Part 8 - Terjebak (2)

Andra melangkah menuju kamar dengan menggelengkan kepala geli. Konyol, bagaimana hal serius seperti penyakit bisa dijadikan bahan candaan seperti tadi. Langkahnya terhenti saat membuka pintu dan melihat pemandangan yang ada. Rara dan Rey sudah terlelap dengan Rara memeluk tubuh kecil Rey. Pemandangan yang membuatnya sedikit iba terhadap Rio, pasti dia menginginkan pemandangan yang sama tetapi tidak dengan Rara. Dia ingin istrinya yang melakukan hal itu. Dasar wanita, selalu membuat lelaki gila.

Lalu sekarang, dia bingung akan tidur di mana. Ranjang Rara terlalu kecil untuk tidur bertiga. Pemandangan ini sangat berbeda dengan kamarnya di Malang yang dikatakan cukup luas untuk seorang diri, di kamar Rara hanya ada satu ranjang, satu meja rias lengkap dengan kursinya, satu almari dan tidak ada sofa atau sejenisnya yang memungkinkan dia bisa tidur. Dia menatap miris pada lantai keramik di bawah kakinya, masa iya sih dia harus tidur di lantai? Bagaimana kalau badannya menjadi pegal-pegal atau paling buruk adalah masuk angin karena tidak ada alas. Dia ingin keluar kamar, tetapi takut kalau Rio bertanya macam-macam, abang iparnya itu terlalu bahaya. Akhirnya dia tidak mau ambil pusing, dilepasnya jaket yang dari tadi melekat ditubuhnya, digelar pada lantai sebagai alas. Kalau saja keluarganya sampai tahu, pasti dia akan menjadi bahan ejekan.

Begitu suasana hening, Rara langsung menyipitkan mata melihat keadaan. Dari awal dia memang belum tidur sehingga saat suara langkah terdengar memilih untuk memejamkan mata. Dia ingin tahu apa yang akan Andra lakukan melihat keadaan yang ada. Awalnya dia akan mengira kalau Andra akan keluar dan memilih tidur bersama Rio, namun pemandangan yang ada membuatnya nyaris terbahak tetapi sisi hatinya yang lain merasakan nyeri. Fakta kalau Andra enggan berbagi dengannya membuat dia kesal sendiri. Cinta, kalau sudah mengambil perannya memang selalu membuat tuannya semakin gila. Dia kesal dengan lelakinya tetapi akhirnya rasa kasihan itu mendominasi. Dia mana tega melihat orang yang dicintai berada di lantai hanya beralaskan jaket.

Rara menyerah dan akhrinya bangkit dari kasur untuk mengambil bedcover yang ada di lemari. Kakinya berhenti tepat di samping Andra yang tergeletak bagai orang pingsan, dia berpikir keras bagaimana dia memberikannya kepada Andra.

"Ini dingin loh, Ra! Sampai kapan kamu mau pegang itu bedcover?" Andra membuka mata, ketika kaki dihadapannya hanya diam tanpa melakukan gerakan. Sejak awal dia belum bisa tidur, siapa orangnya yang bisa terlelap jika terbiasa tidur di atas ranjang yang empuk.

Rara memandang Andra seperti melihat hantu, dia sampai menggelengkan kepala karena takut berhalunasi. Oh good, dia mulai gila sekarang. Bagaimana caranya orang tidur bisa bersuara dan bahkan membuka mulut. Dia melemparkan bedcover tepat di wajah Andra sebelum berlari ke luar kamar dan langsung masuk ke kamar Rio.

"Bang!" rengeknya kemudian. Dia langsung memeluk Abangnya erat, membuat Rio kebingungan.

"Apa sih, Dek?"

"Tadi Bang Andra, tahu-tahu bisa ngomong!"

Rio menggelengkan kepalanya geli, inilah kenapa dia meminta Andra untuk menemani Rara walaupun niatnya memang terselubung. Adiknya terlalu panaroid dengan malam.

