14. Pohon Ek

Ares

Suasana mulai terang ketika Ares dan semua temannya selesai berdiskusi. Kali ini mereka harus bertindak dengan kepala dingin. Jangan seperti sebelumnya yang terlalu buru-buru dan tidak berpikir panjang hingga mengakibatkan terjadinya hal tidak terduga. Variabel lainnya yang muncul selain pusaka leluhur Ansoncree yang menyerap nyawa setiap penduduk adalah fakta bahwa pusaka itu bisa bergerak. Bukannya mendekati Ares dan semuanya temannya saat itu, pusakanya malah menjauh seperti dikendalikan.

Ares berusaha tidak terlalu memikirkannya, tidak pula ia berniat menyalahkan Gayatri atau menghakimi cewek itu. Bukankah dalam setiap kejadian, selalu ada hikmah yang dapat diambil?

Lebih berhati-hati, contohnya.

“Ke arah mana kita harus pergi?”

Di depan pintu rumah, Ares bertanya pada Sea sambil memastikan bahwa semua temannya lengkap tidak tertinggal satu pun. Bukan apa-apa, Ares hanya tidak ingin kesulitan untuk kedua kalinya.

“Ke barat, Kak. Berlawanan arah dari sini. Pohon Ek sebagai tempat pemujaan itu ada tepat di tengah-tengah Ansoncree.” Sea menjawab pertanyaan Ares sambil menutup pintu. Sedikit terlihat kesulitan karena kayunya bersentuhan dengan lantai. Ares segera membantunya dengan cara mengangkat sedikit pintu itu agar mudah bergerak.

“Terima kasih, Kak,” kata Sea lagi.

Ares hanya mengangguk. “Butuh berapa lama untuk sampai sana?”

Sea tampak berpikir. “Sekitar dua puluh menit dengan jalan kaki.”

“Memangnya di sini ada kendaraan lain?” celetuk Dean. “Omonganmu seperti banyak alternatif lain selain jalan kaki.”

Sea hanya menunjukkan deretan giginya lucu. Kalau begitu, Sea benar-benar terlihat seperti anak kecil. Sikapnya di awal sama sekali tidak cocok dengan usianya. Padahal, Sea masih lima belas tahun. Namun, cewek itu seperti dipaksa dewasa oleh keadaan yang menimpanya sehingga terkadang lupa bagaimana caranya bersikap seperti anak kecil pada umumnya.

“Kita pergi sekarang?” Bukan Ares, melainkan Zeera yang bertanya.

Semua pasang mata mengangguk mantap. Perjalanan kali ini tidak boleh gagal lagi. Rencana sudah dibuat. Lokasi sudah ditentukan. Hanya tersisa kesanggupan dan kerelaan dari hati masing-masing untuk mengerahkan tenaga lebih banyak.

Setidaknya, agar mereka bisa pulang.

Ares bahkan terus bertanya-tanya, apa yang terjadi kepada keluarganya di bumi saat Ares tidak pulang beberapa hari? Apa yang kedua orang tuanya lakukan untuk mencari dirinya? Bagaimana dengan SMANA dan seluruh anggota OSIS ketika mengetahui fakta bahwa pemimpinnya tidak ada di sana?

Hanya, seberapa keras Ares menemukan jawabannya, ia tidak akan pernah berhasil. Tidak ada penjelasan logis untuk itu.

“Meskipun resonansi di bumi menjadi goyah saat jatuhnya asteroid, waktu antara di Ansoncree dan tempat tinggal kalian tetap berjalan seperti biasanya.” Begitu kata Sea saat mereka baru seperempat perjalanan. Cewek itu seperti mengetahui apa yang sedang Ares pikirkan.

“Jadi, keluarga kita pasti akan sangat khawatir.” Zeera yang semula terlihat kuat, menjadi sedikit lesu. Gayatri juga menunjukkan ekspresi yang sama. Kentara sekali bahwa kedua cewek itu benar-benar menjadi kesayangan orang tua.

“Kalau aku, memang enggak pernah ada yang mencariku sejak bayi.” Sunni juga tidak mau kalah. “Ah, tapi mungkin mamaku—ibu panti asuhan tempatku tinggal juga khawatir. Bagaimana rasanya dicari keberadaannya oleh orang terdekat?”

Bukan kepada Zeera atau Gayatri, Sunni malah melihat ke arah Dean. Ditatap secara langsung seperti itu, membuat Dean sedikit tersentak. Buru-buru cowok itu menekan telunjuknya ke dahi Sunni dan mendorongnya cepat. Sunni hanya memberengut, sedangkan Dean mendengkus kesal.

“Jangan tanya aku! Enggak bakal ketemu jawabannya.” Dean mengalihkan pandangan ke sembarang tempat, yang penting bukan ke arah keempat cewek itu atau bahkan ke arah Ares.

