13. Kisah Tentang Sunni

Sunni

Sunni mengobati tangan Gayatri dengan peralatan seadanya. Mereka kini telah kembali ke rumah Sea setelah insiden dengan pusaka yang mendadak bisa bergerak itu. Sambil duduk di undakan dekat pintu masuk, Sunni dengan telaten membersihkan luka Gayatri dengan kain basah.

“Aku bisa sendiri, Sunni.”

Sunni hanya melirik Gayatri sekilas. “Kamu itu enggak pernah menerima bantuan, ya? Udah tahu kalau itu bukan salahmu, kenapa malah nekat?”

Luka gores di tangan Gayatri memang tidak parah, tetapi Sunni tetap tidak peduli. Sejak awal, ia yang menawarkan diri untuk membantu Gayatri saat cewek berkacamata bulat itu duduk sendirian di depan rumah Sea sambil menahan perih. Ia mengambil alih kain basah di tangan Gayatri dan membersihkan bekas tanah di sana secara perlahan.

“Kata mamaku—ibu panti di tempatku tinggal pernah bilang kalau orang yang terlihat bisa melakukan semuanya sendiri adalah orang yang paling membutuhkan bantuan.” Setelah selesai membersihkan bekas tanah di tangan Gayatri, Sunni berniat menempelkan plester di luka yang paling panjang. Namun, secepat kilat Gayatri menarik tangannya.

“Enggak usah pakai itu,” kata Gayatri. “Cuma luka kecil, kok.”

Sunni menghela napas pasrah.

“Aku enggak tahu kenapa kamu seperti begitu terpukul tadi. Apa karena kita gagal?” Sunni melihat Gayatri tepat di mata. Ia mampu merasakan kesedihan dan rasa putus asa yang sama dengan Gayatri. Jalan terbuka lebar di depan mereka, hanya tinggal sedikit lagi, tetapi malah gagal. Siapa yang tidak akan sedih?

“Aku yang membawa kalian ke sana. Aku juga yang bilang kalau kita punya harapan, tapi ternyata enggak.”

Sunni mengelus-elus bahu Gayatri, menenangkannya. “Bukannya Kak Ares sudah bilang kalau itu bukan salahmu? Bukan kuasa kita juga kalau ternyata ada kendala lain, kan? Kalau gagal, ya, ayo coba lagi.”

“Ngomong-ngomong, kamu tinggal di panti asuhan?” Mengabaikan ucapan Sunni, Gayatri memilih menanyakan hal paling sensitif bagi Sunni. Namun, itu bukan masalah besar. Banyak yang menanyakan hal yang sama. Jawabannya pun akan tetap sama.

Sunni mengangguk. “Aku sudah tinggal di panti asuhan sejak bayi. Kata ibu panti, beliau menemukanku di depan gerbang panti asuhan dengan tali pusar yang masih menempel. Saat itu hujan deras pula. Jadi, ya, sampai sekarang aku tinggal di sana. Aku belum cukup umur untuk tinggal sendiri, kan?”

Sunni menunjukkan deretan giginya lucu. Kisah itu tidak lagi menjadi kisah sedih yang membuatnya terpuruk lebih lama. Ada orang-orang yang berdiri di belakangnya untuk mendukung dirinya, mengapa harus sedih berlarut-larut? Toh, hingga usianya yang menginjak enam belas tahun, tidak ada satu pun orang atau pasangan suami istri yang pergi mencarinya.

“Kamu tahu nama lengkapku, kan?”

Gayatri mengangguk sebagai respons dari pertanyaan Sunni.

“Sandy Taenia itu artinya pelindung. Ibu panti sendiri yang memberi nama itu untukku. Rasanya aneh, kan?” Sunni tertawa kecil. “Aku aja sering tidur di kelas kalau pelajaran bikin bosan dan saat jamkos.”

“Enggak, kok,” komentar Gayatri. “Nama itu doa yang diberikan untuk kita. Siapa tahu ibu pantimu memang berharap kamu bisa melindungi sesuatu suatu hari nanti?”

Obrolan mereka tampaknya menjadi lebih jauh daripada yang diduga. Semula hanya tentang saling membantu membersihkan bekas tanah dan darah yang mengering di luka gores, lalu tentang nama dan artinya, hingga kisah yang tidak semua orang tahu.

Sunni tidak menyesal telah menceritakan kisahnya pada Gayatri. Seorang teman yang baru ditemuinya beberapa hari lalu. Beruntungnya, Gayatri bukan seperti teman-teman satu kelasnya yang suka mencibir dan menghujatnya karena tidak punya orang tua. Padahal, Sunni sempat merasa takut sebelum berbicara tadi, tetapi dugaannya salah. Ia jadi merasa lebih lega.

