12. Benar-benar Seperti Jarum dalam Tumpukan Jerami
Zeera
Bagi Zeera, Gayatri termasuk cewek pendiam yang sedikit impulsif. Bukannya menjelaskan apa yang harus mereka usahakan, cewek berkulit sawo matang itu malah lari-larian hanya untuk mengambil senter dan membuat semua orang ikut panik.
“Kamu tadi bilang kalau kita harus melakukannya bersama. Kenapa sekarang malah mau usaha sendirian?” Jujur, Zeera paling tidak suka jika ada temannya yang bertindak tanpa berpikir. Maksudnya, masih ada cukup waktu hingga pusaka leluhur Ansoncree benar-benar melakukan hal paling buruk yang mereka duga.
“Tolong ikut aku aja, Zeera. Kemarin aku melihat sesuatu di dekat gapura. Mumpung masih agak gelap, kita bisa memastikannya secara langsung. Aku harap kalau aku tidak salah melihat.”
Tanpa menunggu respons semua temannya, Gayatri pergi begitu saja. Zeera menggeleng pasrah, tetapi tetap mengikuti ke mana langkah Gayatri pergi. Bahkan bukan hanya Zeera saja, melainkan Ares, Sunni, Sea, dan Dean pun ikut.
“Sea, tolong pimpin jalannya,” kata Gayatri pada Sea.
Sea mengangguk patuh. Mereka lari-larian menerobos pepohonan yang tumbuh rapat. Berbekal senter di tangan Gayatri, mereka beruntung dapat melihat cukup jelas jalan setapak yang tertutup dedaunan, berlari membentuk barisan, dan tidak ada yang terantuk batu atau tersandung kaki sendiri.
Jalan menuju gapura berlumut bertuliskan Ansoncree cukup jauh dari rumah Gayatri. Zeera berpikir jika mereka harus buru-buru karena melihat Gayatri yang enggan berbalik atau mengeluh lelah. Cewek itu terus bergerak. Mau tidak mau, Zeera dan semua temannya pun harus melakukan hal yang sama.
“Apa masih jauh?” Ares bertanya dari posisi paling belakang. Di depannya ada Dean, Sunni, Zeera, dan Gayatri. Sea ada di barisan paling depan sambil memegang senter dan mengarahkan jalannya.
“Sebentar lagi sampai, Kak.” Sea menjawab pertanyaan Ares sedikit berteriak. Bagaimana pun, jarak antara keduanya tidak bisa dibilang cukup jika berbicara dengan suara pelan.
“Aya, kamu yakin kalau apa yang kamu lihat kemarin masih ada di sana?” tanya Zeera. Ucapannya tampak ragu. Namun, ia tidak boleh menunjukkannya lebih jelas atau temannya itu ada akan kecewa.
Dari balik punggungnya, Zeera bisa melihat jika Gayatri mengangguk pasti. “Aku hanya berharap kalau aku enggak salah lihat.”
Hanya begitu saja jawaban Gayatri. Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara lagi. Meskipun kaki-kaki mereka mulai lelah, meskipun udara dingin pagi hari menusuk sampai tulang, mereka tetap bergerak. Akhirnya mereka sampai di gapura berlumut itu.
Orang-orang pribumi masih berlalu-lalang. Mereka tidak ubahnya robot yang dikendalikan oleh sesuatu. Bedanya, orang-orang ini tidak memiliki baterai ataupun daya listrik supaya bisa bergerak.
Sea berhenti sejenak karena salah satu orang pribumi berjalan di depannya. “Tolong jangan sampai menyentuh mereka!” Ia memperingatkan.
Zeera lantas melihat ke arah Sunni. Cewek itu sedikit lesu karena kejadian kemarin yang membuatnya melihat langsung hilangnya seorang pribumi karena disentuh. Zeera merangkul Sunni untuk menenangkannya. “Tidak apa-apa, Sunni,” katanya.
“Aya, apa yang kamu lihat?” Ares berjalan mendekati Gayatri.
“Cahaya, kan?” tebak Dean. Semua mata melihatnya. Sorot mata Dean begitu yakin. “Dari dalam tanah, lebih tepatnya.”
Gayatri mengangguk. “Kak Dean benar. Waktu kita pertama kali berdiri di bawah gapura ini, aku sempat melihat cahaya dari dalam tanah. Semula aku enggak yakin apa itu, tapi waktu mendengar cerita Sea, aku jadi teringat. Apalagi, Kak Dean menyinggungnya tadi. Aku jadi tambah yakin.”
“Ada di mana cahaya itu?” Sunni dan Ares kompak bertanya.
Zeera melihat Gayatri mengedarkan pandangannya. Hal itu otomatis membuat yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka abaikan orang-orang pribumi berlalu-lalang di sekitar sana. Fokus mereka hanya satu. Mungkin saja cahaya itu adalah pusaka leluhur Ansoncree.
“Di sana!” Gayatri menunjuk tepat pada sudut gapura sebelah kiri. Di sana, tampak cahaya putih yang muncul dari dalam tanah. Mereka seketika mendekat. Namun, seperti ucapan Sea sebelumnya, semakin cahaya itu didekati, semakin kuat energi yang terasa.
