Hamparan Pasir

Happy Reading!!

************************************

Berhari-hari Biru berada di rumah sakit membuat Fatma semakin khawatir dan kalut, hal itu dikarenakan biaya rumah sakit ini sangat mahal dan Fatma tidak memiliki uang sebanyak itu jika Biru terus dirawat di rumah sakit ini. Fatma bertekad akan membawa Biru pulang hari ini juga, walaupun keadaan Biru yang tidak baik-baik saja. Biru masih histeris jika terbangung, tidak ada psikolog dan psikiater yang bisa mengajak Biru bicara termasuk Altair yang menurut Fatma bisa membantu dan mengurangi bebannya. Hanya obat penenang yang bisa menenangkan Biru, dan jika obat penenang di konsumsi secara berlebihan tidak baik untuk kesehatan Biru. Fatma merasa tidak tega melihatnya.

Selain biaya rawat rumah sakit yang mahal, Fatma tidak mampu membayar seorang psikolog ataupun psikiater untuk merawat Biru seperti saran dari dokter-dokter rumah sakit ini. Yang lebih parah lagi, ada yang menyarankan untuk memasukkan Biru ke rumah sakit jiwa. Tidak, Fatma tidak bisa melakukan itu. Fatma yakin Biru akan sembuh di rumahnya dan dirawat dengannya.

Setelah berbicara dengan dokter dan membayar biaya administrasi, Fatma segera membawa pulang Biru menggunakan mobil ambulan rumah sakit ini.

Sekarang, terbaringlah Biru di atas kasur yang berada di dalam kamar Fatma. Karena kamar Biru sedang diperbaiki jendelanya jadi untuk sementara waktu Biru tidur di kamar Fatma.

Maxime berjalan mendekati pintu kamar Fatma, di tangan kanannya ada cangkir berisi teh hangat. Maxime berniat membawakannya untuk Biru karena tadi kata Fatma Biru sudah bangun dan hanya diam tanpa mengatakan apapun. Maxime senang Biru bisa terbangun tanpa histeris lagi, dalam batin Maxime dia membenarkan apa yang diucapkan Fatma bahwa Biru akan sembuh jika berada di rumah panti ini.

Tok.... Tok.... Tok....

"Assalamualaikum," salam Maxime sambil mengetuk pintu, tidak ada sahutan dari dalam. Maxime menghela napas sebelum dia membuka pintu kamar itu. Dari sini Maxime bisa melihat Biru terbaring di atas kasur dengan mata terbuka memandang langit-langit kamar sambil memainkan selimut yang menutup tubuhnya. "Ya Allah sebenarnya apa yang terjadi dengan Biru," batin Maxime sambil melangkahkan kaki mendekati Biru.

Maxime menaruh gelas di atas nakas. Lalu dia menarik kursi kayu dan duduk di sebelah tempat tidur Biru. Maxime tersenyum lalu menyodorkan wajahnya mendekati telinga Biru dan berbisik, "Assalamualaikum Biru."

Biru menoleh dan tepat menatap manik mata milik Maxime. Posisi mereka sekarang sangat dekat dan membuat jantung Maxime berdebar dan nyaman secara bersamaan, ketika dia menatap mata hitam berkilau milik Biru. Beberapa saat kemudian, Biru menarik kedua ujung bibirnya untuk tersenyum simpul dan berkata, "Waalaikumsalam Maxime."

Hal itu membuat Maxime terkejut, Maxime tanpa sadar membulatkan kedua matanya.

"Ada apa?" tanya Biru sambil mencari posisi nyaman untuk duduk dan bersandar.

"Kamu mengenalku?" tanya Maxime masih tetap membulatkan kedua matanya, ada rasa senang dan terharu di sana. Setelah sekian lama Biru akhirnya mengenalnya, tidak sia-sia perjuangan Maxime selama dua tahun ini memperkenalkan diri ke Biru.

Biru tersenyum, sangat manis menurut Maxime. "Tentu, kamu temanku. Kita seumurankan."

Maxime menarik Bibirnya hingga memperlihatkan gigi putih susunya. "Iya, memang kita seumuran," ujar Maxime antusias. Maxime yang salah tingkah dengan berbagai cara dia berusaha untuk mengalihkan perhatian Biru agar tidak menyadarinya. Maxime tiba-tiba berdiri dan menggaruk tengkuknya.

"Kamu kenapa?" tanya Biru sambil mengernyit, memang Biru mengenal Maxime. Karena beberapa saat lalu Fatma memanggil Maxime untuk menemani Biru, dan tadi Biru hanya menebak saja. Kebetulan tebakannya benar, tetapi Biru merasa bingung kenapa Maxime menjadi salah tingkah seperti ini.

"Ah ya, aku tadi membawakanmu teh hangat," ucap Maxime sambil mengambil gelas yang dia taruh di atas nakas. Lalu dia menyodorkannya untuk Biru. "Minumlah, untuk menghangatkan tubuhmu."

