1. Si Pembuat Onar

Dean

***


“Selamat datang di Sekolah Menengah Atas Nusantara 05. Kalian bisa menyingkatnya jadi SMANA, supaya lebih praktis dan enggak ribet. Kalian beruntung karena SMANA termasuk sekolah swasta elite di Sidoarjo. Meskipun bayarnya mahal, tapi kalian tenang aja. Itu sebanding dengan fasilitas yang didapat. Mulai dari laboratorium biologi, fisika, kimia, komputer, sport station. Ditambah lagi fasilitas yang paling spesial yaitu ada mie ayam viral Bang Rojak yang sekali seruput rasanya kayak mau meninggoy ... ” Dean memegang mikrofon dengan erat, seolah hendak melemparkan benda itu ke sembarang tempat. “Nama saya Dean Agung Hartanto. Saya di sini membantu menjadi pembawa acara sementara. Alasannya—”

“Dihukum, kan?” celetuk siswa di barisan belakang.

Dean berhenti bicara saat seluruh siswa di hadapannya tertawa keras—lebih tepatnya bersama-sama menertawakan dirinya. Kalau bukan karena Bu Indah yang memberinya hukuman untuk memberi sambutan saat ulang tahun sekolah, Dean benar-benar tidak mau berdiri di atas panggung seperti badut.

“Tolong tenang dulu.” Dean menggertakkan giginya kuat-kuat, menahan amarah, kesal dan malu di saat yang sama. Meski begitu, semua siswa yang hadir pun menurutinya dalam sekali perintah. Mungkin karena Dean memiliki sorot mata tajam yang sama sekali tidak bisa dibantah. Mungkin juga takut padanya karena mengira Dean adalah seorang ketua geng akibat model seragam dan rambutnya.

“Nah, gini kan enak.” Dean kembali berbicara. “Hari ini adalah hari ulang tahun SMANA, sekolah tercinta kita. Barusan kepala sekolah bilang kalau hari ini kalian bebas beraktivitas. Meski bebas, akan ada penampilan dari teman-teman untuk memeriahkan acara. Jadi, jangan sampai ketinggalan. Nanti dihukum juga. Jadi, jangan ya dek yaa ....”

Padahal kalimat terakhir Dean begitu pelan, tetapi mungkin terkena mikrofon sehingga semuanya mendengar. Gelak tawa kembali bergema. Dean benar-benar menjadi bahan tontonan kali ini. Bu Indah menahan tawa, guru bimbingan konseling itu sudah masuk daftar hitam orang-orang yang gemar mencari masalah dengannya. Kalau bukan karena ancaman Bu Indah yang bisa saja membuatnya kehilangan semua fasilitas dari orang tua, Dean benar-benar tidak mau ada di sini sekarang.

Baiklah, terlalu banyak perumpamaan.

“Tapi, dengan catatan tidak boleh sampai keluar gerbang SMANA. Kalau sampai ketahuan, kalian akan berhadapan dengan Bu Indah, Si Cantik dari BK! Baik, begitu saja sambutan dari saya. Di pantai ada pohon palem, di gunung ada biri-biri.”

“Cakeppp!”

Dean menghela napas.

“Saya Dean, si ganteng dari XI IPS 6, pamit mengundurkan diri. Terima kasih.”

Begitu saja sambutan singkat Dean yang sebenarnya itu adalah hukuman untuknya. Hukuman karena berani menerobos pagar saat hendak ditutup dan mengakibatkan kerusakan. Meskipun tidak terlalu tampak, tetapi Dean enggan berdamai dengan mengganti rugi. Bukannya ia tidak mau. Ia hanya tidak ingin meminta uang pada orang tuanya. Alhasil, Bu Indah memberinya hukuman yang tidak akan ia lakukan lagi seumur hidup. Cukup satu kali saja karena harga dirinya lebih penting.

Dean turun dari panggung. Di sana, Bu Indah berdiri sembari melipat tangan di dada dan memasang ekspresi jengkel. “Malu, kan?” tanya Bu Indah.

“Biasa aja sih, Bu. Toh, yang buat skrip sambutannya kan Ibu sendiri. Saya tinggal menghafal.” Dean ini memang berbakat membuat guru-guru kesal. Bukannya mendapat efek jera, ia malah tidak goyah seakan meminta dihukum lagi.

Bu Indah pun bukannya pasrah, ia malah menjewer telinga Dean yang tertutupi oleh rambutnya yang mulai panjang.

“Kamu ini, ya! Kok enggak kapok? Sudah jadi kakak kelas kok malah makin bandel! Rambutmu juga ituloh, mau Ibu yang potongkan biar rapi?” Selain menjewer telinga Dean, Bu Indah juga mengacak rambut cowok itu gemas. Mungkin dalam hati bertanya-tanya, harus dengan cara apa lagi supaya Dean yang bandel, tetapi sayangnya pintar ini jera?

“Pintarmu ituloh, enggak bakal ada hasilnya kalau kamu enggak punya adab, Dean!” Bu Indah akhirnya melepas jewerannya.

Dean sempat mengaduh, tetapi hanya sebentar. Ia pun memilih mengusap telinga kirinya yang memerah sembari tetap menutup mulut. Hanya matanya saja yang menatap nyalang setiap siswa yang melihatnya dengan rasa penasaran. Sisanya, ia justru enggan bertindak lebih jauh.

Sudah capek.

“Hukuman saya sudah selesai, kan, Bu?” Pertanyaan Dean barusan agaknya kembali menyulut api. Terbukti karena sorot mata Bu Indah kembali membara seolah hendak menerkam Dean secepatnya.

