Secuil Cahaya

Happy Reading!

************************************

Altair telah sampai di depan halaman panti asuhan yang dia datangi kemarin. Kemudian, dia mematikan mesin mobil merah milik Rigel, dan segera menurunkan kedua kakinya menapaki tanah untuk meninggalkan mobil merah itu. Altair menghembuskan napasnya sebelum memasuki bangunan yang ada di depannya. Tiba-tiba jantungnya berdetak tak karuan ketika mengingat wajah seorang gadis bernama Biru. Altair tersenyum simpul, lalu dia memutuskan untuk segera memasuki bangunan itu.

Tangan Altair terulur untuk mengetuk sebuah pintu berwarna coklat yang ada di depannya. "Assalamualaikum!" ucap Altair sampai tiga kali masih tidak ada sahutan dari dalam bangunan panti itu. "Pada ke mana," gumam Altair lebih untuk dirinya sendiri.

Dari arah kanan halaman bangunan itu, ada seorang anak Laki-Laki kira-kira berumur enam tahun berlari tergesa-gesa menghampiri posisi Altair sekarang. Altair yang menyadari itu mengrenyit, dia seperti mengenali anak itu. "Niko," tebak Altair.

"Om, huft, Om, hah, kamu, Om-Om yang, yang, kemaren kan?" tanya anak kecil yang bernama Niko itu sambil berusaha mencari udara untuk bernapas.

Altair cekikikan melihat ekspresi Niko yang sangat lucu. "Iya, kamu Niko kan?" tanya Altair sambil menunduk dengan kedua tangannya di letakan di lutut.

"Iya, kok Om tauk nama aku?" tanya Niko sambil mengrenyit lucu. "Ah lama, Om ngapain ke sini?"

"Mmm, kasih tau gak yaaaa," jawab Altair menggoda. Dia sangat suka dengan anak kecil.

"Kalok Om mau cari Bunda Fatma, Bunda Fatma pergi tadi, sama Mamas Maxime," ujar Niko lalu duduk bersilah di lantai teras. Niko sedih ketika dia mengingat kondisi Biru.

"Pergi, ke mana? Kok Niko sedih, kenapa?" tanya Altair bertubi-tubi, dia mulai khawatir melihat ekspresi Niko yang sedih.

"Ke rumah sakit," jawab Niko sambil memainkan jari telunjuknya di lantai.

"Ha? Siapa yang sakit?"

"Kak Biru."

Mendengar penuturan Niko, membuat Altair kalang kabut. Dia segera berlari ke arah mobilnya. Namun, langkahnya terhenti ketika Niko berteriak marah kepadanya.

"KALOK OM MAU KE SANA, NIKO MAU IKUT, NIKO JUGA TEMENNYA KAK BIRU!"

Tanpa basa-basi Altair segera menggendong Niko dan memasukkannya ke mobil. Altair tidak bisa banyak bicara, dia benar-benar khawatir. Biru yang ada di rumah sakit. Gadis manis yang terlihat sangat kacau itu, ada apa dengannya? Apa yang terjadi dengannya? Apakah itu ada kaitannya dengan mata Biru yang tampak kosong itu?

Setelah Altair dan Niko hampir mengelilingi seluruh daerah Jakarta Pusat untuk mencari di mana Biru dirawat, karena Niko tidak mengetahui di rumah sakit mana Fatma dan Maxime membawa Biru. Terpaksa, Altair harus mendatangi semua rumah sakit yang ada di kota ini. Tidak, tidak terpaksa Altair melakukannya, melainkan sangat ikhlas. Itu semua karena seorang gadis dengan mata yang berwarna hitam berkilaunya.

Rumah sakit yang didatangi Altair terakhir adalah rumah sakit tempatnya bekerja. Ketika Altair telah menampakkan kembali kakinya di lantai dingin milik rumah sakit tempatnya bekerja itu, segera Altair menghampiri tempat administrasi untuk menanyakan apakah Biru salah satu pasien dari rumah sakit ini.

Jawaban yang Altair dapat adalah ada, dengan langkah cepat sambil tetap menggandeng Niko yang susah payah mengikuti langkah kaki Altair, mereka menghampiri ruangan yang ditunjukkan oleh perawat tadi. Perasaan khawatir dan penasaran campur aduk di dalam hati dan fikiran Altair sekarang, namun dirinya masih bisa mengontrol untuk tetap berekspresi tenang.

