Tentang D.I.A
Assalaamu'alaikum.
Selamat hari Rabu buat teman-teman semua.
Kenapa tiba-tiba ada part baru di lapak lama ini? Saya cuma mau mengabarkan kalau naskah D.I.A dari part 11 s.d selesai sudah dihapus karena ada keperluan penerbitan.
Yup, InsyaAllah Andra dan Rara akan berubah wujud menjadi buku dan muncul di Gramedia sama seperti Bila dan Calon Imam.
Kapan terbitnya? Harga? Dll? Nanti, sekarang masih dalam proses. Mudah-mudahan paling lama di awal tahun sudah ada. Jika sudah ada kepastian akan saya infokan lagi.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk singgah di lapak ini. Tanpa kalian, mungkin cerita ini tidak akan pernah selesai. Mohon doanya juga semoga semua dilancarkan prosesnya.
Pssstt, jangan lupa nabung buat bawa mereka pulang nanti, ya *tetepujungujungnyapromo
Dan, ini ada sedikit bonus dari mereka, selamat membaca.
Sankyu – Wassalaamu'alaikum
Alyaaa
**
Andra membuka pintu rumah dengan heran. Biasanya dia akan disambut dengan ocehan Si Kembar, tetapi sekarang hanya dengan jawaban salam dari Rara.
"Ah, mungkin lagi tidur," pikirnya.
"Aku mandi dulu, ya, Ma!" ujarnya kepada Rara yang sedang duduk bersila.
"Hum," jawab Rara singkat tanpa mengalihkan pandangan. Dia terlalu sibuk dengan apa yang sekarang sedang dikerjakan.
Selesai membersihkan diri, Andra menuju kamar Si Kembar. Rasanya tidak seperti pulang ke rumah kalau belum melihat mereka berdua. Dahinya mengernyit heran ketika keduanya tidak ada di sana. Dia langsung bergegas untuk menemui Rara.
"Ma!"
"Hum," jawab Rara masih tanpa menoleh.
"Ra."
Andra kembali mengulang panggilannya. Dia tidak suka kalau mereka berbicara tanpa terfokus.
"Kenapa, Abang?" tanya Rara penasaran, kali ini dia sudah mau menoleh kepada Andra.
"Bocil sekarang lagi dipinjam siapa? Bang Rio apa Bu Hani? Kalau di Bu Hani mau aku ambil, kalau di tempat Bang Rio mesti rebutan dulu sama Rey, jadi kamu aja yang ambil," ujar Andra panjang. Bu Hani adalah tetangga mereka yang sudah paruh baya. Beliau sangat senang dengan kegaduhan yang dibuat Si Kembar sehingga rumahnya menjadi ramai. Bu Hani yang hanya tinggal sendiri jadi sering membawa keduanya pulang.
Rara menggelengkan kepala geli. Dua bocil kembar itu sudah seperti mainan bagi papanya. Bisa dipinjam dan diambil seenaknya.
"Sama Abang. Tadi Kak Vira sama Rey ke sini, eh di telepon Bang Rio sama Rey malah rebutan mau bawa Ziya apa Uzan. Rey maunya bawa Uzan terus Bang Rio mau Ziya. Akhirnya Kak Vira mutusin bawa dua-duanya."
"Kok kamu kasih? Masa kita nggak ditinggalin satu?" protes Andra tidak terima.
"Kebetulan aku lagi sibuk, jadi ya dikasih aja. Hitung-hitung ada yang bantuin jaga."
Andra yang mendengar jawaban Rara kali ini memerhatikan hal yang membuat Rara terlihat begitu sibuk sampai mengabaikannya. Istrinya terlihat sibuk dengan benang rajut warna-warni. Ah, sejak beberapa hari ini benang memang sudah mulai mengalihkan perhatian Rara darinya.
"Kamu bikin apa, sih? Kok dari minggu kemarin sibuk terus? Beli aja udah, aku kasih duit asal kamu ambil bocil sekarang."
"Enak aja! Ini itu aku lagi merajut penuh cinta. Eh, aku udah cerita belum sih sama Abang soal novel?"
"Novel?" tanya Andra tidak mengerti.
Rara mengangguk, sementara Andra menggeleng sebagai jawaban.
"Jadi, kabar gembiranya novel kita bakalan segera terbit, Bang! Nanti bakalan mejeng di toko buku. Nah terus aku lagi bikin rajutan buat pembaca yang mau beli novel kita. Begitu! Ni contohnya, unyu, kan?" tanya Rara sambil menunjukkan dompet mini hasil rajutannya.
Andra memandang syok kepada Rara. Dia baru mendengar kabar baru ini. Dulu, Rara memang sempat merengek agar cerita mereka bisa diabadikan dalam bentuk novel seperti Nada dan Ave, maupun Bila dan Daffa. Namun, dia tidak menyangka kalau Rara akan benar-benar mewujudkannya. Bayangan akan dicaci maki pembaca muncul di pikirannya. Cukup sudah dia diceramahi oleh Nada dan keluarganya, dia tidak ingin mendapatkannya lagi.
"Ra, kok kamu nggak pernah cerita sebelumnya? Sekarang sudah sampai mana prosesnya? Bisa di-cancel kan? Aku nggak mau cerita kita jadi konsumsi publik," jawab Andra sedikit cemas, dia berharap kalau proses ini benar-benar bisa dibatalkan.
Lain Andra, lain pula dengan Rara. Sekarang dia justru tertawa bahagia mendengar pertanyaan dari Andra.
"Sayangnya nggak bisa, Abang. Persiapannya udah 99%," jawab Rara senang.
