah sepenuhnya.

Langkah kaki mereka terseok-seok, seperti hendak jatuh. Tanpa alas kaki, tanpa syal yang menutupi bagian kepala, mereka tidak ubahnya para pemangsa yang sedang haus darah.

“Teman-teman!” teriak Dean dengan susah payah. Ketika melihat para penduduk itu berjalan mendekat, Dean seolah kehilangan suaranya. Ia bukan cowok penakut, sebenarnya. Menerobos gerbang SMANA saja sudah pernah ia lakukan, sampai-sampai mendapat hukuman dari Bu Indah. Namun, kejadian kali ini dan kejadian di sekolah jelas berbeda.

Adakah apa atau siapa pun yang bisa menjelaskan mengapa para penduduk pribumi itu seolah murka kepada Dean dan semua temannya?

“Tolong bilang kalau itu cuma ilusi!”

Semua temannya menghampiri Dean sambil berlari. Ketika sampai di samping Dean, tidak ada satu pun dari mereka yang bisa bernapas lega. Semuanya kontan tercekat. Oksigen seketika terserap habis oleh pemandangan di depan mereka. Ingin menghindar pun percuma, mereka telah dikepung.

Hendak melawan pun percuma. Mereka hanya anak SMA yang tidak pernah bertarung pun tidak pernah berada dalam situasi seperti ini.

“Sea, kamu enggak bilang kalau kita bakal ketemu sama zombi!” Dean semakin mendekatkan diri kepada semua temannya. Mereka membentuk suatu formasi dengan saling membelakangi. Punggung mereka menempel, seolah memberi kepercayaan antara satu dengan yang lainnya.

“Percaya, deh, Kak. Yang kayak gini baru aja terjadi.” Sepengetahuan Dean, Sea pun sama terkejutnya.

Makhluk-makhluk yang tidak lagi dapat disebut manusia itu, semakin mendekat sambil mengeluarkan suara seram. Ekspresi mereka sama. Semacam ekspresi kelaparan yang siap menerkam mangsa.

“Kita harus apa?” Sunni susah payah menelan salivanya.

“Kita enggak bisa melawan mereka,” celetuk Zeera.

“Apa bisa dengan Onyx?” Gayatri juga tidak mau kalah.

Ya, Onyx!

Dean mengarahkan pandangannya kepada Sea. “Katamu, Onyx bisa dijadikan penangkal. Apa Onyx juga bisa mengeluarkan semburan api atau semacamnya?”

“Dean!”

Bentakan Ares barusan jelas tidak membuat Dean berhenti. Maksudnya, keadaan genting sedang menimpa mereka dan apakah mereka harus diam saja sambil menunggu giliran untuk hilang atau bahkan, mati?

Demi apa pun, Dean jelas tidak mau.

“Aku enggak bercanda, ya!” sembur Dean ketus. “Siapa tahu ada kemampuan semacam itu dari Onyx, selain penangkal efek samping. Kamu memangnya mau, kita cuma diam saja di sini sampai mereka semua menangkap kita dan menjadikan kita tawanan? Oh, iya! Mereka, kan, enggak bisa disentuh!”

Dean menggeleng cepat. “Aku enggak mau! Aku masih sayang nyawa. Aku—”

“Teman-teman!” Suara Gayatri tidak terdengar rupanya. Dean dan Ares sedang sibuk berdebat, sementara para penduduk pribumi itu semakin mendekat. Bahkan ada yang benar-benar sampai di samping Sunni hingga membuat Sunni refleks berteriak.

“Teman-teman, lari!”

Bersamaan dengan teriakan Sunni, Ares memberi komando. Semuanya serta-merta berlari ke segala arah. Bukannya bersamaan, apalagi bergerombol, mereka justru terpisah.

Ya, benar!

Tanpa sempat protes, tangan Dean ditarik oleh Zeera. Mereka berdua berlari ke arah rumah Sea, sedangkan yang lainnya pergi ke arah sebaliknya. Mereka semakin jauh masuk hutan dan sesekali melihat ke belakang. Masih ada yang mengejar, rupanya. Meskipun hanya satu atau dua orang, tetapi sama saja.

