Part 9 - Sahabat?

Andra baru saja mengistirahatkan badan di ranjang saat ponselnya berbunyi. Nama Rio tertulis dengan jelas sebagai penggangu. Ya Tuhan, dia hanya ingin beristirahat setelah pekerjaan yang cukup menguras tenaga dan menyiapkan esok hari, tetapi sepertinya kakak iparnya ini memang mempunyai hobi untuk mengganggunya. Nanti setelah panggilan terputus, dia akan mengganti nama Rio menjadi Pengganggu No.1.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Ndra bisa kamu ke rumah?”

“Sekarang?”

“Tahun depan!” jawab Rio cepat, membuat Andra mengerutkan dahi dan menatap jam di dinding. Saat ini sudah jam delapan malam, besok pagi akad nikah resmi mereka akan digelar, lalu buat apa dia ke rumah Rio sekarang.

“Abang gila ya?” tanya Andra heran.

“Iya, saya gila karena istrimu yang sayangnya menjabat sebagai adik saya. Pokoknya kamu sekarang cepat ke rumah, ini urgent Ndra. Kalau kata Pak Daniel sudah gawat darurat jadi harus dioperasi tanpa bisa ditunda.”

Andra mencibir mendengar kalimat perumpamaan dari Rio, Pak Daniel adalah kepala staff UGD yang bertugas di rumah sakit mereka.

“Iya. Tapi kenapa, Bang?”

“Pokoknya saya tunggu sekarang di rumah, atau pernikahan kalian terancam batal. Wassalamu’alaikum.”

Klik

Andra mendelik kesal mendengar kalimat terakhir dari Rio. Lelaki itu langsung mengacak rambutnya kesal sambil meraih jaket yang ada di lemari. Kalau sudah masalah pernikahan yang terancam batal itu sama saja mengancam nama baik keluarganya dan itu adalah hal yang paling dihindari. Oke, Rio memang terlalu licik sebagai lawannya berdebat.

“Hehhh! Itu calon manten mau ke mana?” tegur Nada saat melihat Kakaknya melintas.

“Kamu tidak mau melarikan diri kan, Ndra?” Viona berucap sedikit keras, membuat semua perhatian orang yang ada teralih dari kesibukan masing-masing kepada lelaki yang saat ini sedang membawa kunci mobil di tangannya.

Revan ikut menatap anaknya tajam, “Andra!”

“Aku nggak kabur, aku cuma mau ke rumah Rara. Ada urusan penting, nanti kalau selesai langsung balik, Wassalamu’alaikum.”

Tanpa menghiraukan siapapun lagi, Andra melesat cepat keluar rumah, meninggalkan berbagai pertanyaan kepada kelurganya. Dia tidak peduli apa yang akan orang lain katakan, seperti kata Rio sebelumnya bahwa ini adalah urusan gawat darurat. Bah! sejak kapan Rio mulai mengusik otaknya. Sial!

Suasana rumah Rio terlihat cukup ramai dibandingkan hari biasa. Andra menghela nafas lega saat melihat Rio sudah menunggunya di depan rumah sehingga dia tidak perlu berbasa-basi dengan calon keluarga barunya.

“Ada apa, Bang?” tanyanya begitu selesai bertukar salam. Dia melihat dengan jelas wajah Rio yang tampak frustasi.

“Rara ngamuk!”

“Ngamuk?”

“Ah ralat, bukan ngamuk tapi dia…. Hah entahlah saya bingung mau menjelaskan,” ujar Rio, kali ini terlihat pasrah. Dia menghempaskan diri ke kursi sambil mengacak rambut, persis seperti orang yang sudah stress akut.

“Bang?”

Andra kembali membuka suara saat orang dihadapannya sudah diam untuk beberapa waktu yang cukup lama. Dia merasa seperti orang bodoh, tidak tahu apa yang terjadi dan harus dilakukan.

Rio menatap juniornya dengan tatapan menilai. Hatinya berkata Andra adalah orang yang tepat untuk menjaga Rara tetapi harus diakui rasa takut memilih orang itu tetap ada. Saat ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk menguji keseriusan lelaki ini. Jika saja Andra berhasil membujuk dan mengubah  pendirian Rara, maka dialah orang yang tepat. Ibaratnya jika Rara itu ular, maka Andra akan menjadi pawang.

