2. Permintaan Klien
Suara perdebatan kedua adik kembarku sampai terdengar dari dapur. Aku dan ibu yang sedang memasak sesekali menegur mereka agar tidak berteriak, rumah kami dan rumah tetangga saling berdempetan seperti kebanyakan rumah di komplek Perumahan. Entah apa yang mereka ributkan sampai suara teguran ibu mereka abaikan.
"Kak, tolong nanti ini dicicip ya, Ibu mau negur si kembar dulu," ibu meletakan tutup panci dan mengambil sebuah kemoceng. Jika ucapan ibu sudah tidak didengar, maka ibu menggunakan benda walau tidak untuk memukul hanya untuk menakuti mereka. Nyatanya jurus itu sangat ampuh.
Benar saja, suara mereka tidak terdengar lagi, hanya suara ibu yang sedang menasehati serta mengomeli mereka yang terdengar. Aku hanya menggeleng ketika rumah minimalis kami dipenuhi keributan oleh adik-adikku yang sudah dewasa namun seperti anak kecil. Setelah mencicipi sayur lodeh, aku mengangkatnya dan mulai menggoreng ikan. Ini adalah menu kesukaan kepala rumah tangga kami. Ya, ayah sangat suka ikan mas goreng.
"Mereka kenapa Bu?"
"Biasa, rebutan kaos, padahal sudah ibu belikan satu-satu tapi mereka masih saja rebutan." dengan cekatan ibu yang sedang mengomel menyiapkan sayur dalam wadah.
Aku membantu mengambil piring dan meletakkannya di karpet. Keluarga kami terbiasa makan dengan lesehan, kata ayah itu akan membuat ikatan keluarga kami semakin dekat karena tidak ada jarak dalam makan bersama.
"Zidan! Panggil ayah sama kakak kamu!" ibu berteriak ketika Zidan melewati dapur. "Ya Allah, itu baju kenapa?" ibu semakin berteriak melihat baju adik bungsuku itu yang kotor.
"Kotor," sambil menggaruk kepala Zidan menjawab dengan cengiran khasnya. Anak itu memang suka sekali membuat ibu kesal.
"Ibu tau itu kotor, tapi karena apa?"
"Main lah Bu, namanya juga cowok." sebelum ibu menjawab, Zidan sudah lebih dulu lari menuju ruang tengah.
"Astagfirullah, sudah pergi subuh buta, pulang-pulang mirip anak bebek begitu," ibu hanya mengusap dada sabar.
"Sudah Bu, Zidan makin suka kalau Ibu kesal begini,"
"Adik kamu satu itu, Ibu sampai bingung mau gimana," aku hanya tersenyum mendengar ocehan ibu. Jarak usia kami yang jauh memang membuat si kembar dan Zidan sangat manja denganku.
Begitu makan siang selesai, aku segera mencuci piring dan membereskan dapur. Ibu ternyata melanjutkan aksi mengomeli Zidan yang rertunda tadi. Dibantu Azam, aku menata piring yang sudah dibilas. Walau laki-laki, Azam dan Azmi sudah terbiasa membantuku di dapur.
"Kak, ada telepon," Azmi datang sambil membawa ponselku yang aku carger di ruang tengah.
"Bantu Azam beresin piring ya," mengelap tangan sampai kering, aku nengambil ponselku.
"Iya-iya," jawab Azmi malas.
"Jangan sampai ada yang pecah kalau nggak mau dimarahi ibu," kataku lalu pergi untuk menerima panggilan dari Nia.
Dari seberang panggilan aku bisa mendengar decak sebal dari adik kelasku yang sekarang menjadi asistenku.
"Assalamualaikum, Nia, ada apa?"
"Waalaikumsalam, Mbak, Mbak aku tuh sebal banget sama klien satu ini!"
Aku sampai menjauhkan benda pipih ini dari telingaku. Nia dengan suara nyaringnya kembali bicara.
"Kan, sudah ada keterangannya kalau weekend kita libur, eh, dia malah ngotot mau ketemu Mbak sekarang terus mau ubah lagi gaunnya, gila aja kali!"
"Hustt, Nia, jangan bicara begitu, nggak baik." aku langsung menegurnya. "Ya sudah kalau dia mau ketemu sama Mbak, nggak apa-apa nanti Mbak ke butik"
"Tapi Mbak, kita kan sudah lembur kemarin buat ngerjain gaunnya, sekarang minta diubah lagi, dia pikir kita robot!"
"Kalau kamu capek, biar Mbak yang ke butik. Kamu istirahat saja, ini kan memang waktu kamu libur,"
"Waktu Mbak libur juga."