"Ya ampun, Ra. Memangnya sejak kapan dia nggak bisa ngomong, hah? Kamu itu ada-ada saja. Sudah sekarang duduk, tarik napas panjang terus kamu minum."

Rara melakukan apa yang diinstruksikan oleh Rio, hingga akhirnya menepuk jidatnya pelan.

"Oon banget sih kamu, Ra!" ujarnya menghina diri sendiri.

"Sudahlah, ayo Abang antar kamu ke kamar sekalian mau ambil Rey."

Mereka berjalan menuju kamar yang ada di sebelahnya, saat pintu terbuka tampak Andra yang kini tidur di ranjang dengan Rey ada di sampingnya.

"Tuh kan, Bang Andranya bisa pindah juga!" celetuk Rara yang membuat Rio menjitakknya pelan.

"Abang!"

"Otak kamu itu loh, Ra. Iya bisa pindah memangnya Andra kamu pikir barang yang tidak bisa bergerak!"

Rio membopong Rey dan langsung berjalan menuju kamarnya sendiri, meninggalkan Rara yang saat ini mematung di kamarnya. Abangnya benar, dia mulai tidak waras jika berhubungan dengan Andra. Perlahan dia akhirnya mengambil posisi di sebelah ranjang yang kosong dan berbaring di atasnya. Jantungnya berdetak kencang, ini adalah pertama kalinya dia berdekatan sedekat ini dengan lawan jenis selain Abangnya. Tarik nafas, Ra!

**

Rara terbangun saat Andra sudah tidak ada di sampingnya. Dia memilih mengambil wudhu, membersihkan diri dan baru keluar saat matahari menampakkan cahaya. Saat dia keluar tampak Rio, Andra dan Rey sibuk melihat acara televisi kesukaan Rey, kartun. Andra yang sekilas melirik Rara sudah rapi memilih mengabaikannya dan sibuk dengan Rey.

"Ini Bang, tehnya!"

Tiga gelas teh hangat sudah siap di meja, membuat para lelaki mengalihkan fokusnya.

"Kamu?" tanya Rio heran, biasanya Rara akan ikut serta menikmati pagi bersama namun pagi ini dia terlihat rapi.

"Rara mau ke pasar sebentar, Bang. Katanya nanti sore mau lamaran, Budhe baru bisa datang siang jadi biar Rara aja yang belanja. Ah ya, menunya enakan apa?"

"Tapi kalau kamu sendirian capek loh, Dek. Nanti kita pesan makanan saja ke Bu Ratih," tawar Rio menyebutkan salah satu catering yang dia kenal.

"Nggak banyak kok masaknya. Nanti mungkin buat makan cukup sop Ayam, kalau makanan kecil biar sekalian aja beli di pasar."

"Nggak beli roti aja, Ra?"

"Hemnn, kayanya nggak deh. Udah ah, Rara jalan dulu ya?" pamit Rara kepada Rio, mengabaikan fakta kalau ada dua pasang mata lain yang daritadi memperhatikan interaksi mereka.

Rey yang biasanya ikut serta jika Rara sedang berbelanja langsung merengek, " Nteeee, ikutt!"

"Rey di rumah sama Ayah saja ya? Tante bawaannya banyak jadi nanti nggak bisa boncengin Rey," bujuk Rara yang langsung dibalas gelengan Rey.

"Rey!" tegur Rio.

"Tapi Rey mau ikut, Yah. Rey mau sate kolang kaling!"

Rara menatap Abangnya pasrah, beginilah Rey selalu terbiasa dengan kehadirannya dan sudah seperti ekor yang selalu mengikutinya. Jika biasanya dia akan menurut perkataan sang Ayah tetapi lain cerita kalau masalah pasar. Dia sangat senang kalau diajak pergi berbelanja ke pasar tradisional Karena banyak jajanan dan juga mainan. Anak kecil!

"Ya udah, ayuk!"

Rey mengangguk mantap dan langsung meloncat dari kursinya. Tangannya dengan sigap menengadah kepada sang Ayah untuk meminta uang jajan.

