1. Anak Jaman Now
Aku berjalan tergesa-gesa di koridor kelas delapan yang sedang melangsungkan mata pelajarannya. Suara langkah dan tapak sepatuku yang nyaring membuat beberapa murid melihatku dari jendela. Beberapa saat lalu aku mendapat panggilan dari wali kelas adik laki-laki ku. Aku yang sedang mengerjakan gaun pernikahan pesanan yang akan digunakan enam bulan lagi terpaksa menundanya, ketika mendengar bahwa adikku terlibat masalah dengan temannya. Entah masalah apa yang dibuat adikku hingga wali kelasnya memanggilku selaku wali, karena kedua orangtuaku yang sedang berada di luar kota.
Setelah diberi tahu jika adikku dibawa ke ruang BK, aku segera menyusulnya. Aku sangat hapal letak gedung di sekolah ini, sekolah negeri ini tempatku dulu menimba ilmu ketika SMP. Kalau ayah dan ibu sampai tahu, sudah dipastikan adikku akan kena omel dan pemotongan uang jajan oleh ibuku, sedangkan ayah, pria istimewa di hidupku itu hanya memberi nasihat.
"Assalamualaikum," aku masuk ketika seorang guru yang akan keluar mempersilakan. Di kursi sana adikku dan satu lagi siswa yang tidak aku kenal duduk dengan wajah babak belur.
"Waalaikumsalam," Zidan, nama adikku menjawab dengan kepala menunduk. Siswa di sebelahnya berbisik. Lho, bukannya mereka habis berkelahi, kenapa saling bisik?
Aku berdehem beberapa kali, mencoba neresapi udara AC yang mendinginkan kepalaku. Jilbab segi empatku pasti basah di sekitar pelipis karena berjalan cepat tadi. Zidan terlihat ketakutan saat aku mendekatinya. Iya, aku dikenal dengan gadis galak dan cerewet di lingkungan keluargaku. Sebenarnya tidak begitu, aku hanya tegas terhadap waktu dan tidak mentolerir apa pun itu yang berhubungan dengan kebersihan dan kerapihan. Aku selalu mengomel jika rumah berantakan dan mereka yang membuat kekacauan tidak bertanggung jawab.
"Zidan Arrayan, masalah apa yang kamu buat?" aku langsung to the poin. Kutarik telinga adikku yang nawing, tapi anehnya dia selalu tidak mendengarkan nasihatku atau orangtuaku.
"Aku nggak ngelakuin apa-apa Kak, suwer!" Zidan mengangkat kedua jarinya membetuk huruf V.
Aku yang memang kesal semakin menguatkan jeweranku. Tidak melakukan apa-apa katanya, lalu apa memar di wajahnya itu?
"Terus ini apa?" dengan sengaja aku menekan memar di sudut bibirnya. Zidan mengaduh kesakitan. "Muka babak belur, baju lusuh, terus apa ini?" aku menunjuk celananya yang robek. "Kakak susah payah jahit buat kamu, malah kamu robek."
Zidan semakin mengaduh, kedua tangannya memegang tanganku yang menjewer telinganya. Aku tidak peduli, sudah sering aku menjewernya kuat seperti ini tapi adikku ini sama sekali tidak pernah jera.
"Bukan aku yang robek Kak." bela Zidan. Wajahnya sudah merah dan matanya berair. Aku masih tidak peduli, ada yang lebih sadis dariku menghuhukum Zidan yaitu ibuku.
"Terus siapa? Dia yang merobek dan berkelahi sama kamu?" aku melotot pada siswa yang dari tadi memandangku.
"Bu-bukan Kak!" anak itu mengoyangkan tangannya. "Cantik-cantik kok galak," anak ini sama sekali tidak ada sopan santunnya.
"Lif, hati-hati lo, kakak gue ini pemakab manusia, aduduh!" aku menjewer lagi telinga adikku yang bebas. Kini kedua telinganya aku tarik kuat. Adikku ini tidak bisa sama sekali menjaga image kakaknya sendiri.
"Nggak sopan ya kamu jadi adik."
"Ampun Kak! Ampun!"
Kegaduhan yang kami perbuat sepertinya terdengar sampai luar. Aku yang masih kesal dengan Zidan tidak menyadari sudah ada guru yang berdiri di depan meja. Aku masih menjewer telinga Zidan sambil mengomelinya.
"Ekhem, permisi."
"Kakak harus nunda kerjaan Kakak gara-gara kamu, kenapa sih kamu nakal banget?"