“Ayo kamu langsung ke kamar Rara saja, biar dia cerita. Pesan saya cuma satu, dia itu labil jadi lebih baik kamu ikutin saja apa kata-katanya kecuali jika dia minta acara besok dibatalkan.” Rio bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar adiknya diikuti Andra.

Mereka berdua berhenti tepat di depan pintu kamar Rara. Rio mencoba membukanya, berharap saat ini adiknya sudah berubah pikiran dan tidak mengunci kamarnya lagi. Namun masih sama, pintu itu tetap terkunci.

“Ra, buka pintunya Dek!”

“Rara benci sama Abang. Rara nggak mau nikah!”

“Ra!”

Tidak ada jawaban.

Rio mengangkat bahu sambil mengedipkan mata ke arah pintu, seakan berbicara dalam bentuk isyarat kepada Andra.

Andra mulai mengerti masalah yang ada yaitu Rara merajuk dan minta acara dibatalkan sehingga dia harus membujuknya. Dia mengangguk paham sebagai tanda setuju, walaupun hatinya sendiri tidak yakin bisa melakukannya. Setelah Rio undur diri, dia kembali mengetuk pintu pelan.

“Ra, bisa buka pintunya?”

..

“Ra! Aku mau bicara sebentar.”

..

“Sampai kapan kamu seperti ini, aku tunggu di depan pintu sampai kamu buka pintunya.”

..

Andra terus berkomunikasi satu arah, berusaha keras mengabaikan tatapan penuh prihatin dari keluarga Rara yang kebetulan hari ini menginap. Beruntungnya tidak banyak yang bermalam di rumah ini, hanya ada Budhe  dan Pakdhe yang kebetulan kemarin menemani acara lamarannya.

“Raya!”

..

“Ra, masa kamu tega sih biarin aku tidur di emperan kamar? Kalau aku masuk angin gimana? Aku alergi sama lantai dingin loh.”

“Bodoh! Sejak kapan ada alergi lantai, Ndra! Padahal jelas-jelas malam itu kamu berniat tidur di lantai’” rutuk Andra dalam hati.

..

“Jadi beneran tega ini, Ra? Aku malam ini lupa nggak bawa jaket, terus kalau alergi kamu mau rawat? Nanti kalau pasien-pasien di rumah sakit jadi ikutan skarat kaya aku gimana?”

..

Suata pintu terbuka membuat senyum mengembang di wajah Andra, akhirnya usahanya tidak berakhir sia-sia. Namun, senyum itu langsung lenyap ketika melihat Rara membawa bedcover yang sama dengan tempo hari dan langsung menyerahkan kepadanya. Indranya bagai robot yang langsung menerima bedcover sampai akhirnya dia tersadar saat pintu sudah hampir tertutup. Tangannya reflek menahan pintu dan dia langsung berteriak kesal.

“Sakit, Ra!”

Teriakan itu sukses membuat niat Rara menutup pintu terhenti. Dia membiarkannya dan memilih berjalan menuju ranjang, duduk manis bersandar di atasnya sambil memeluk guling. Emosi masih menguasai karena kekesalannya kepada Rio. Abangnya itu memang minta dicincang lalu dimasak rica-rica.

Andra yang melihat kesempatan langsung ikut masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dia memilih duduk di samping Rara. Mereka berada dalam keheningan untuk beberapa menit. Rara sibuk dengan pikirannya sementara Andra kebingungan untuk mulai sesi interogasi. Andra menatap Rara yang kini menatap kosong, melamun lebih tepatnya.

“Ra!” panggilnya pelan.

“Abang itu bodoh atau bagaimana sih? Kenapa dia mengundang Bona buat ke acara besok. Bona itu brengsek, si Dela juga sama saja. Pokoknya semua orang di dunia ini itu tidak bisa dipercaya. Tidak Ayah, Bona, Dela juga istri Bang Rio. Mereka pengkhianat!” Rara berkata dengan mata berapi-api.