Aku bersyukur memiliki asisten yang sudah ku anggap seperti adikku sendiri ini sangat peduli padaku. Nia memang dikenal dengan gadis bermulut pedas di butik. Dia akan bilang suka jika suka dan tidak suka jika memang hatinya tidak menyukainya. Gadis itu akan langsung meminta maaf jika berbuat salah dan tidak sungkan untuk menegur jika ada yang salah. Nia tipe gadis yang suka bertanya sampai ia paham, itulah yang membuatku langsung mengangkatnya sebagai asistenku ketika ia melamar dulu.
"Ya sudah lah Mbak, aku mau siap-siap, kita ketemu di butik. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku tahu dia kesal, dia juga sangat tahu aku yang tidak bisa menolak keinginan klien. Nia lah yang sering marah-marah ketika aku menerima semua keinginan klien yang memusingkan kepala. Tidak mau membuang waktu lama, aku juga bersiap-siap agar lebih cepat sampai ke butik.
🍒D'PARTNER🍒
Di dalam sudah ada Nia dengan wajah ditekuknya. Gadis itu sedang merentangkan gaun bagian bawah yang lebarnya hampir enam meter. Meteran, buku, kapur dan pola sudah tergeletak di sampingnya. Ada juga mote-mote yang akan dipasang pada gaun itu.
"Yang iklas Nia, jangan cemberut gitu nanti hasilnya nggak cantik lho, kayak orangnya." godaku. Nia hanya berdecak kesal, ia membuka buku dan mencoret entah apa.
"Bagian pinggang harus dikecilin lagi, haran deh, ini aja udah kecil, mau sekecil apalagi coba?"
Nia mengukur pinggang gaun yang tidak sampai empat jengkal tersebut. Memang klienku ini kurus namun bentuk tubuhnya bagus dengan tinggi bak model. Atau mungkin memang dia seorang model?
Suara bel menghentikan aksi mengoceh Nia, ia segera membuka pintu dan mempersilakan tamu masuk. Aku sudah tahu siapa orangnya, klienku yang penuh dengan permintaannya yang selalu berubah-ubah.
"Aku mau di bagian lengan dikasih payet dan di bagian pergelangan tangan, eh nggak jadi deh, aku mau tangannya sebatas siku saja."
"Mbak Lisa yakin tangannya mau sampai lengan saja? Masalahnya nanti kainnya kami potong," aku meyakinkannya, masalahnya kain yang sudah dipotong akan terlihat jelek jika disambung ,apalagi di bagian tangan walau bisa diakali dengan pemasangan renda atau lainnya untuk menutupi jahitannya.
"Duh, gimana ya?" mbak Lisa terlihat bingung. Wanita itu memutar-mutar lengan gaunnya, mungkin dia ragu ingin memotongnya.
"Mbak Lisa pikirkan lagi saja, mungkin masih bingung, saya tidak mau mbak Lisa menyesal nantinya," aku hanya bisa memberinya saran. Menurutku, gaun ini sudah sangat cantik, bagian tangan panjangnya begitu membentuk tangnnya yang jenjang.
"Biar saya bicarakan dengan calon siami saya dulu, nanti saya kabari lagi." mbak Lisa pamit setelah menelepon calon suaminya yang tidak bisa datang.
Nia tentu saja menjadi yang paling kesal. Adik kelasku itu terus mengomel tiada henti sambil memasang gaun tersebut pada manakin. Dia tidak terima waktu liburnya diganggu dengan hal tidak jelas menurutnya. Mbak Lisa hanya datang dengan kebingungannya dan pulang seakan tidak berbuat dosa. Begitu katanya yang tetap mengerjakan tugasnya.
"Sudah Nia, mengerjakan sesuatu itu yang iklas,"
Nia berhenti sejenak, dia menatapku dengan wajah ditekuk.
"Mbak juga sih, mau-mau saja, lihat kan ujungnya?" ia menutup gaun dengan plastik. "Laki-laki mana yang mau sama perempuam labil gitu,"
"Nia, tolong ukuran gaun mbak Lisa tadi," aku harus segera menghentikan omelan Nia. Dia tidak akan berhenti sampai besok.
"Gaun ini cocok banget kalau mbak yang pakai," ujar Nia yang melihat gaun milik mbak Lisa. "Mbak kapan nikah sih?"
Aku meletakan pelpen, pertanyaan itu, sudah ribuan kali mampir di telingaku dan jawabanku akan tetap sama.
