11. Memulai Pencarian

Gayatri


Sejak kemunculan pecahan Onyx dari tubuh Gayatri, ia seketika berubah menjadi pribadi yang lebih terbuka. Berusaha lebih terbuka, tepatnya. Dua hari mereka ada di Ansoncree, jelas membuatnya berpikir bahwa tidak bisa selamanya ia diam saja dan terus dianggap berat bibir. Gayatri harus mencoba untuk mencairkan suasana. Setidaknya, berbicara pada Ares saat pagi buta adalah salah satu hal yang bisa ia lakukan.

“Kak Ares,” panggilnya pelan.

Ares ada di teras rumah Sea, sedang melihat ke arah matahari terbit, sendirian. Suasana pukul lima pagi di Ansoncree ternyata tidak ada bedanya dengan di rumahnya. Seberkas cahaya fajar muncul tanpa bisa mengalahkan gelap yang mendominasi. Jika begitu, hutan di depan mereka tampak lebih menyeramkan karena hanya berupa pohon menjulang tinggi tanpa adanya dedaunan yang tumbuh.

“Ada apa?” Ares berbalik. Kedua mata mereka berserobok. “Bangunmu kok pagi banget?”

“Kak Ares sendiri kenapa di sini sendirian?” Gayatri malah balik bertanya. Dihampirinya Ares yang mengenakan jaket hitamnya rapat. Ia lalu berdiri di samping cowok itu, melihat ke ujung pohon tanpa daun.

“Mikir gimana caranya bisa pulang,” balas Ares sekenanya.

Gayatri kembali menatap Ares. Yang dikatakan cowok itu memang benar. Kalau mau pulang, harus berpikir bagaimana caranya. Untuk itu, mereka sepertinya harus melakukan apa yang dikatakan oleh Sea kemarin.

“Harus cari lokasi pusaka itu dulu,” gumam Gayatri. Meski pelan, tetapi Ares bisa mendengarnya.

“Kamu tahu di mana lokasinya?” tanya Ares lagi.

Gayatri menggeleng. “Enggak tahu, Kak. Di tempat seluas ini, bagaimana caranya kita mencari benda itu? Tanpa peralatan memadai dan tanpa petunjuk apa-apa.”

“Kamu benar. Rasanya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit, kan?”

Gayatri setuju dengan Ares. Tidak ada petunjuk untuk mencari benda itu. Sea hanya bilang ketika mereka sampai di tempat yang kira-kira menjadi lokasi terkuburnya pusaka leluhur Ansoncree, mereka akan merasakan lonjakan energi yang sangat kuat hingga mereka tidak mampu berdiri tegak. Namun, petunjuknya hanya itu saja. Ibu Sea tidak menunjukkan lokasinya dengan pasti.

Keheningan di antara keduanya kembali hadir. Ares sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pula dengan Gayatri. Mereka sama-sama bingung harus memberi respons seperti apa. Ingin bertanya pada Sea atau meminta pendapat ketiga teman mereka pun rasanya percuma. Adakah perasaan yang lebih membingungkan daripada yang sekarang mereka rasakan?

“Kalau mau mencari lokasinya, bukankah lebih baik kita cari di sekitar sini, Kak?” tanya Gayatri.

“Sudah kucoba semalam dan subuh tadi, tapi enggak berhasil.”

“Bagaimana Kak Ares mencobanya? Ayo, aku bantu. Siapa tahu kali ini berhasil.” Harapan Gayatri hanya satu. Jika memang pusaka itu ada di sekitar rumah Sea, mereka akan segera menemukannya. Namun, Gayatri seketika teringat akan satu hal. “Kalau ketemu, apa yang harus kita lakukan, Kak?”

“Pusaka itu harus dihancurkan dan diganti dengan pusaka lain sebagai pasangannya.”

Baik Gayatri maupun Ares kompak berbalik. Zeera dan Sunni berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangan di dada. Mereka memang masih mengenakan pakaian yang sama sejak di gudang SMANA, tetapi air muka mereka terlihat jauh lebih segar. Mungkin karena sudah beristirahat.

“Kalian tahu informasi itu dari mana?” telisik Ares.

Zeera memutar matanya sebentar, kemudian berbicara. “Kak Ares enggak berpikir untuk melakukan semuanya sendiri, kan?” tanyanya.

Ares tampak sedikit tersentak, tetapi berhasil menormalkan ekspresinya. “Jangan ngawur!”

“Apa benar?” Zeera berjalan mendekat. “Kalau bukan, kenapa Kak Ares sibuk sendiri tadi malam sambil menggali tanah di sekitar sini? Sebelum Aya datang juga gitu, kan?”