“Ayo kita masuk.” Sunni berdiri lebih dulu. “Percobaan selanjutnya enggak boleh gagal lagi, benar?”

“Kamu benar. Terima kasih sudah membantu dan menceritakan kisahmu, ya,” kata Gayatri sambil tersenyum. Cewek itu juga ikut berdiri dan bersama-sama dengan Sunni masuk ke rumah Sea.

Di dalam, ternyata ketiga teman mereka sedang duduk melingkar. Ares dibantu oleh Zeera tengah membuat peta Ansoncree. Meskipun sederhana, peta itu ternyata sudah diberi tanda silang di beberapa tempat. Sunni bisa menebaknya jika tanda itu adalah tempat yang mungkin menjadi lokasi terkuburnya pusaka leluhur Ansoncree.

“Kalian dari mana?” Zeera yang bertanya lebih dulu.

“Di depan, ngobrol dikit,” jawab Sunni.

Sunni dan Gayatri akhirnya ikut bergabung dengan Ares, Zeera, Dean, serta Sea. Mereka lalu berdiskusi menentukan langkah selanjutnya. Jangan sampai terlalu terburu-buru bertindak tanpa berpikir hingga mengakibatkan kegagalan tidak terduga.

“Ada dua tempat yang mungkin menjadi lokasi terkuburnya pusaka leluhur Ansoncree. Tempat itu adalah kastel pemimpin tertinggi di sini dan pohon Ek yang sudah hidup ratusan tahun, benar?” Pertanyaan Ares barusan ditujukan untuk Sea, rupanya. Ketua OSIS itu berbicara sambil sibuk memberi tanda silang di bagian utara dan di tengah-tengah Ansoncree.

“Kenapa dua tempat itu yang dipilih?” Dean tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Kata ayah, kastel pemimpin di Ansoncree adalah satu-satunya tempat sakral yang tidak boleh sembarangan didatangi. Tempat itu adalah tempat pertama kali dewa pemilik Ansoncree turun. Aku rasa alasan itu cukup masuk akal karena siapa pun yang mendekati pusaka, pasti akan terkena efeknya.” Semua orang melihat ke arah Sea, mendengarkan penuturan cewek itu.

Ares manggut-manggut. “Kalau pohon Ek?”

“Bagi masyarakat Ansoncree, tidak ada tempat lain yang cocok untuk pemujaan pada dewa selain di tempat itu. Maksudnya, satu-satunya pohon Ek yang hidup di Ansoncree itu sama sakralnya dengan kastel. Bedanya, kastel ada di bagian paling utara, sedangkan pohon Ek ada di tengah-tengah Ansoncree.”

“Kamu bilang kalau Pak Fero mungkin menguburnya di kastel, benar?”

Sea mengangguk.

“Kalau begitu, apa pemimpin Ansoncree sekarang juga terkena efek samping pusaka?”

“Justru pemimpin Ansoncree yang lebih dulu terdampak, Kak Ares.”

Baiklah, semuanya kini kompak menahan napas. Sunni malah melihat Sea dengan tatapan kaget yang tidak bisa disembunyikan.

Pak Fero, seberapa besar kesalahan Bapak sampai pemimpin Ansoncree terdampak lebih dulu?

“Aku tahu maksud tatapan kalian.” Sea menunduk. “Kesalahan ayahku memang sangat fatal hingga menyebabkan kerugian yang besar. Bukan hanya bagi Ansoncree yang tidak terlalu luas ini, tetapi bagi kalian berlima. Karena itu kalian ada di sini.”

“Kami enggak akan mempermasalahkan itu lagi, Sea.” Ares kembali pada sosoknya yang tegas. “Aku memang enggak tahu bagaimana caranya pecahan Onyx ada pada kami berlima, sehingga kamilah yang terpanggil. Tapi, fokus utama kita bukan pada kenapa kami yang dipilih, melainkan bagaimana caranya menemukan pusaka itu dan mencegah kemungkinan terburuk.”

“Kak Ares benar,” celetuk Zeera. “Sudah cukup saling menyalahkan di awal aja. Kami memang masih kesal karena disangkutpautkan dan harus membereskan kesalahan orang lain, tapi kami juga ingin pulang.”

“Baiklah, Kak.” Sea mengangkat kepalanya lagi. Sorot matanya kini lebih yakin daripada sebelumnya. “Kalau begitu, kita enggak boleh membuang-buang waktu lebih banyak. Tempat mana dulu yang mau kita datangi?”

“Pohon Ek.”

***

13 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top