Hanya, Bu Indah malah berhitung sampai dua puluh sebelum kembali berbicara. Kali ini lebih tenang. “Kamu yakin, enggak butuh pendengar?”

Dean tersentak. “Saya bukan penyanyi, Bu. Saya cuma suka musik, tapi enggak bisa nyanyi.”

Benar, kan? Terlihat jelas kini giliran Bu Indah yang menekan bibirnya rapat-rapat. Dean hendak tertawa ketika melihat guru wanita yang berusia sekitar tigapuluhan itu. Ingin mengorek segala informasi pribadinya? Jelas tidak bisa. Dean tersenyum simpul.

Kalau dibilang butuh pendengar, ia memang butuh. Namun, bukan dari para guru di SMANA. Bukan juga dari semua temannya ataupun salah satu di antara banyaknya orang yang ia kenal. Toh, buat apa? Mereka pasti hanya akan merasa kasihan. Lebih baik Dean merasa malu daripada dikasihani.

“Sini, rambutmu Ibu potong rapi dulu.” Akhirnya Bu Indah tidak mengorek lebih jauh. Dean pun pasrah ketika ditarik menuju ruang BK. “Seragammu kalau setelah ini enggak dirapikan, Ibu akan menghubungi orang tuamu!”

“Baik, Bu.”

Bu Indah menoleh sebentar. “Kok tumben langsung nurut?”

“Ibu minta saya bagaimana? Kalau enggak jawab, nanti dihukum lagi. Kalau saya jawab, tetap aja dihukum.” Serius, kalau seperti ini, Dean tidak ubahnya remaja tujuh belas tahun yang masih membutuhkan sikap peduli dari orang-orang sekitar.

“Intinya, kalau kamu bandel, mau jadi apa nantinya?”

***

Sidoarjo, beberapa jam lalu

Dean sudah biasa mendengar piring pecah karena dilempar. Ia juga sering mendengar adu mulut antara kedua orang tuanya. Tidak pagi hari atau pun malam hari. Rasanya, kemarahan dan pecahan beling sudah menjadi makanannya sehari-hari. Rugi kalau ia meladeni setiap mereka seperti itu.

Memejamkan matanya sejenak, Dean meresapi kata demi kata yang terlontar dari mulut ayah dan ibunya. Kali ini apa lagi? Masalah pekerjaan, uang tidak ada habisnya, atau bahkan tentang Dean?

Dean berdecak kesal. Ia memilih mematikan game di ponselnya, memasang penyuara telinga, lalu beranjak dari kamar setelah menyabet tas sekolahnya di atas ranjang.

Ia berjalan menuruni tangga menuju ruang tamu. Rumah besar ini rupanya tidak membuatnya kesepian seperti yang sudah-sudah. Buktinya, selalu terdengar nyanyian merdu dari kedua orang tuanya sambil memasang ekspresi marah.

“Saya berangkat.” Hanya begitu saja. Dean dengan santainya lewat di tengah-tengah ayah dan ibunya yang sedang adu mulut.

“Mau ke mana kamu, Dean?” Ayahnya bertanya sambil membentak.

Dean terdiam. Sama sekali tidak berniat menoleh. “Sekolah, emang Ayah enggak lihat saya bawa tas?”

“Dasar enggak sopan! Sini, kamu!” Bentakan ayahnya juga sudah jadi makanan Dean sehari-hari.

Jadi, Dean tidak akan pernah goyah. Ia malah kembali berdecak dan memilih melangkah pergi meski orang tuanya terus memanggilnya. Toh, apa yang akan terjadi jika ia berbalik dan berpamitan dengan benar? Paling-paling pipinya yang akan terkena sasaran. Ia benar-benar sudah muak.

Karena itulah, saat mengendarai motor sport miliknya ke SMANA, Dean nekat menambah kecepatan hingga lebih dari tujuh puluh kilometer per jam. Padahal jarak rumah dan sekolahnya hanya sekitar tiga ribu meter. Artinya sangat dekat, bukan?

Apalagi, jalanan menuju SMANA termasuk ramai saat pagi. Tentu saja, sekarang pukul enam lebih dua puluh menit. Pagi hari. Waktunya berangkat kerja bagi warga Kota Sidoarjo.

Dan lagi, begitu memasuki wilayah SMANA, Dean malah menambah laju motornya. Ia lihai sekali melewati berbagai kendaraan yang memadati jalanan di depan SMANA. Kemacetan yang terjadi pun dapat dilaluinya dengan mudah.

Hanya, aturan SMANA yang harus ditaatinya adalah datang pukul enam lewat sepuluh menit. Sepuluh menit kemudian, gerbang SMANA akan ditutup. Dean jelas tidak ingin itu terjadi. Tinggal sedikit lagi, ia akan sampai. Berbelok ke kanan, memasuki jalan sempit yang dipadati kendaraan pengantar para siswa.

Membunyikan klakson motornya, Dean seperti kesetanan. Gerbang SMANA sudah tertangkap oleh matanya. Hanya tinggal beberapa meter lagi. Namun, saat Dean benar-benar sampai di sana, gerbang perlahan ditutup dan tabrakan pun tidak dapat dihindari. Gerbang sekolah tampak rusak di satu sisinya dan itu karena Dean.

Serius, di hari terakhir masa orientasi siswa baru, Dean justru membuat masalah.

“Dean!”

Nah, kan. Bu Indah yang kali ini mendapat giliran menjaga di gerbang masuk. Entah Dean harus bersyukur atau tidak.

“Kamu! Parkirkan motormu sekarang dan ikut Ibu!”

Karena itulah hukuman Dean kali ini mungkin akan benar-benar berat.

***

-1 Oktober 2024-

Terimakasih ...

-Ros-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top