Biru meraih gelas itu sambil tersenyum dan berkata, "Makasih."

Maxime benar-benar bahagia hari ini. Karena Biru terus saja menunjukkan senyum manis padanya. Itu berarti keadaan Biru telah membaik.

Sementara di tempat lain, Hadar keluar dari mobil berwarna Biru miliknya, dan dia berjalan menuju bangunan yang disebut rumah sakit yang sekarang telah berada di hadapannya. Alasan Hadar bisa berada di sini, karena saudaranya Altair meminta bantuan kepadanya untuk membawakan makan siang pada salah satu pasien yang ada di rumah sakit ini. Tanpa banyak bertanya dan tanpa ingin tahu lebih detail, Hadar menyanggupinya. Lagipula, jalan menuju rumah sakit ini searah dengan jalan menuju perusahaan milik keluarganya.

Hadar hanya mengenakan pakaian santai yaitu kaos berwarna putih dan celana dasar berwarna Biru pudar. Sambil berjalan melewati lorong rumah sakit, tangan Hadar merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel yang bertujuan memastikan nama pasien itu.

Langkah Hadar berhenti tepat di depan administrasi, segera dia bertanya pada petugas yang menjaga ruang administrasi itu. "Permisi, apakah di rumah sakit ini ada pasien yang bernama Biru Elang Angkasa?"

Ekspresi petugas yang berjenis kelamin wanita itu masih tercengang dengan ketampanan Hadar. Petugas itu sepertinya tidak mendengar apa yang dikatakan Hadar. Sampai membuat Hadar mengulangi pertanyaannya. "Apakah ada pasien yang bernama Biru Elang Angkasa?"

Petugas itu mengerjap lalu dia menunduk malu.

"Mm Nona?"

Petugas itu mendongak. "Ah iya, se, sebentar saya lihat dulu," ucap petugas itu lalu dia bergegas mencari nama yang disampaikan Hadar tadi di daftar pasien.

Hadar hanya bisa menghela napas. Dia sudah merasa terbiasa dengan ekspresi para wanita jika bertemu dengannya. Tetapi, Hadar memilih tidak mempedulikan itu semua. Hadar tidak ingin menyakiti hati wanita walaupun tanpa disengaja.

"Maaf Tuan, pasien yang bernama Biru baru saja dipulangkan tadi," ujar petugas itu membuat Hadar mengalihkan perhatian padanya lalu mengernyit.

"Mm, permisi," ucap Hadar sambil berbalik dan berjalan menjauhi tempat itu. Membuat petugas wanita itu mengerucutkan bibir sambil membatin, "Dingin amat."

Tiba-tiba langkah Hadar berhenti, dia mengangkat tangannya yang sedang membawa tempat makan. Lalu dia berpikir sejenak, akan diapakan makanan ini. Hadar memutuskan untuk berbalik kembali ke tempat administrasi dan berhenti tepat di hadapan petugas wanita yang terkejut melihatnya kembali. "Untukmu," ucap Hadar tanpa basa-basi sambil menarik tangan kanan petugas itu dan menaruh tempat makan tepat di atas telapak tangan petugas wanita itu lalu melenggang pergi.

Perlakuan Hadar membuat petugas itu memekik tertahan, sebelum akhirnya terlepas ketika Hadar sudah tidak terlihat dari pandangannya. "Aaaa, cowok ganteng ngasih gua makanan! Walaupun hari ini Pak Altair gak dateng, tapi ada gantinya walaupun sebentar! Dikasih makanan pula!" teriakan petugas itu membuat orang-orang yang berada di sekitarnya memandangnya aneh. Tiba-tiba satpam rumah sakit menghampirinya lalu berucap, " Mbak, ini rumah sakit, jangan teriak-teriak."

Seketika petugas itu terdiam sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Hadar memasuki mobilnya lalu mengotak-atik ponsel berniat mengirim pesan kepada Altair untuk memberitahu Altair bahwa pasien yang dia maksud sudah dipulangkan. Setelah itu Hadar melanjutkan perjalanannya menuju kantor.

Lain halnya dengan Biru, gadis manis bermata hitam itu sedang duduk di sebuah kursi kayu yang berada di halaman belakang rumah panti ini. Gadis itu menarik kedua kakinya menjauhi tanah lalu memeluknya. Lagi-lagi Biru sedang melamun, tadinya dia ditemani Niko si anak kecil lucu yang baik hati. Namun sekarang dia sendirian, karena Niko sedang menghadiri kelas mengaji di panti ini.