Ares langsung melihat ke arah tangannya. Gayatri juga ikut melihat ke sana. Tangan Ares terkepal erat, tetapi Gayatri masih bisa melihat bekas-bekas tanah basah di antara kuku cowok itu. Bekas tergores dengan batu pun ternyata terlihat juga.

“Bukan hanya Kak Ares yang berusaha, kok.” Kali ini, Sunni yang berjalan mendekat. “Kami tadi habis dari kamar Pak Fero. Sea yang memberi tahu kami kalau mungkin aja ada petunjuk di sana. Memang bukan petunjuk soal lokasi pusaka dikubur, tapi informasi yang kami dapat malah lebih berguna saat pusaka itu ditemukan, benar?”

“Mulai sekarang, Kak. Tolong jangan berusaha sendirian lagi.” Zeera memasang ekspresi serius. Cewek itu bahkan sampai menunjuk-nunjuk Ares tanpa rasa takut.

“Zeera dan Sunni benar. Kita ada di sini bersama, pulang pun harus bersama. Jadi, ayo berusaha bersama.” Di akhir kalimatnya, Gayatri tersenyum manis sekali. Matanya menyipit lucu dari balik kacamata bulatnya. Rambutnya yang pendek dan bergelombang itu ikut bergerak ketika ia berbicara. Sangat berbeda dengan Sunni yang ujung rambutnya dicat merah dan terurai indah atau Zeera yang gemar sekali mengepang rambutnya sedikit tidak rapi.

“Ok, ok.” Ares seketika pasrah sambil mengangkat kedua tangannya. “Aku enggak akan bertindak sendirian lagi. Tapi, kenapa Dean dan Sea enggak kelihatan?”

“Sea sedang membuat sarapan di dapur. Kalau Kak Dean ... ” Sunni menjeda ucapannya. “ ... kayaknya masih tidur.”

“Siapa yang tidur?”

Ketiga cewek di teras itu terlonjak ketika Dean mendadak muncul dengan wajah kusut. Satu tangannya mengusap area mata dan cowok itu menguap lebar-lebar supaya oksigen bisa masuk ke paru-parunya sebanyak mungkin.

“Kalian berisik banget!” kata Dean. “Kalau mau cari pusaka itu, mending jangan sekarang. Tunggu sampai suasana agak terang.”

Gayatri dan ketiga temannya kontan merasa heran. Dean di depan mereka benar Dean yang sebelumnya, bukan?

“Siapa yang kemarin marah-marah terus?”

Dean melihat ke arah Zeera yang barusan berbicara. Cowok itu berdecak kesal. “Di antara kalian, hanya aku yang paling realistis. Punya otak itu dipakai, jangan asal percaya dan setuju aja. Kalian enggak tahu, kan, apa yang kutemukan kemarin? Makanya, jangan sok paling benar!”

“Apa yang Kak Dean temukan?” Zeera menjadi tidak sabaran.

“Aku kan sudah bilang, tunggu agak terang. Kalau sekarang, mau kalian cek sampai vampir jadi tua, pun, enggak ada gunanya.” Setelah berkata begitu, Dean kembali masuk ke rumah Sea. Cowok itu melenggang pergi begitu saja tanpa berniat berbalik. Sikapnya itu jelas saja membuat kesal.

Gayatri malah memikirkan dengan keras apa yang berusaha ditunjukkan oleh Dean. Ia seperti lupa akan sesuatu, tetapi tidak tahu apa itu. Ucapan Dean terlalu misterius untuk ditelaah.

“Sepertinya bocah itu melihat sesuatu kemarin,” celetuk Ares. Semua mata refleks melihatnya. “Mungkin aja Dean dapat petunjuk soal pusaka leluhur itu? Siapa yang tahu?”

“Aku tahu, Kak!” Gayatri seketika teringat. “Kita harus pergi sekarang juga. Kalau spekulasiku benar, kemungkinan besar kita bisa pulang.”

Buru-buru Gayatri masuk rumah Sea. Diikuti ketiga temannya yang tampak terkejut. Gayatri bahkan mengabaikan panggilan Ares, Zeera, Sunni, atau bahkan Dean dan Gayatri melewatinya begitu saja. Ia mengambil sesuatu dalam tasnya dan mencari senter.

“Justru kalau enggak sekarang, kapan lagi, Kak?” Gayatri hendak pergi, tetapi dihadang semua temannya, termasuk Sea yang baru kembali dari dapur.

“Tolong bilang apa yang mau kamu lakukan?” Tatapan Zeera dan semua temannya termasuk tidak bisa dibantah.

Gayatri menggeleng. “Tolong ikut aku aja. Aku takut kalau bilang sekarang, nanti malah salah.”

***

11 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top