Altair mengrenyit ketika dia melihat dua orang yang sedang duduk di bangku rumah sakit sambil menunduk. Altair mengenal perawakan tubuh salah satu dari mereka. Seorang wanita yang memakai kerudung berwarna coklat dan memiliki tubuh yang berisi, siapa lagi kalau bukan Fatma. Lalu di samping Fatma ada anak remaja laki-laki sedang berusaha menenangkan Fatma yang menangis. Mungkin itu yang dimaksud Niko, Maxime.

Altair yang tidak sabar dengan langkah kaki Niko segera menggendongnya dan berjalan mendekati Fatma dan Maxime. "Assalamualaikum Bunda Fatma," sapa Altair dan Niko bersama ketika mereka sudah berdiri tepat di hadapan Fatma dan Maxime.

Fatma mendongak mencari sosok yang mengucapkan salam untuknya sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Nak Altair." Fatma segera berdiri lalu mengambil alih Niko yang berada di gendongan Altair. "Waalaikumsalam." jawab Fatma dan Maxime bersama.

Maxime yang tidak mengenal Altair pun tanpa basa-basi segera mengulurkan tangan untuk menyalami Altair yang memang terlihat lebih tua darinya. Hal itu sudah menjadi kewajiban anak-anak  Panti Asuhan Kasih Ibu untuk bersikap sopan dan menghormati orang yang lebih tua dari kita.

Altair menyambut uluran tangan Maxime sambil tersenyum manis meskipun di dalam dadanya perasaan khawatir sedang bergemuruh. "Apa yang terjadi dengan Biru Bunda?" tanya Altair tanpa basa-basi tetapi masih menggunakan nada tenang.

"Iya Bun, Kak Biru gak papa kan? Kak Biru baik-baik aja kan, Kak Biru masih idup kan?" tanya Niko mendahului Fatma yang ingin menjawab pertanyaan Altair.

Fatma berusaha tersenyum menanggapi pertanyaan anak asuhnya ini, untuk membuat Niko tenang dahulu. Bahkan, Fatma pun belum mendapat informasi dari dokter yang menangani Biru. Sampai sekarang dokter itu belum keluar dari ruangan Biru. "Biru melakukan percobaan bunuh diri Nak," ungkap Fatma sambil memandang jauh ke ruangan Biru.

"Astaghfirullah," ujar Altair kaget. Dia benar-benar tidak menyangka mendengar kabar ini. Seorang gadis melakukan percobaan bunuh diri, masalah dan beban berat apa yang sedang ditanggungnya sampai memilih jalan yang salah. "Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Altair pelan dan lembut.

Fatma menghembuskan napasnya. "Sejak tadi dokternya belum keluar Nak," jawab Fatma penuh kekhawatiran.

Altair mengangguk mengerti, dia jadi sangat ragu untuk bertanya lebih. Akhirnya Altair memutuskan untuk diam, dia akan bertanya pada saat waktunya sudah tepat nanti. Tiba-tiba Altair melangkahkan kakinya mendekati pintu ruangan Biru, dia mulai menyentuh papan pintu itu. Altair kembali merasakan hal yang sama seperti yang terjadi kemarin. Sengatan listrik kecil yang membuat hatinya bergetar.

Suara pintu terbuka menandakan dokter telah selesai menangani Biru. Fatma, Maxime, dan Niko segera berdiri menghampiri sang dokter. Sedangkan, Altair yang berada di depan pintu itu refleks memundurkan posisinya.

"Bagaimana Dok?" tanya Fatma tidak sabar.

"Keadaan Nona Biru baik-baik saja, untung saja langsung mendapat pertolongan pertama Buk, dan luka goresan itu tidak terlalu dalam. Hanya saja---" ucapan sang dokter terpotong karena rasa penasaran Altair. "Hanya saja apa Dok?" tanya Altair.

"Owh, Pak Altair mengenal pasien itu? Hanya saja saya merasa Nona Biru mengalami gangguan kejiwaan, karena tadi keterangan yang diberikan Ibuk ini, bahwa luka itu sengaja dilakukan sendiri oleh Nona Biru," terang sang dokter.

Altair tertohok dan tertegun, gangguan kejiwaan seperti apa yang dialami Biru. Masalah seperti apa yang bisa membuatnya seperti itu. Altair benar-benar merasa khawatir dan kasihan. Dan setelah mendengar hal itu Altair bertekad untuk mengenal dan berusaha membantu Biru untuk menjadi manusia normal. Lelaki itu berjanji.