Tanpa Andra bertanya untuk memastikan pun dia tahu dengan jelas bahwa Rara sedang emosi. Jika tadi dia memendam emosinya maka sekarang dia sedang menumpahkannya. Dia memilih diam dan menjadi pendengar yang baik.

“Kamu juga begitu kan, Bang? Kak? Menikah karena terpaksa terus nanti tahu-tahu bakalan pergi ninggalin aku? Iya, kan?”

“Ra…”

“Semua orang itu tidak ada yang bisa dipercaya. Bahkan Bang Rio sekalipun!” ucap Rara kecewa. Suara isakan sesekali keluar dari mulutnya.

“Ra…”

“Kemarin Abang bohong soal mantan istrinya terus sekarang dia ngundang Bona. Arghhhhhh! Semua orang memang menyebalkan, nggak ada yang mau ngertiin aku!”

Andra melihat Rara menelungkupkan wajah diantara lututnya, kondisi yang sama persis dengan kejadian saat di Malang tempo hari. Kemana Rara yang kemarin terlihat semangat mempersiapkan pernikahan? Hilang, lenyap. Andra mencoba mengusap bahu gadis itu pelan, berharap tindakannya bisa memberikan sedikit ketenangan. Sayangnya hal yang dilakukannya justru membuat bahu itu semakin bergetar hebat. Akhirnya tidak mempunyai pilihan lain, Andra menarik badan Rara untuk merengkuhnya.

“Ra, dalam mimpi sekalipun aku nggak pernah bermimpi buat nikah dua kali. Jadi kalau aku udah milih kamu, berarti selamanya InsyaAllah hanya kamu yang jadi istriku.”

“Dulu… Bona juga pernah berkata begitu, kalau aku satu-satunya yang dia cintai dan mau dinikahi. Tapi, nyatanya itu semua bohong.”

“Bona itu siapa?” tanya Andra penasaran akan sosok yang daritadi disebut oleh Rara.

“Dia itu pembohong!”

Andra memilih diam dengan tangan terus mengusap bahu Rara, menunggu wanita ini melanjutkan ceritanya.

“Bona itu sepupu sekaligus tunanganku. Kami berhubungan selama dua tahun, semua keluarga juga sudah setuju karena walaupun kami saudara sepupu itu masih boleh nikah. Terus, Dela itu teman baikku. Dia udah kaya saudara sendiri, aku sering curhat sama dia begitu juga sebaliknya. Tapi apa Abang tahu apa yang mereka lakukan dibelakangku?”

“Apa?”

“Mereka berkhianat. Bona minta putus dan bilang kalau udah nggak ada kecocokan, lalu Abang tahu? Dia dengan jujurnya cerita kalau dia suka sama Dela, bilang kalau yakin jodohnya Dela karena lebih nyaman waktu bareng dia. Aku saat itu hanya mencibir, percaya kalau Dela itu adalah sahabat baik, dia nggak mungkin balas rasa suka Bona.”

Rara menarik nafas pelan sebelum melanjutkan ceritanya.

“Tapi ternyata aku salah, mereka jadian dan dalam hitungan bulan nggak sampai setengah tahun nikah. Dela bilang kalau rasa suka itu anugrah dari Tuhan, yang dia sendiri nggak bisa nolak. Jadi selama ini mereka berdua bertindak seakan-akan jadi orang terdekatku tetapi ternyata berkhianat di belakang, mereka sering jalan. Oke aku percaya kalau rasa suka dan cinta itu kadang datang tanpa kita sadari, tapi apa mereka nggak pernah mikirin perasaan aku? Kadang aku nyesel udah ngenalin Dela sebagai sahabat kepada Bona. Mereka memang minta maaf, tapi apa itu aja udah cukup? Apa mereka pikir dengan minta maaf hubungan kami bisa sebaik dulu?”

“Mereka udah minta maaf, kan? Allah SWT aja pemaaf loh, Ra.”

“Aku nggak butuh permintaan maaf mereka.”

Andra menatap kepala Rara dengan prihatin, jadi ini penyebab Rara kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Termasuk keraguan untu menikah, karena dia takut akan dikecewakan.

“Tapi Dela pernah menjadi teman dekatmu.”