Sejak insiden keluarnya Onyx dari tubuh Gayatri, cowok pembuat onar itu mendadak tenang dan lebih menjaga ucapannya. Dean tidak lagi berkomentar dengan kasar atau menghina siapa saja yang ditemuinya, dan tidak lagi marah-marah.

Kemajuan yang bagus, sepertinya.

Tanpa sadar, Ares menepuk bahu Dean sekali, menyalurkan rasa bangga. Namun, cowok itu malah menatapnya nyalang dengan raut tidak suka. Ares hanya tersenyum miring.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Separuh jalan telah terlewati. Pemandangan yang mereka temui pun tetap sama, yaitu pohon pinus kering tanpa daun yang tumbuh. Seperti kata Sea sebelumnya, hewan-hewan di Ansoncree telah pergi lebih dulu. Yang tersisa hanya embusan dingin dari angin yang menusuk tulang. Percuma saja jika mereka merapatkan jaket karena hal itu sama sekali tidak mempan.

Alhasil, Ares dan semua temannya memilih berjalan ke barat sambil memeluk tubuh, menggosokkan kedua telapak tangan untuk ditempelkan ke pipi, atau berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Apa pun mereka lakukan, yang penting bisa menghalau dingin.

“Apa masih jauh?” tanya Gayatri.

Sea yang memimpin jalan pun menoleh tanpa berniat berhenti. “Sebentar lagi, Kak. Pohonnya ada di depan. Tuh, kelihatan dari sini.”

Benar kata Sea. Mereka semakin dekat dengan tempat pertama yang diperkirakan menjadi lokasi terkuburnya pusaka leluhur Ansoncree. Hanya tersisa beberapa langkah lagi, mereka benar-benar akan sampai. Pohon Ek itu rupanya besar juga. Bahkan lebih terlihat sehat daripada pohon pinus di dalam hutan.

Semakin mendekati pohon Ek, mereka akhirnya keluar dari hutan. Di depan mereka kini tampak satu-satunya pohon yang tumbuh subur dengan batang besar, cabang ranting yang jumlahnya puluhan, hingga dedaunan hijau yang masih menempel pada ranting. Suasana serupa padang pasir seketika berubah. Teduh dan menenangkan.

“Kalau sedang dimarahi ibu, aku selalu kemari.” Sea berjalan mendekati pohon Ek lebih dulu. Di sekitar pohon Ek itu, tampak rumah panggung yang terbuat dari kayu seperti rumah Sea.

“Enggak heran kamu begitu, tempat ini tenang banget,” komentar Sunni. “Aku juga betah berlama-lama di sini.”

“Jangan ngawur!” sela Dean cepat.

“Kita jangan sampai terlena, ya! Aku enggak mau di sini lama-lama.”

Mendengar penuturan Zeera barusan, Sunni kembali memberengut. Namun, tidak ada lagi interaksi yang terjadi di antara mereka. Semuanya fokus pada tujuan yang sama, yaitu mencari pusaka.

Ares melihatnya cukup heran. Rumah Sea terletak cukup jauh dari gapura, tanpa adanya tetangga. Ternyata, rumah penduduk lainnya ada di dekat pohon Ek. Bahkan bukan hanya satu atau dua saja, melainkan lebih dari itu. Persis seperti sebuah desa berskala kecil. Namun, tetap saja rumah-rumah itu tidak berpenghuni.

“Ayo, Kak. Tempat ini aman,” ajak Sea. Mau tidak mau, Ares dan keempat temannya mengikuti. Meskipun sepi, tetapi pohon Ek itu sama sekali tidak menyeramkan.

“Bagaimana caranya kita bisa tahu kalau ada pusaka yang terkubur di sini?” Gayatri mengedarkan pandangannya, begitu juga Ares. Siapa tahu, ada cahaya yang muncul dari dalam tanah seperti sebelumnya. Namun, dicari bagaimana pun, tetap tidak ketemu.

Mereka hanya melihat sebuah pohon besar dengan berbagai macam kendi di sekelilingnya. Kendi itu sama sekali tidak kosong. Ada sekitar lima sampai sepuluh dupa yang tertancap di sana. Jika begitu, pohon Ek benar-benar menjadi tempat pemujaan.

“Tepat di belakang pohon Ek ini, dibangun patung dewa. Mungkin saja pusakanya terkubur di sana,” kata Sea.

Tidak membutuhkan waktu lama, mereka mengikuti langkah Sea. Benar saja, patung seukuran manusia dewasa berdiri kokoh di sana. Patung itu berwarna kuning karena terbuat dari logam. Bentuknya seperti manusia laki-laki dengan pandangan mengarah ke pohon Ek.

“Ayo kita gali,” ajak Sunni.

Hanya, belum terlaksana niat mereka, terdengar teriakan Dean dari balik pohon. Buru-buru Ares dan keempat cewek itu menghampiri Dean. Semuanya mendadak terkejut atas apa yang mereka saksikan.

Rasa panik tidak lagi dapat dihindari.

***

14 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top