"Mm, boleh saya menyarankan sesuatu Ibu Fatma?" tanya dokter itu kepada Fatma masih dengan senyum ramahnya.

"Owh tentu Dok, bagaimana?"

"Karena gangguan kejiwaan itu, saya menyarankan untuk membawa Nona Biru ke psikolog, sebelum terlambat Buk. Dan sangat kebetulan Pak Altair adalah seorang psikolog dari rumah sakit ini serta Pak Altair mengenal Nona Biru. Saya sarankan untuk menggunakan jasa Pak Altair untuk menangani gangguan kejiwaan Nona Biru," terang sang dokter lembut.

"Jadi anak saya gi---"

Segera Altair memotong ucapan Fatma yang terdengar mengerikan itu. "Enggak Bunda, Biru enggak gila, dia hanya sedikit terganggu. Dan membutuhkan teman yang mengerti dia."

Fatma menarik ingus yang keluar bersamaan dengan air mata yang terus mengalir. Rasanya seperti di sambar petir ketika ada orang yang mengatakan bahwa seorang anak yang telah dianggapnya sebagai anak kandung itu dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Sebelumnya Fatma tidak pernah mau mendengar atau mempercayai ini, ketika banyak orang yang mengatakan bahwa Biru gila, dia sangat menepis pernyataan itu. Dan sekarang seorang dokter yang mengatakan itu, bagaimana bisa Fatma sebagai wanita biasa menyangkalnya. "Apa Nak Altair mau membantu Bunda?" tanya Fatma kepada Altair yang sedang merangkul pundaknya.

"Tentu Bunda, Altair akan membantu, itu pasti," jawab Altair yakin.

"Makasih Nak, makasih banyak."

Sang dokter yang sejak tadi melihat interaksi antara Altair dan Fatma tersenyum simpul, lalu dia memutuskan untuk pergi dari tempat itu dengan tujuan menangani pasien yang lain.

Altair, Fatma, Maxime dan Niko memasuki ruangan Biru. Mereka melihat keadaan Biru yang terbaring lemah di atas benda panjang yang hanya pas untuk ditempati satu orang. Mata Biru sedang terpejam dan bibir Biru terlihat sangat pucat. Bagaikan mayat hidup.

Fatma berjalan lebih dulu mendekati Biru, wanita itu berusaha mati-matian menahan tangisnya. Dia tidak ingin membuat Biru terbangun dari tidur tenangnya hanya karena suara yang berasal dari tangisannya. Fatma mengelus puncak kepala Biru lalu menunduk untuk mencium dahi Biru sangat lama, seolah-olah Fatma ingin menunjukkan pada Biru bahwa dirinya tidak sendirian, Fatma akan selalu menemaninya dan akan terus menemaninya.

Kruk... Kruk... Kruk....

Terdengar sebuah suara seperti berasal dari dalam perut seseorang. Altair, Fatma, dan Maxime bersamaan menoleh ke arah Niko yang sedang berdiri di sebelah Fatma sambil memegangi perutnya. Ketika semua orang menoleh padanya, Niko menyengir. Sebenarnya Niko sudah merasa lapar sejak tadi, berusaha Niko menahannya. Namun, perutnya tidak bisa diajak kerja sama sama sekali. Setelah menyengir lebar, anak kecil itu lalu menghembuskan napasnya. "Maaf," ucap Niko sambil menunduk.

"Bunda, kayaknya Niko harus pulang sekarang, dia sepertinya lapar. Maxime boleh izin untuk pulang sebentar bersama Niko, nanti Maxime bawakan baju ganti dan makanan," ujar Maxime sopan sambil berjalan mendekati Niko yang masih menunduk merasa bersalah.

"Ya udah, Niko pulang dulu ya bersama Mamas Maxime," ucap Fatma lalu dia mengambil dagu Niko berniat membuat anak itu menatapnya. "Niko enggak salah kok Nak."

"Tapi Niko mau nemenin Kak Biru, Niko sayang sama Kak Biru," jawab Niko sambil melirik Biru yang terbaring lemah.

Fatma tersenyum. Fatma sangat mengenal anak asuhnya ini. Niko anak kecil yang memiliki sifat dewasa dan penyayang. "Iya Bunda tauk Nak, tapi Niko harus mandi, sholat Ashar dulu, dan yang pasti makan dulu. Bunda tauk Niko dari tadi siang belom makan kan?"

Niko hanya bisa mengangguk, dia tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk membantahnya. "Tapi Bunda juga belom makan tadi, Mamas Maxime juga belom makan, Bunda kenapa juga gak ikut pulang?" tanya Niko lugu.