“Kak, kenapa mereka malah mengikuti kita?” Napas Zeera benar-benar tidak beraturan lagi. Kakinya tersandung akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah. Beruntung, Dean menangkap Zeera hingga cewek itu tidak terjatuh.

“Kalau kamu tanya aku, aku tanya siapa?” jawab Dean dengan pertanyaan juga. Ia dan Zeera kembali berlari setelah Zeera berhasil menetralkan deru napasnya.

Dean sebenarnya kesal sekali. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Orang-orang itu mendadak mengejar mereka. Larinya juga sama cepatnya. Semula, Dean kira jika orang-orang itu mendekati mereka untuk meminta pertolongan, tetapi malah sebaliknya. Dikejar tanpa tahu apa masalahnya, diteror dengan ekspresi seram, hingga mereka terpaksa berpencar.

“Apa yang lain baik-baik saja?”

Dean mendengkus saat mendengar Zeera berbicara. Harusnya cewek itu tidak mengkhawatirkan orang lain. Toh, keadaannya sendiri juga tidak benar-benar baik. Rambut cewek itu semula rapi, tetapi kini mendadak kusut dan berantakan, sama seperti dirinya.

Cukup lama mereka berlari, hingga satu atau dua orang di belakang mereka benar-benar tidak terlihat lagi.

“Ayo, kita berhenti, Kak.” Zeera menarik jaket kulit Dean. Perlahan-lahan ia memelankan langkah kakinya hingga benar-benar berhenti. Hanya tersisa napas putus-putus dan dada yang naik turun dengan cepat. Setelahnya, mereka jatuh terduduk. Zeera bertumpu pada tanah yang tertutup sampah dedaunan, sedangkan Dean langsung bersandar pada pohon.

“Ini di mana?” Zeera mengedarkan pandangan.

Mereka sepertinya berada jauh masuk ke hutan. Sekeliling mereka hanya ada pohon yang tumbuh rapat. Berbeda dengan hutan di dekat rumah Sea, hutan yang mereka datangi ini terasa lembap dengan udara dingin disertai bau tanah basah. Hanya, langitnya saja yang sangat amat cerah seperti tidak pernah mendung sebelumnya.

Dean mengernyit heran. Jika daerah rumah Sea serupa padang pasir, tetapi mendung. Sementara di tempat mereka berpijak justru lembap tanpa tanda-tanda akan hujan.

“Di sini, kan, tempat aneh. Enggak heran kalau cuacanya juga aneh,” gumam Dean.

Melihatnya, Zeera tampak geram. “Kak, kok malah mikirin cuaca, sih?”

Dean meliriknya sekilas. “Yang tadi main tarik tanganku, siapa?”

“Panik, Kak!”

“Alasan!” cibir Dean. “Lihat, kan, karena ulahmu, kita jadi tersesat. Kalau begini, bagaimana caranya kembali? Mikir cara pulang ke bumi aja enggak bisa, ini sekarang malah mikir caranya ketemu lagi sama teman-teman!”

“Kak Dean dari awal sewot terus. Harusnya, kan—”

“Harusnya apa?” sela Dean. “Semua cewek sama aja, ternyata. Sok paling benar!”

Dean bisa melihat wajah Zeera memerah karena marah. Ia tidak peduli. Ucapannya sama sekali tidak salah. Siapa juga yang menyuruhnya bertindak seperti itu? Alhasil, mereka malah berada di tempat yang jauh dari lokasi sebelumnya.

Dean juga ikut mengedarkan pandangan. Ucapannya barusan pun tidak digubris oleh Zeera. Kentara sekali cewek itu marah padanya.

Sekali lagi, Dean benar-benar tidak peduli. Namun, ketika Zeera hendak pergi meninggalkannya, buru-buru Dean memegang bahu cewek itu.

“Mau ke mana?” tanya Dean.

“Aku rasa lebih baik cari jalan pulang sendiri daripada bersama orang yang minim empati!”

***

15 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros- 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top