"Bawa mobil saja, Dek."

"Memangnya kita mau ke mall," gerutu Rara menolak tawaran Rio.

"Yakin bisa bawa Rey kalau naik motor? Belanjaan kamu banyak loh? " tanya Rio ragu yang dibalas dengan anggukan Rara.

"Kalau begitu biar Abang antar!"

Rio baru saja berdiri saat suara lain menginterupsi, Andra.

"Biar saya aja, Bang!"

"Nah, daritadi saya memang menunggu kalimat itu, Ndra!"

Rio terkekeh dan langsung kembali duduk, mengangkat kakinya lalu mengambil teh untuk meminumnya. Hal yang membuat Andra merutuk, jadi kata-kata Rio yang seakan-akan membawa Rey akan merepotkan sengaja untuk membuatnya jadi relawan. Hah, iblis!

Rara merasakan jantungnya berdebar kencang, siapa sangka Andra akan berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarnya. Walaupun Rey berada di antara keduanya tetapi fakta kalau lagi-lagi mereka berada dalam radius dekat membuatnya senang. Dalam hati kecil, dia bermimpi seandainya anak yang dihadapannya ini bukan Rey, seandainya saja buah hatinya. Ah, sudahlah itu sama saja khayalan yang tidak tahu kapan menjadi nyata. Sementara Andra yang tidak terbiasa pergi ke pasar tradisional terpaksa membuang rasa malasnya, sejujurnya dia tidak begitu suka pemadangan yang ada. Terkadang dia melihat sayuran yang tidak pada tempatnya, keramaian yang ada membuatnya harus berhimpitan dengan orang yang lewat. Matanya terus mengikuti ke mana arah Rara berjalan dengan Rey yang kini tenang ada digendongannya. Dia masih sedikit tidak percaya jika wanita manja bernama Rara bisa berbelanja dan mandiri seperti sekarang. Dia bahkan bisa menawar harga meskipun dengan bahasa jawa yang tidak terlalu dikuasainya.

Selesai berbelanja, Rara langsung menuju dapur dan membongkar barang belanjaan. Andra sudah kembali bergabung bersama Rio yang masih asik menonton berita. Rey sudah duduk di karpet dengan makanan yang dia beli.

"Itu yakin Rara yang masak buat acara nanti, Bang?" Andra bertanya ragu.

"Hemn."

"Dia nggak maksud racunin keluarga saya, kan?"

Rio langsung terkekeh mendengar kalimat Andra, ditatapnya si adik ipar yang saat ini terlihat was-was.

"Ndra, kamu pikir selama ini siapa yang menyiapkan makanan buat kami kalau bukan Rara? Dia satu-satunya wanita di rumah ini jadi otomatis dia yang bertugas."

"Wow!"

Satu kalimat keluar dari bibir Andra, jika tadi dia kaget tahu Rara berbelanja ke pasar maka sekarang dia takjub karena Rara bisa memasak. Demi Tuhan, bahkan Adiknya Nia saja sampai sekarang hanya bisa memasak mie instant.

"Keren, kan? Adek saya itu. Kamu siap-siap saja dapat kejutan dari dia," Rio berkata bangga.

**

Acara lamaran itu berjalan singkat, pertemuan dua keluarga sebagai formalitas sekaligus untuk menjalin silaturahmi. Semua sepakat untuk sementara waktu Rara dan Andra akan tinggal terpisah, karena bagi mereka pernikahan sebelumnya yang dilakukan belum resmi sekaligus menghindari gosip dari tetangga sekitar.

"Bang," rengek Rara saat dia selesai bersih-bersih. Pakdhe dan budhenya langsung pulang begitu acara selesai mengingat ini adalah hari kerja.

"Kenapa?" tanya Rio ketika melihat wajah Rara yang sendu.

"Abang yakin dia Imam yang cocok buat Rara? Abang yakin dia nggak seperti Ayah? Gimana kalau dia tidak bertanggung jawab sama seperti Ayah? Gimana ka-."