"Aku kan anak-anak, wajar kalau aku nakal."
"Anak-anak gigi kamu, nggak ingat udah baligh? Kamu itu udah tua!"
"Kakak yang udah tua." jawaban Zidan membuatku semakin kesal. Zidan yang berusaha melepaskan telinganya malah mengambil jilbabku untuk mengelap wajahnya.
"Zidan!"
"Bisa tenang sebenta, Bu?"
"Diam kamu!" Aku menatap anak yang dipanggil Lif tadi.
"Aku emang diam aja kok dari tadi." anak itu menopang dagu. Tersenyum menatapku dengan wajah mirip om-om hidung belang. Dasar anak jaman sekarang.
Eh, kalau bukan dia yang bicara tadi, terus siapa?
"Zidan, Alif, tolong kalian berdiri."
Suara yang sangat berat dari arah depan meja membuatku mengalikan tatapanku. Seorang pria dengan seragam batik berdiri menjulang, wajahnya yang tegas membuat siapa pun sungkan.
Buru-buru aku mengalihkan pandanganku. Astagfirullah, tidak seharusnya aku menatapnya begitu. Cara setan menyesatkan manusia ialah lewat pandangan. Setelah Zidan dan temannya berdiri, aku dipersilakan duduk.
"Saya Alfian Geanindra, guru Bimbingan Konseling,"
"Saya Siti Maghfiroh,"
Kami sama-sama tidak berjabat tangan, hanya menangkap kan kedua tangan masing-masing. Aku tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan mahramnya.
"Begini, maksud saya memanggil Ibu karena Zidan dan Alif terlibat masalah yang menyebabkan kekacauan."
Aku melotot pada Zidan yang langsung membuang muka.
"Mereka berkelahi kenapa, Pak?" corak batik spink warna kuning keemasan menjadi fokus mataku. Aku tidak ingin memandang matanya.
"Zidan, Alif, jelaskan," pak Alfian malah menyuruh kedua anak nakal itu bercerita. Aku tahu watak Zidan yang suka melebih-lebihkan sesuatu, adikku itu pintar berdrama.
Aku menatap kedua anak itu, menunggu kronologi kejadiannya. Kedua anak itu malah saling sikut.
"Zidan ..." aku menuntutnya.
"Aku nggak terima kalau Alif jadian sama Sena, aku yang duluan dekatin Sena." ungkap Zidan. Aku tidak percaya mendengarnya, apa Zidan tidak mendengar nasihat ayah yang melarang anak-anaknya untuk mendekati zina?
"Terus?" menahan kesal, aku terus menuntunya bercerita.
"Ya ... ya aku nggak terima, aku ... aku ...."
"Aku dipukul Zidan saat aku keluar dari kamar mandi."
Ucapan Zidan yang terputus-putus disambung oleh Alif. Aku hanya menghela napas, mereka berkelahi hanya karena wanita yang bukan mahramnya.
"Terus kamu melawannya?" pak Alfian ikut bertanya.
Alif mengangguk, "ya iya lah, masa aku diam aja dipukuli." anak itu menjawab dengan gaya tidak sopan menurutku.
Dengan gurunya saja dia begitu, bagaimana dengan orangtuanya? Astaggurullah, harusnya aku mengurusi adikku yang juga nakal, bukan malah mengurusi anak orang lain.
"Melihat tindakan mereka yang tidak baik dicontoh, pihak sekolah memutuskan memberikan mereka skorsing selama tiga hari. Karena ada properti sekolah yang rusak karena ulah mereka, Ibu sebagai wali Zidan diminta membayar kerugian."
Sapu, tempat sampah, handwash dan kaca kamar mandi rusak karena ulah adikku. Untung saja sekolah ini tidak ikut roboh karena ulah Zidan. Aku langsung membayar kerugian yang dibagi dua dengan wali Alif. Ngomong-ngomong tentang wali Alif, tidak ada orang dewasa yang datang untuk anak itu.
"Ini dibagi dua dengan wali Alif, dia tidak datang?" aku bertanya menatap name tage pak Alfian.
"Saya wali Alif, dia adik saya."
Tentu saja aku terkejut, pantas saja anak itu seperti tidak takut dengan pak Alfian, ternyata guru BK ini kakak Alif. Aku mengapresiasi sikap pak Alfian yang tidak membedakan murid-muridnya.
Setelah urusan selasai, tidak menunggu lama aku membawa Zidan pulang. Dia awalnya merengek tidak mau naik angkot, katanya malu karena wajahnya yang memar dan celananya yang robek. Aku tidak peduli ini sebagai hukuman, motor besarnya yang diberikan ayah memang sengaja aku sita kuncinya dan menitipkan motor itu pada pihak sekokah.