Biru kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu ketika dia keluar dari kamar karena Niko mengajaknya bermain. Sepanjang perjalanan, semua anak-anak panti yang berpapasan dengannya selalu menyapa Biru dengan ramah, sementara Biru tidak mengenal mereka. Biru merasa bersalah, karena selama dia tinggal di panti ini hanya Fatma dan Niko yang dia kenal selebihnya tidak ada. Termasuk Maxime tadi, jika tadi Fatma tidak menyebut nama Maxime di depannya mungkin Biru sampai sekarang pun tidak mengenal Maxime.

"Selama dua tahun ini kamu tinggal di sini, dan selama dua tahun juga aku berusaha memperkenalkan diri padamu. Tapi baru kali ini kamu menyebut namaku Biru," ucap Maxime dengan mata yang berbinar seolah ikut memberitahu Biru bahwa Maxime sangat bahagia.

Pernyataan Maxime selalu terngiang-ngiang di kepala Biru. Hal itu membuat Biru sedih dan terkejut. Dirinya tidak menyadari bahwa sudah selama itu dia tinggal di panti ini. Jika membicarakan panti ini, terlintas bayangan Fatma. Biru tertegun, wanita itu sangat baik dan sabar padanya, Biru benar-benar berhutang budi pada Fatma. Biru berjanji akan berusaha membalas jasa-jasa Fatma padanya walaupun itu semua tidak akan pernah sebanding dengan kebaikan yang Fatma berikan padanya.

"Aku ingin sekali mengenal mereka dan berteman akrab dengan mereka semua," ucap Biru pada dirinya sendiri.

"Seharusnya aku enggak jadi Biru, biar bisa akrab sama mereka," ucap Biru spontan sambil menunduk memandang kedua kakinya yang telanjang.

Masih di basecamp The fivepoint. Altair yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti rapat hari ini dengan mempelajari bahan-bahannya tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara dari ponselnya yang menandakan ada pesan masuk. Segera tangan Altair terulur untuk meraih benda kecil itu. "Hadar," gumam Altair.

Pasien yang kamu maksud udah dipulangkan

Begitulah isi pesan yang dikirimkan Hadar padanya dan sangat sukses membuat Altair khawatir. Kenapa Biru dipulangkan, padahal Biru belum membaik kondisinya.

Rigel yang duduk di kursi kayu sambil memegang sebuah gitar memperhatikan ekspresi Altair yang terlihat tidak tenang, karena baru kali ini dia melihat Altair seperti itu. "Ngapa muka lo Al?" tanya Rigel sambil menggerakkan dagunya menunjuk Altair. Hal itu membuat Sirius dan Canopus juga ikut memperhatikan Altair.

Altair terkejut lalu menghela napas dan tersenyum. "Tidak papa."

"Psikolog memang pembohong besar," sahut Canopus sinis sambil membenarkan dasinya. Sebenarnya tujuan Canopus adalah untuk membuat saudaranya bercerita, dia tahu Altair sedang ada masalah. Namun Canopus tidak memiliki kata yang baik untuk diucapkan.

Altair hanya tersenyum menanggapi ucapan Canopus lalu melihat Rigel yang berekspresi marah dengan memandang Canopus, dia tahu saudaranya itu akan membelanya. "Sudahlah Rigel," ucapnya untuk membuat Rigel meredakan amarah yang akan meluap. Sontak hal itu membuat Rigel mengalihkan perhatiannya lalu terlihat Rigel menghembuskan napasnya.

Ketika Sirius akan mengambil jas yang berwarna kuning di lemari pakaian di basecamp ini. Aktivitasnya terhenti karena ucapan Canopus. "Pakailah jas yang bagus, jangan berwarna kuning menjijikkan."

Sirius hanya menghela napas lalu dia berbalik menghadap Canopus. "Ada apa dengan dirimu, kau sedang pms Pak Canopus?" ucap Sirius sambil berkacak pinggang. "Suka-suka saya mau pakek jas warna apa, lagipula kau harus menjaga ucapanmu itu, aku kan abang," lanjut Sirius dengan menggunakan nada yang berbeda di tiga kata terakhir. Seperti nada bicara yang diucapkan upin pada ipin.

"Hmm." Hanya itu yang digunakan Canopus jika dia sedang malas membalas ucapan Sirius. Hal itu sontak membuat Sirius tertawa penuh kemenangan.

"Ya udah, satu menit lagi rapatnya dimulai, ayo," ajak Sirius yang telah mengenakan jasnya dan berjalan lebih dulu keluar ruangan ini diikuti Canopus dan Altair.

Rigel yang sedang memetik sinar gitar yang berada di tangannya harus terhenti dengan teriakan dari Sirius. "Jangan membuat kegaduhan anak malang!" Rigel membulatkan kedua matanya mendengar itu lalu dia menaruh gitar di tempatnya semula dan memilih menghidupkan televisi dengan suara rendah. Sampai dia tertidur. Karena setiap ada waktu senggang, digunakan Rigel untuk tidur di basecamp. Karena menurut anak-anak The fivepoint basecamp adalah tempat ternyaman mereka semua.

************************************

Votement

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top