"RA!" potong Rio tegas.

Rio memandang tepat pada mata adiknya, mata yang kini menyiratkan kekhawatiran.

"Ra, nggak semua orang bisa kamu bandingkan sama Ayah. Kamu lihat Abang, apa Abang berkelakuan seperti Ayah?"

Rara menggeleng.

"Nah, tidak kan? Begitu juga Andra. Kamu nggak bisa nilai kalau semua lelaki sama seperi Ayah. Aku, Andra maupun lelaki lain itu mempunya sifat masing-masing. Kamu nggak bisa kaya gini terus, Dek. Ayah mungkin bukan contoh yang baik buat kita, tetapi masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih baik. Kamu nggak perlu takut, oke?"

"Tapi, Bang."

"Ra, kamu coba lihat Abang sama Rey. Apa pernah Abang membandingkan kamu sama Ibunya Rey? Tidak kan? Karena Abang tahu dan percaya setiap orang itu berbeda."

"Tapi dia kan terpaksa nikahin Rara, dia nggak cinta sama Rara."

"Biasa. Lama-lama kalian akan terbiasa, dan rasa sayang juga cinta itu akan tumbuh seiringnya waktu."

Rara menggumamkan kata terbiasa berulang kali, membuat Rio menatapnya miris. Inilah kenapa dia memilih memaksa Rara untuk menikah, agar dia bisa merubah apa yang sudah ada di dalam otak kecilnya, agar dia percaya bahwa tidak semua lelaki seperti ayah mereka.

**

"Jadi kapan kamu mau nikah sama Baren, Dek?" tanya Andra kepada Nia yang sibuk memainkan ponsel sambil tersenyum sendiri.

"Nikah?"

"Iya nikah, katanya kamu mau nikah makanya minta Kakak cepetan nikah." Ujar Andra mengingatkan.

Revan yang sedang membaca buku milik Andra langsung melirik anaknya tajam, "Nikah? Siapa yang mau menikah?"

"Nia, Pa. Katanya mau nikah sama Baren tahun ini, makanya dia minta Andra menikah terus."

"Benar itu, Nia? Berapa kali Papa mengingatkan, kamu tidak boleh menikah sebelum lulus. Kamu lihat Kak Nada, dia repot sendiri karena harus cuti dan sebagainya. Pokoknya Papa tidak kasih restu."

Lain halnya dengan dua lelaki yang tampak serius, Nia dan mamanya terlihat menahan senyum geli.

"Siapa yang mau nikah sih, Pa? Nia masih lama kok nikahnya," jawab Nia santai masih dengan ekpresi geli.

"Loh, kemarin kamu bilang harus nikah tahun ini?" Andra menatap adiknya penuh tanya, yang ditatap kini justru cengengesan.

"Nia sengaja bilang gitu, Kak. Soalnya kalau nggak Kak Andra bakalan terus melajang sampai tua. Jadi ya udah Nia bilang aja pengen nikah, terbukti sekarang malah Kakak membuka fakta kalau udah nikahin anak orang diam-diam."

Andra mengeram kesal. "Kamu ya!"

"Jangan salahin Nia. Itu ide Mama!" potong Nia cepat.

Andra menatap dua wanita dihadapannya dengan frustasi. Siapa yang akan menyangka kalau semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini adalah sebuah rekayasa. Mulai dari Nia merengek agar dia segera menikah sehingga Rio yang mendengar memanfaatkan keadaan agar dia menikah dengan Rara. Dia seperti pion yang sedang dimainkan oleh pemiliknya. Lalu siapa yang bisa disalahkan disini? Mungkin tepatnya adalah dia sendiri, karena dia terlalu gegabah mengambil keputusan.

"Para wanita Papa memang keren," celoteh Revan bangga yang langsung dibalas dengusan oleh Andra.

Karena orang terdekatmu, bisa jadi adalah yang menusukmu dari belakang.

TBC

Hihihi. Ini kata-kata terakhirnya kok agak sadis ya #nyengir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top