"Kalua motorku hilang Kakak harus tanggung jawab." ucap Zidan ketika aku selesai menitipkan motor.
"Kakak malah bersyukur kalau motor kamu hilang, jadi kamu nggak keluyuran terus."
"Kak!" Zidan menghentakan kakinya. Celananya yang robek semakin robek.
"Robekin terus Zidan, biar Kakak ubah jadi rok, celana kamu." aku bahkan sampai lembur untuk membuat celananya
Zidan merengut, dia membuang muka. "Alif!" teriaknya.
Anak itu menoleh, ia tersenyum dan berlari menghampiri kami.
"Gue udah siap, barang-barang gue ada di warung depan."
"Tapi gue pulang naik angkot. Motor gue disita." Zidan melirikku dengan tidak suka.
Mendengar percakapan mereka, aku dibuat bingung. Bukannya mereka sedang tidak akur, bahkan di ruang BK tadi mereka tidak saking sapa. Eh, tunggu dulu, waktu aku datang tadi mereka sempat berbisik-bisik. Ada yang tidak beres di sini sepertinya.
"Ya udah, kita naik angkot aja lebih seru!" seru Alif. Anak itu malah mendekatiku. "Kakak tenang aja, kalau ada yang ganggu di angkot nanti, biar Alif yang hajar." ucapnya seraya memukul dada sombong.
"Kalian bohong? Apa kalian pura-pura berkelahi tadi?" tanganku sudah gatal ingin menarik telinga mereka.
Zidan dan Alif saling pandang lalu mereka berlari menuju angkot yang parkir di depan gerbang.
🍒D'Patner🍒
Hari ini aku telat datang ke Butik. Alif yang menginap di rumahku membuat Zidan mempunyai teman untuk mengusliku. Pagi tadi aku harus membuat sarapan dengan buru-buru, adikku yang baru pulang dari acara pramuka persaminya sakit. Badannya panas dan muntah-muntah.
Aku adalah anak tertua di keluargaku dan perempuan kedua setelah ibuku. Ketiga adikku semuanya laki-laki, Azam dan Azmi mereka kembar kelas sebelas dan si bungsu Zidan kelas delapan. Di saat ayah dan ibu keluar kota, aku lah yang mengurus semuanya. Ketiga laki-laki itu hanya bisa membuat rumah seperti kapal pecah.
"Assalamualaikum, maaf telat." aku segera meletakan tas dan mengambil tempat duduk.
"Nggak apa-apa Mbak, tumben telat?" Nia, asistenku memberikan teh hangat.
"Azam sakit, Azmi ikut sakit juga, Zidan bikin rusuh." kataku dengan napas tesengal. Ya, aku berlari dari parkiran ke sini karena gerimis.
"Ibu sama bapak belum pulang?"
"Nenek katanya makin parah, mungkin akhir pekan kita menyusul ke sana."
Setelah tubuhku terasa hangat karena meminum teh, Nia mulai memberikan beberapa permintaan dari klien yang memesan bajunya padaku. Klienku kali ini memang sedikit rewel dan sedikit plin plan dengan pilihannya sebelumnya. Beberapa kali aku harus merubah lagi rancangan gaunku karena klienku itu tidak menyukainya. Padahal dia sendiri yang memintanya seperti itu.
Aku bekerja sebagai desainer, sudah banyak pelanggan yang merasa puas dengan hasil rancanganku. Allah maha baik memberiku kealihan ini, memberiku keluarga yang selalu ada untukku dan kesehatan yang menjaga diriku. Di usiaku yang menginjak 28 tahun, aku memang masih menyendiri. Bahkan aku belum pernah mengenal yang namanya pacaran. Nasihat dari ayah yang menyuruh semua anaknya menjauhi zina membuatku membentengi diri dari interaksi bersama kaum adam. Aku tidak menampik ketika rasa ingin itu datang saat melihat sudara atau teman-temanku memiliki pasangan sampai menikah dan sekarang memiliki momongan.
Aku juga ingin seperti mereka, kemana-mana berdua dengan orang yang dicintai. Tentunya aku ingin seperti mereka dengan keadaan yang halal dengan laki-laki yang menjagaku bukan malah yang merusak ku. Aku tidak ingin posisi Penciptaku tergeser hanya karena rasa nyaman yang sekedar singgah dan membuatku menduakan-Nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top