10. Sulit Sekali untuk Percaya

Dean


Dean tertawa dalam diam. Di pikirannya, hanya ada berbagai macam spekulasi yang membuatnya bisa saja menjadi gila. Pertama, Ansoncree dan semua penduduknya yang tidak mempunyai indra pendengaran. Kedua, Onyx yang keluar dari dalam tubuh Sea. Ketiga, Sea bilang bahwa cewek itu tidak tahu bagaimana caranya kembali ke bumi?

“Oh, yang benar aja!” Dean menggerutu sambil mengacak rambutnya frustrasi. “Kalau mau bohong, kenapa enggak cari alasan lain yang lebih logis dan meyakinkan? Kami dari tadi udah diem, loh. Bocah satu ini ternyata dibiarin makin jadi!”

Dean bahkan hendak berdiri dan melakukan tindakan tidak bermoral seperti membentak anak di bawah umur jika saja Ares tidak berdiri dan menahannya dengan satu tangan. “Jangan berlebihan, Dean!” bentak Ares.

“Berlebihan apanya?” Dean balik bertanya. “Justru kamu yang harusnya mikir, Res! Si Bocah itu yang mempermainkan kita, tapi tingkahnya malah sok polos dan menjual kesedihan!”

“Semuanya bisa diomongin baik-baik, kan?” Ares masih berusaha tenang rupanya.

Berbanding terbalik dengan Dean yang benar-benar tidak bisa tenang. Dean sangat marah dan jengkel. Ingin rasanya menghancurkan benda apa saja yang tertangkap mata. Setidaknya, bisa menyalurkan emosinya yang sudah memuncak. Wajahnya bahkan memerah karena kesal.

Jika Dean bertingkah menyebalkan dengan segala emosinya yang tidak bisa ditebak, keempat temannya justru tidak seperti itu. Ares ternyata lebih memilih bersikap tenang meskipun Dean yakin seratus persen bahwa cowok itu juga kesal. Gayatri yang pemalu malah tidak bisa ditebak ekspresinya. Sedangkan Zeera dan Sunni, kedua cewek itu sama saja seperti cewek lain di luar sana yang gemar sekali mencari perhatian.

Menyebalkan!

“Dari awal juga kalian nyuruh aku tenang, tenang, terus berusaha percaya. Nah, yang kayak gitu mau dipercaya?” Semakin menjadi, Dean bahkan berusaha menepis tangan Ares dari tubuhnya.

“Kalau enggak percaya sama Sea, mau jadi apa kita?” Ares tidak mau kalah. “Di tempat asing seperti ini, kamu yakin kalau kita bisa bertahan tanpa semua informasi dari Sea?”

“Kayaknya enggak bisa, Kak.” Gayatri diam-diam ikut merespons.

Ares seketika melihat cewek itu. “Ya, kan? Gayatri aja tahu. Kamu harusnya lihat sisi positifnya. Okelah, katakan kalau Sea terlambat ngasih info yang paling penting. Setidaknya Sea enggak menutupi sesuatu dari kita.”

“Munafik!” cibir Dean. Ia mendengkus keras. Rasa dongkolnya masih bersarang dalam dada. Benar-benar tidak mau keluar jika ia belum mendapatkan penjelasan yang bisa meyakinkannya.

Di sudut ruangan, Sea meringkuk sambil menunduk. Seperti tidak berani menangis, Sea malah bungkam tanpa berniat menjelaskan lebih jauh. Ketiga cewek yang tersisa pun hanya mampu melihat dari jauh. Mungkin mereka sebenarnya ingin menenangkan Sea, tetapi urung karena suatu hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika.

“Aku enggak bohong, Kak,” cicit Sea. Suaranya lemah sekali, seperti hampir menangis. Mungkin karena dituduh oleh Dean yang berwajah kaku sejak awal. Tidak ramah, suka menuduh, dan terlalu skeptis.

“Kalau enggak bohong, kenapa kamu bilang enggak tahu jalan pulang di bagian terakhir? Setelah semuanya, sejarah Ansoncree, masyarakatnya, hingga Onyx? Oh, ayolah!” Dean semakin menggerutu.

“Kalau menjelaskan sesuatu, kan, harus dari awal, Kak,” kata Sea lagi. “Kalau aku bilang itu duluan, aku yakin kalian akan lebih berontak daripada ini dan mendesakku untuk segera pulang.”

“Alasan lagi, kan?” cibir Dean lagi.

Ares memejam sebentar. Napasnya sama seperti Dean yang naik turun dengan cepat. “Kamu itu enggak punya empati, ya?” tanyanya pada Dean.

Mendengarnya, Dean seketika bungkam. Empati, ya? Apakah hal semacam itu diperlukan ketika tidak adanya seseorang yang mengajarinya untuk bersikap demikian? Kedua orang tuanya saja tidak peduli, mengapa Dean harus punya empati?