Kaki-kaki mereka bahkan tidak mampu bergerak lebih jauh, seperti ada tembok tidak kasat mata yang menahan mereka.
“Kakak-kakak, tolong saling berpegangan tanganlah kalian. Onyx dalam diri kalian mungkin saja bisa membantu!” teriak Sea. Meskipun suaranya kalah oleh lonjakan energi yang terasa, cewek itu tetap berusaha memberi bantuan.
Kelima remaja itu kompak menuruti ucapan Sea. Mereka berpegangan tangan, seolah saling menyalurkan kekuatan. Tanpa diduga, ucapan Sea ada benarnya. Perlahan tetapi pasti, mereka bisa bergerak lebih leluasa. Lonjakan energi hanya serupa angin yang berusaha menembus penghalang yang mereka ciptakan.
Pegangan tangan semakin erat, langkah kaki perlahan mendekat. Cahaya terang dari dalam tanah semakin jelas terpancar.
Sedikit lagi.
Hanya, ada yang aneh di sini. Semakin mereka mendekat, cahaya itu seolah bergerak dan berpindah tempat. Orang-orang pribumi yang berlalu-lalang pun mengikuti ke mana perginya cahaya itu. Begitu terus hingga mereka mulai benar-benar lelah.
“Apa yang terjadi?” Ares tampak tidak habis pikir. “Sea, apa yang terjadi?” Cowok itu mengalihkan pandangannya pada Sea tepat saat cahaya dari dalam tanah itu semakin jauh.
Sea hanya mematung melihatnya. Lonjakan energi perlahan menghilang hingga tidak lagi tersisa. Pegangan tangan pun dilepas. Mereka akhirnya terduduk di atas tanah yang dingin.
“Kenapa begini?” gumam Sea. Air matanya perlahan luruh. “Kata ibu enggak begini. Enggak ada yang—”
“Sea!” Ares memegang bahu Sea erat. “Kamu bisa dengar aku?”
Seperti tersadar akan sesuatu, Sea mengerjap berkali-kali. Begitu melihat Ares, cewek itu lantas menangis sejadinya. Suasana hutan yang semula lengang, menjadi mencekam karena suara tangisan Sea terdengar menggema. Semua pasang mata yang melihatnya pun hanya bisa pasrah. Mereka sama-sama tidak mengerti apa yang terjadi.
Semula cahaya itu muncul, tetapi saat didekati justru pergi menjauh. Didekati lagi, menjauh lagi. Begitu seterusnya hingga mereka gagal.
Usaha mereka seakan sia-sia. Sea saja masih menangis keras dan Ares memeluknya. Mungkin berharap bahwa cewek berusia lima belas tahun itu bisa tenang meskipun hanya sedikit.
Zeera melihat ke arah Sunni. Cewek itu bertumpu pada tanah yang dingin sambil bergumam pelan. Entah apa yang cewek itu gumamkan. Kemudian Zeera beralih pada Gayatri dan Dean. Mereka tampak begitu terpukul saat mengetahui bahwa apa yang dilihat oleh mereka ternyata tidak sesuai harapan.
“Kita belum mendekatinya, kan?” Gayatri berbicara dengan cepat. “Tapi kenapa cahaya itu kabur? Itu pusakanya, kan?”
Cewek itu seperti berbicara sendiri.
Baiklah, bukan hanya Gayatri yang terkejut.
“Pusakanya pasti dikendalikan!” Dean akhirnya menemukan suaranya. “Sea, bisa kamu jelaskan apa yang barusan terjadi?”
Sea sepertinya mulai tenang. Ia menghapus air matanya kasar. “Aku enggak tahu, Kak. Waktu ayahku memegang atau mendekati pusakanya, benda itu enggak bisa pergi sendiri.”
“Jadi, benar itu pusakanya?” Zeera berusaha tenang. Di antara semua temannya yang masih terkejut, harus ada salah satu dari mereka yang bisa berpikir jernih.
“Dari lonjakan energinya, benar itu pusaka leluhur Ansoncree.” Sea berkata mantap. Air matanya sudah benar-benar hilang meski cewek itu masih sedikit sesenggukan. “Tapi, waktu ayah masih sadar, lonjakan energinya enggak sekuat itu. Dan pusakanya benar-benar enggak bisa pergi sendiri. Kita harus mengejarnya, Kak. Sebelum pusakanya semakin jauh. Sebelum orang-orang di sini benar-benar hilang. Aku—”
“Sea!” Ares kembali memegang kedua bahu Sea erat. Cewek itu seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. “Tolong tenang dulu! Kita bisa cari solusinya bersama. Dan kamu, Aya!”
Semua pasang mata melihat ke arah Gayatri yang bertingkah aneh karena berusaha menggali tanah di depannya. Dibentak seperti itu, Gayatri seketika berhenti. Kedua tangannya benar-benar kotor dan tergores seperti milik Ares.
“Tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri!”
***
12 Oktober 2024
Terimakasih
-Ros-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top