"Kenapa kamu nggak minta ijin dulu?" tanya Andra dengan tidak senang. Dia memang memberikan kebebasan kepada Rara untuk melakukan hal yang dia suka, tetapi harus dengan ijinnya. Kali ini, Rara sudah terlewat batas. Bagaimana bisa dia menuliskan kisah hidup mereka untuk dikonsumsi orang banyak tanpa berkomunikasi lebih dulu.
"Kalau minta ijin pasti nggak dikasih sama abang."
"Dan itu pasti ada alasannya, Rara Sayang!" jawab Andra cepat.
"Alasannya karena abang takut di-bully."
"Ra!"
"Terus abang sekarang mau Rara gimana? Prosesnya sudah 99% dan ada kontrak dengan penerbit. Ini sekarang juga aku udah cerita sebelum bukunya ada. Sekarang abang pilih setuju atau aku sama dua bocil nginep di rumah Bang Rio sampai abang setuju? Kalau perlu aku bawa aja mereka ke rumah Mama Viona di Malang biar abang susah ketemunya," ancam Rara tidak mau kalah. Dia ikut kesal karena kekolotan Andra. Dia cuma ingin ceritanya diabadikan dan akan lebih bersyukur lagi ketika ada seorang yang berubah menjadi lebih baik setelah membaca ceritanya, tidak lebih. Namun, Andra selalu beralasan takut karakternya tidak disukai oleh pembaca, padahal dia yang dulu kan memang menyebalkan.
Andra mendesah, seharusnya dia yang marah, tetapi justru Rara lebih dulu mengeluarkan ancamannya. Ancaman yang sagat horor baginya. Bagaimana mungkin dia yang selama ini tinggal dalam keramaian harus tinggal sendiri? Menyeramkan.
"Ancamannya boleh dikurangi nggak? Boleh nginep di rumah Bang Rio, tapi aku juga ikut tinggal di sana," tawar Andra.
Rara berdecak. "Selama kami di sana, abang nggak boleh nginep."
Andra langsung mengusap wajahnya dengan frustrasi medengar jawaban keras kepala dari Rara. Dia hafal betul kalau istrinya kini memang sudah memegang kendali dari hidupnya. Pasalnya, dia memang paling tidak bisa berpisah dari ketiganya, mereka sudah seperti candu.
"Ya sudah, terserah kamu ajalah," putusnya. Dia menyerah berdebat lebih lanjut.
"Beneran, Bang?" tanya Rara dengan mata berbinar. Dia tidak menyangka kalau andra akan mengalah dengan cepat.
"Aku bisa apa kalau kamu sama anak-anak nggak di rumah?"
Rara bangkit berdiri dan langsung ikut duduk di sofa. Dia memeluk Andra dengan kencang.
"Makasih, Abang! Padahal tadi aku cuma bercanda lho, mana bisa aku pisah sama abang."
Gerrrr! Sial! Andra memaki dirinya dalam hati. Seharusnya dia bisa bertahan lebih lama tadi, pasti Rara akan mengalah. Nasi sudah menjadi bubur.
"Jadi, bukunya siapa yang nulis? Apa yang kamu ceritain?" tanya Andra kemudian. Dia mencoba menerima apa yang sudah terlanur dia putuskan.
"Penulisnya kayak punya Kak Nada sama Bang Ave. Pokoknya semua lengkap ada di novelnya nanti. Abang yang ngeselin ada, tapi Abang yang mendadak manis dan suami-able juga ada kok. Siapa tahu kan nanti novel itu menjadi pelajaran buat lelaki gagal move on untuk melihat sekelilingnya, barangkali ada orang lain yang juga mengharapkannya.
"Itu jleb banget, langsung nancap di hati."
Rara tergelak, tentu saja, secara lelaki itu adalah Andra di masa lalu.
"Judulnya apa?" tanya Andra penasaran.
"D.I.A."
"Dia? Sama kayak kontakku di ponselmu, ya?
Rara langsung melepaskan pelukan dan memandang Andra dengan heran. Bagaimana Andra tahu kalau dia menyimpan nomor Andra dengan nama 'Dia'?
"Abang abis kepoin ponselku, ya?"
Andra tertawa. "Jadi, kenapa disimpan pakai kata Dia? Kemarin penasaran, aku cari nama suami, my hubby, papa, honey, sayang, bapak, ayah, love semua nggak ada yang muncul. Eh pas aku coba tulis nomor muncul nama Dia. Selama ini aku sering lihat sekilas di panggilan telepon atau whatsapp kirain itu nama temanmu."
Sekarang giliran Rara yang tertawa, ternyata seorang Andra bisa juga penasaran.
"Dia, ya? Mau tahu aja apa mau tahu banget?" tanyanya centil.
"Raaa."
"DIA itu singkatan dari Dia itu Andra."
Andra langsung melongo mendapat jawaban dari Rara. Ya ampun, namanya disimpan tanpa ada spesialnya. Demi apa hanya diberi singkatan Dia itu Andra, bahkan tanpa embel-embel Bang. Padahal nomor Rara saja dia simpan dengan nama sama dengan merk sprei. Besok, dia akan menggantinya tanpa sepengetahuan Rara.
"Nggak ada manis-manisnya sama sekali, Ra. By the way, harga bukunya berapa? Terbit kapan? Kamu mau buka semacam PO gitu?"
"Manis tahu, itu nama spesial. Sekarang masih dalam proses sama penerbit, belum ada tanggal pastinya maksimal awal tahun. Iya, siapa tahu kan ada yang berminat versi ttd terus nanti dikasih bonus rajutan penuh cinta gitu, Bang. Jadi, sekarang biarin bocil di tempat Bang Rio dulu, ya? Bang Andra bantuin aku bungkusin plastik yang udah jadi."
Rara langsung teringat pekerjaannya yang tertunda karena ulah Andra. Dia langsung bangkit dan kembali sibuk dengan benangnya, meninggalkan Andra yang geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top