Hanya, kalimat pertanyaan Ares barusan begitu menohok hatinya. Ia mencari-cari kesalahan dari sikap Ares padanya, tetapi nihil.

“Jangan sok menghakimi!” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Dean benar-benar menepis tangan Ares dan menarik bahunya dari cengkeraman Zeera dengan paksa. Baiklah, percuma juga ia bertahan ketika semua temannya justru melihatnya sebagai hama yang harus dibasmi.

“Kalian dari tadi ribut soal kepercayaan, kan? Sekarang, cari aja jalan pulang sendiri. Aku pergi!”

Dean sejatinya bersiap-siap pergi. Namun, langkah kakinya mendadak terhenti ketika sebuah cahaya muncul dari tubuh salah satu dari mereka. Cahaya itu bukan milik Sea karena Onyx masih dipegangnya dengan erat pun bukan cahaya lampu meskipun hari mulai menjelang sore, melainkan dari Gayatri.

Semuanya terperangah. Tidak percaya pada apa yang dialami cewek itu. Sama seperti Sea sebelumnya, sesuatu seolah keluar dari dalam tubuh Gayatri. Si pemilik tubuh pun sama terkejutnya karena tidak tahu apa-apa. Perlahan-lahan, cahaya itu memudar. Tergantikan oleh sebuah batu putih yang sama dengan milik Sea. Namun, milik Sea bentuknya bulat sempurna. Sementara milik Gayatri hanya berupa pecahannya saja.

“Satu per limanya sudah keluar,” celetuk Sea. Semua menoleh padanya.

“Apa maksudmu?” tanya Sunni.

“Onyx milik kalian sebenarnya satu bagian yang utuh, Kak. Hanya saja, terpecah menjadi lima dan tertanam pada diri kalian masing-masing.” Kedua manik biru Sea mulai berbinar, tidak sayu seperti tadi. Ada secercah harapan, mungkin.

Entahlah, Dean tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah melihat Onyx keluar dari tubuh Gayatri secara langsung.

“Aya, gimana caramu mengeluarkannya?” Zeera penasaran, rupanya. Cewek itu bahkan sudah pergi dari tempatnya semula dan menghampiri Gayatri. Setelah sampai pun, cewek itu malah mengambil Onyx dari tangan Gayatri untuk dilihatnya secara langsung. “Bagus, banget,” katanya lagi.

“Aku sendiri juga enggak tahu. Enggak sakit juga saat benda itu keluar.” Gayatri memalingkan wajah ke arah Sea tanpa memedulikan Zeera yang antusias sendiri. “Kamu tahu bagaimana caranya, Sea?” tanyanya.

 Sea menggeleng dengan ragu. “Aku enggak tahu pastinya, Kak. Cuma aku rasa, Onyx punya kemampuan mendeteksi Onyx lain di sekitarnya.”

“Karena kamu mengeluarkan milikmu?” tebak Ares.

“Benar. Bisa dibilang begitu.”

Ares kemudian melihat ke arah Dean. “Sekarang percaya, kan?”

Dean mendengkus kesal. Ia kehilangan kata-kata. Rasa takjub, marah, dan jengkel menyatu dalam hatinya. Jika sudah melihatnya langsung seperti itu, apa lagi yang harus Dean bantah?

“Kalau Aya bisa mengeluarkannya secara tidak langsung, apa kami juga bisa? Apa karena itu kami tidak terdampak efek samping pusaka?” tanya Sunni.

Sea mengangguk. “Bisa, tapi butuh latihan. Kejadian seperti Kak Gayatri barusan termasuk langka karena sedikit orang yang bisa melakukannya. Aku bahkan sudah latihan lebih dari seratus kali,” katanya sambil menunjukkan deretan giginya lucu.

“Meskipun hanya berupa pecahan?” Kali ini Zeera yang bertanya. Ia sudah mengembalikan pecahan Onyx milik Gayatri. Ketika benda itu kembali pada pemiliknya, benda itu seketika melebur dengan udara. Semuanya kembali terperanjat.

“Jangan terkejut,” sela Sea cepat. “Onyx milik Kak Gayatri kembali ke tempatnya semula, kok.”

“Ada yang belum kamu katakan, loh, Sea!” Dean masih marah, rupanya.

“Baiklah, Kak. Aku memang enggak tahu bagaimana caranya kembali ke bumi. Pesan yang kukirim lewat radio pun aku lakukan dari Ansoncree. Tulisan di depan radio yang kalian lihat sebelum berpindah ke sini, sebenarnya sudah dibuat oleh ayah karena ayah tahu apa yang akan terjadi padanya.” Sea diam sejenak, lalu bernapas dalam sekali sentakan. “Yang harus kalian lakukan untuk membantuku adalah menemukan di mana lokasi terkuburnya pusaka leluhur Ansoncree dan tolong selamatkan penduduk di sini sebelum nyawa mereka benar-benar hilang tanpa sisa.”

***

10 Oktober 2024

Terimakasih

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top