"Bang, bagiku sedekat apapun aku dengan dia, sekali saja aku dikhianati oleh teman sendiri maka persahabatan itu sudah ternodai. Persahabatan itu berbagi dalam suka maupun duka bukan bersuka ketika sahabatnya berduka. Bohong kalau aku bilang baik-baik saja ketika melihat sahabatku mengambil seorang yang berarti dalam hidupku.”

“Lalu hubungan kalian selama ini?”

“Dia masih menawarkan perdamaian tetapi setiap kali aku mencoba dekat dengannya, mencoba berteman dengannya, yang ada justru aku selalu teringat apa yang dia udah lakukan. Mungkin tampak baik di luar, beberapa saudara bilang kalau aku ini wanita hebat yang masih bisa menerima mereka. Itu semua bullshit!”

“Persahabatan itu ternodai, kepercayaan itu terkikis. Walaupun kami bisa kelihatan biasa saja tapi sampai kapanpun persahabatan kami nggak akan bisa kaya dulu lagi. Aku bosan pakai topeng baik-baik saja selama ini, sampai akhirnya membujuk Ibu buat pindah dan tinggal di Jogja.  Aku melarikan diri lebih tepatnya, aku nggak bisa melihat mereka berbahagia ketika mereka udah membunuhku perlahan.”

“Dendam itu nggak baik, Ra!” Andra mencoba menimpali, dia ingat sekali pesan Mamanya walau betapa tidak suka terhadap orang lain dia harus menjaga silaturahmi.

“Orang yang memutuskan silaturahmi itu orang yang dilaknat Allah SWT loh, Ra. Kita bahkan nggak dianjurkan dekat dengan orang yang memutuskan silaturahmi. Rasulullah SAW juga pernah bersabda kalau orang yang memutus tali silaturahmi nggak bisa masuk surga.”

Andra mengulang kalimat Mamanya, kalimat yang diperdengarkan kepadanya saat dia berusaha menjauh dari kehidupan baru Kiara. Bahkan bertatap muka pun enggan. Hah, dia seperti tidak berkaca sekarang, mulutnya dengan ringan mengingatkan Rara padahal dia sendiri belum bisa melakukannya dengan baik.

“Aku udah berusaha, tapi sampai sekarang belum bisa. Aku masih mau berhubungan dengan mereka meskipun hatiku sakit. Satu hal yang pasti, aku nggak bisa kaya dulu lagi. Coba aja Abang yang ada di posisiku.”

Andra menjauhkan badan Rara, kemudian tangannya merangkum wajah wanitanya.Matanya menatap tepat dimaniknya.

“It’s oke, yang penting kamu tidak memutuskan silaturahmi. Tapi ngomong-ngomong, apa hubungannya sama batal nikah?” tanyanya langsung ke pokok permasalahan.

Rara mengerjapkan matanya pelan, dipandangnya Andra yang kini sedang menatap lekat. Jantungnya tiba-tiba berdebar dengan kencang. Dia baru sadar kalau sudah berbicara panjang lebar dan berada dalam posisi sedekat ini.

“Aku takut. Ayah… istri abang… Bona… Dela,” Rara kembali berucap dengan terbata.

“Aku ini Andra, Ra. Aku bukan mereka. Percayalah setiap orang itu berbeda dan kamu nggak bisa menilainya sama.”

Rara mengangguk paham, tetapi masalahnya apakah lelaki ini bisa dipercaya atau justru seperti mereka semua? Dia sendiri tidak yakin

“Jadi besok tetap nikah kan? Rugi kalau kamu nolak aku,” Andra kembali bertanya dengan gurauan, berusaha mencairkan suasana.

Rara menggeleng pelan.

"Yakin?"

Rara mengangguk.

"Satu kali lagi aku tanya. Kamu milih mau nikah atau mau menyesal nanti? Aku nggak kasih kesempatan dua kali  loh," tanya Andra harap-harap cemas.

Rara berpikir lama sebelum membuka suara, “Baik. Aku mau nikah."

Andra menghembuskan nafas lega, akhirnya malam ini dia sukses menyelamatkan nama baik keluarga besarnya.

Kepercayaan itu ibarat kaca, ketika sudah pecah kita tidak akan pernah bisa membuatnya kembali sempurna.

TBC

#noedit

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top