"Jika jodohnya sudah ada dan Allah meridhoinya,"
Nia menghela napas bosan mendengar jawabanku. "Itu lagi, itu lagi, Mbak nggak ada niat terima salah satu yang ngajak Mbak taaruf?"
Sejujurnya aku ingin sekali menerima orang yang mengajakku taaruf. Orang-orang terdekatku banyak yang menerima CV taaruf dari para ikhwan, sayangnya kebanyakan dari mereka selalu mencantumkan kriteria dan umur. Sedangkan, semua kriteria yang mereka cantumkan tidak ada pada diriku.
Ayah pernah bilang, laki-laki yang baik akan langsung menghadap wali sang perempuan jika berniat serius. Langsung mengutarakan niatnya dan meminta izin, tidak perlu menggunakam CV atau semacamnya. Melihat perempuannya secara langdung dan memperkenalkan diri. Itu saja sebenarnya sudah cukup. Namun, sampai sekarang tidak ada yang datang ke rumah seperti ayah yang langsung datang ke rumah ibu dulu untuk meminang.
"Mbak? Yah ... ditanya malah diam saja."
Aku kaget saat Nia menyentuh bahuku. Ternyata pertanyaan Nia membuatku melamun sebentar.
"Dari pada kita bengong gak jelas, mending Mbak coba saja gaun nenek rempong ini." entah sejak kapan Nia sudah mengambil gaun mbak Lisa dan panggilan itu, sedikit tidak baik menurutku.
"Nia, itu baju klien, kamu jangan mengganti nama orang, mereka sudah di akikah," aku menegur. Namun Nia mengabaikanku, dia malah menarikku berdiri.
"Biarin lah, aku sudah kelewat kesal sama dia." ucapnya menempelkan gaun pada tubuhku. "Pegang sebentar Mbak," Nia berlutut, memasang jarum diujung gaun agar lebih pendek. Ya, aku tidak setinggi mbak Lisa dan Nia. Aku hanya setinggi pundak mereka saja walau sudah memakai hak tinggi.
"Nia, Mbak nggak bisa marah sama kamu," ucapku ketika Nia mendorongku menuju ruang ganti.
"Aku tau, bahkan Mbak nggak akan tega nepuk nyamuk yang gigit Mbak," katanya, lalu menutup pintu.
Aku menatap diriku di cermin. Haruskah aku memakai baju klienku? Walau aku yang mendesainnya, aku belum pernah memakainya. Bayangan teman-tamanku dan wajah bahagia mereka ketika duduk di pelaminan dan mengenakan gaun indah ini terlintas. Bagaimana jika aku yang berada di sana? Apakah aku akan berekspresi sama seperti mereka? Tapi dengan siapa aku bersanding nanti?
Astagfirullah! Aku segera menggeleng dan mengucap istigfar, tidak seharusnya aku berpikir seperti itu. Aku tidak mau hatiku dihampiri rasa iri dan kepalaku dipenuhi khayalan-khayalan yang bisa saja itu hasutan jin. Aku tahu Allah sudah menyiapkan seseorang yang terbaik untukku kelak, dengan cara yang tak terduga.
"Mbak, butuh bantuan?"
Suara Nia membuatku segera memakai gaun ini. Kancing yang berada di belakang, aku biarkan terbuka karena aku tidak bisa menjangkaunya. Biar nanti aku minta tolong Nia yang memasangnya.
"Subhanallah!"
Begitu seru Nia saat aku keluar dari ruang ganti. Dia seperti melihat sesuatu yang menakjubkan. Tubuhku sampai pusing ia putar-putar.
"Kepala Mbak pusing Nia." untung saja aku tidak tersandung kain bawah gaun ini.
Nia berhenti memutar tubuhku, ia tersenyum dan menatapku penuh arti. Lalu, dia berdiri di belakang ku untuk menutup kancing gaun ini.
"Masya Allah, Mbak benar-benar cantik pakai gaun ini." ucap Nia yang sudah menghadapku lagi.
Aku berhasil dibuat tersipu, siapa pun pasti akan cantik menggunakan gaun ini. Termasuk Nia sendiri, apalagi tubuh gadis itu ideal.
"Ya Allah, semoga yang memakai gaun ini Mbak Firoh dan suaminya yang sholeh, aamiin."
Nia benar-benar memanjatkan doa, dia sampai menengadahkan tangan dan mengusapkan pada wajahnya. Aku tertegun melihatnya, hatiku tiba-tiba saja berdegup dengan aneh.
"Kok diam sih Mbak, aamiin gitu,"
"Aamiin."
Bersambung ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top