"Bunda nanti pulangnya bareng Kak Biru, lagian kan nanti Mamas Maxime ke sini lagi, bawain Bunda makanan Nak," jawab Fatma lembut. Pernyataan Fatma itu hanya diangguki oleh Niko.

Altair yang melihat interaksi mereka ingin memberikan saran dengan berkata, "Bunda Fatma bagaimana jika saya saja yang menemani Biru, Bunda pulang bersama Niko dan---" ucapan Altair terpotong karena dia lupa dengan nama anak remaja yang berdiri di samping Niko itu.

"Nama saya Maxime, Om," ungkap Maxime dengan tersenyum sopan.

"Oh iya, maaf, bersama Maxime Bunda," ucap Altair sambil tersenyum kikuk.

"Iya Bunda, bener kata Om-Om ini Bunda, mendingan Bunda juga ikut pulang, anak-anak yang lain pasti juga kangen Bunda, kita jenguk Kak Biru nanti malem lagi, ya, ya?" sahut Niko berusaha membujuk Fatma.

"Altair namanya Niko, panggil Om Altair ya?" ucap Fatma membenarkan.

"Mmm susah namanya, enakan manggil Om-Om ini, gitu ajalah, gak papa kan Om?" tanya Niko mencari dukungan suara.

"Gak papa Niko," jawab Altair gemas.

"Tuh kan, ayok Bunda, kita pulang dulu. Aku gak mau liat Bunda sakit, cukup Kak Biru aja yang sakit," bujuk Niko sambil menarik-narik tangan Fatma.

"Tapi Nak Altair gak ngrepotin?" tanya Fatma masih ragu. Fatma tahu kalau Altair itu juga memiliki kesibukan sendiri.

"Enggak sama sekali Bunda."

"Baiklah."

"Yee!"

Akhirnya Fatma, Maxime, dan Niko memutuskan untuk pulang ke panti dulu. Meninggalkan Biru sementara bersama Altair Firdaus Abdulrahman seorang psikolog yang terkenal karena kebijaksanaannya.

Sekarang, Altair hanya berdua dengan Biru, gadis bermata hitam berkilau. Altair melirik Biru yang masih memejamkan matanya. Begitu banyak pertanyaan di benak Altair pada gadis ini serta begitu banyak rasa peduli yang telah Altair siapkan untuk gadis ini. Altair benar-benar sudah bertekad untuk membantu Biru menyelesaikan masalah psikisnya. Walaupun Altair hanya seorang psikolog muda yang baru berpengalaman menangani satu pasien, Altair tidak akan mundur dan dia akan mencoba. Biru sekarang adalah pasiennya.

Altair melangkahkan kakinya mendekati tempat Biru terbaring lalu menarik kursi yang ada di dekatnya untuk duduk. Dengan gerakan sangat pelan Altair mengulurkan tangannya untuk menyentuh permukaan kulit tangan Biru.

Dingin.

Itu kesan pertama ketika Altair telah menyentuh kulit Biru, lalu dia memberanikan diri memegang tangan gadis itu berniat memberikan kehangatan. Tetapi, tiba-tiba dengan gerakan cepat Biru terbangun dalam posisi duduk membuat Altair terlonjak kaget. Melihat Biru yang masih diam dalam duduknya membuat Altair kembali menetralkan degub jantungnya. "Biru," panggil Altair sangat lembut.

Biru mendengar, Biru menoleh ke arahnya memandang Altair dengan tatapan kosong lalu kembali terbaring.

"Biru, Biru sudah bangun, minum air dulu yuk," ucap Altair sambil mengambil segelas air minum yang berada di atas meja.

Biru mengangguk lalu dia kembali duduk lagi dan menerima gelas yang disodorkan Altair padanya. Lalu meminumnya sekali teguk.

"Haus," ucap Altair sambil mengambil gelas yang telah bersih.

Lagi-lagi Biru hanya mengangguk, lalu Biru mengarahkan pandangannya menyapu ruangan ini dan berhenti tepat di kedua bola mata abu-abu terang milik Altair. Seketika, perasaan Biru menghangat. Tenang dan nyaman itulah kesan pertama Biru ketika melihat kedua bola mata milik Altair. Seperti ada sedikit kilatan cahaya yang memancar dari kedua bola mata itu. Sedikit menerangi gelapnya kehidupan Biru, walaupun hanya sedikit.

************************************

Votement

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top