Part 6
Andra menghentikan langkah ketika sudah membuka pintu, di atas kasurnya tidak ada lagi Rara yang menangis. Wanita itu kini sedang sibuk menuangkan air putih ke tisu dan mengusap wajah sembabnya.
"Kamu sengaja mau bikin kasurku basah karena air itu ya?" tegur Andra yang membuat Rara langsung mendongak karena kaget, tanpa sadar tangannya yang memegang botol minuman masih dalam keadaan menuang sehingga teguran yang dikatakan Andra menjadi kenyataan.
"Yahhh...Yahh... Basahhhh... Abang sih ngagetin aja, jadi basah beneran kan!" ujar Rara tanpa dosa.
"Kakak Ra, Kakak. Jangan panggil Abang."
Rara mendengus mendengar kalimat Andra, baginya panggilan Abang itu lebih menarik dibandingkan Kakak. Kebiasaan karena dia tumbuh besar di ibukota sehingga panggilan Abang lebih akrab di telinga. Sementara Andra jangan ditanya, lelaki itu tidak suka dipanggil Abang karena hanya akan membuatnya ingat kepada mantan wanitanya, siapa lagi kalau bukan Kiara.
Tangan Rara sudah beralih dari meletakkan botol minuman ke nakas dan mengambil selimut untuk dia letakkan di bagian kasur yang basah. Hal yang sukses membuat Andra tidak mengerti.
"Bodoh! Kalau begitu bukan hanya kasur yang basah tetapi sekarang selimutnya juga."
"Ah Rara bodoh" Rutuk wanita itu dalam hati.
Dia meringis menatap lelaki yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya, membuat Andra kembali mengerutkan kening. Wanita ini begitu cepat moodnya berubah, sifatnya kembali ke awal, yaitu tengil!
"Abang, eh Kakak nggagetin aja sih!"
"Lagian kamu ngapain itu nuang air di kasur?" tanya Andra menyelidik.
Rara memutar bola matanya dengan kesal, kenapa laki-laki ini begitu berlebihan mengatakan dia menuangkan air di kasur. Hei, dia hanya menuangkan air sedikit pada tisu untuk membersihkan wajah. Bukannya menuangkan air ke kasur.
"Aku bersihin muka, kotor."
"Nggak mandi? Jorok!"
"Mau mandi tapi nggak tahu kamar mandi di mana. Terus aku lupa nggak bawa baju ganti, SAMA SEKALI."
Andra berdecak medengar jawaban Rara, jawabannya memang tidak salah saat dia mengatakan tidak tahu kamar mandi karena dia memang belum menunjukkannya tetapi yang jadi masalah adalah wanita ini tidak membawa baju ganti, perlu digarisbawahi sama sekali dan itu berarti dia juga tidak membawa pakaian dalam, bukan?
"Ayo ikut, apa kata orang kalau istri Dokter jorok begini!" Andra berjalan menuju daun pintu dan mengambil handuknya yang tersampir di sana. Dia melemparkan handuk itu ke wajah Rara yang sedang menatapnya takjub.
"Sejak kapan Abang, Ah Kakak maksudnya bilang Istri. Manis banget!" ujar Rara dengan tangan mengambil handuk yang menutupi wajahnya.
"RARA!"
Ah, hilang sudah bayangan suami yang perhatian di benak Rara. Andra mungkin hanya keceplosan menyebutnya istri, buktinya sekarang dia sudah kembali menjadi Andra yang galak dan tidak sabaran. Tanpa menunggu dua kali instruksi dia langsung berdiri dan mengikuti langkah Andra. Sejujurnya dia memang sudah ingin mandi dari tadi, tetapi melihat tidak ada kamar mandi di kamar Andra membuatnya mengurungkan niat. Rara memperhatikan Andra yang berjalan menuju sudut ruangan dan membuka sebuah kamar mandi.
"Masuk!"
Seperti anak kecil yang disuruh oleh Ayahnya, Rara langsung menuruti perintah Andra tanpa bantahan. Dia baru saja akan menutup pintu karena teringat sesuatu.
"Kak," panggilnya yang membuat langkah Andra terhenti.
"Kenapa lagi?" jawab Andra jengkel. Well, kebiasaan dia tinggal di rumah sendiri dan jauh dari keluarga ternyata mengubah kepribadiannya menjadi manusia kaku dan cuek.
"Baju gantinya gimana?"
"Bawel! Mandi saja dulu."
Andra berkata sambil menarik pintu agar tertutup, membuat Rara mengoceh tidak jelas karena kesal.
"Mandi dulu, terus abis ini nggak pakai baju gitu,ck."
Andra melangkahkan kaki menuju kamar yang ada di sampingnya, kamar Nia.
"Dek!" panggilnya saat melihat Nia tidur tengkurap dengan tangan memainkan ponsel.
"Hemn," Nia menjawab tanpa mau menoleh.
"Pinjam baju. Sekalian ada pakaian dalam yang baru nggak?"
Andra berkata santai, berlawanan dengan Nia yang langsung bangun dan menatap Kakaknya aneh.
"Pakaian dalam?" tanyanya ngeri. Kakaknya ini masih normal kan?
Andra melemparkan kerudung Nia yang ada di meja rias, "Bodoh! Buat Rara masa iya aku mau pakai."
"Ohh, " jawabnya santai. Nia berdiri dan langsung beranjak menuju lemari pakaian. "Kakak pilih aja sendiri, sebelah sini yang masih baru."
Andra menggelengkan kepalanya kesal, Adiknya yang satu ini memang tidak tahu malu jika ada di depannya. See, dia bahkan menyuruh Andra menyeleksi pakaiannya untuk dipinjamkan. Bocah aneh!
"Kamu aja pilihin satu set. Nggak usah pakai lama sama bawel!"
"Haihhhh, minta tolong tapi nyolot!
Nia langsung mencibir mendengar kalimat Kakaknya. Beruntung dia sudah kebal dengan sifat Kakak lelakinya ini. Tangannya dengan terampil memilih pakaian yang dirasa cocok untuk wanita yang dia tahu sebagai Kakak Iparnya. Dia langsung menyerahkan pakaian itu ke tangan Andra, kemudian kembali tengkurap dan memainkan ponselnya.
**
Rara sibuk menarik-narik kaos yang dipinjamkan oleh Andra. Dia sudah lebih dari dua kali memutar di depan cermin yang ada di kamar. Kaos berwarna biru laut ini terasa sempit di badannya, perutnya sedikit mengintip layaknya penari india.
"Kak, ditunggu di bawah buat makan siang!" suara teriakan Nia dari luar membuat Rara menghembuskan frustasi. Bagaimana dia keluar dengan pakaian seperti ini. Bisa-bisa orangtua Andra akan menilainya sebagai perempuan penggoda. Nia sendiri tidak mau repot membuka pintu untuk menemui Kakak Iparnya, dia terlalu senang karena fakta Kakaknya telah menikah dan lebih memilih menyampaikan informasi tersebut kepada lelakinya.
Andra berulang kali melihat ke atas saat Rara tidak juga muncul, padahal dengan jelas Nia berkata kalau sudah memanggilnya dan dia juga mendengar jawaban iya.
"Jemput sana, Ndra. Dia mungkin canggung sama kita jadi belum turun." Viona mengingatkan anak sulungnya, pasalnya dulu saat pertama kali bertemu dengan mertuanya dia melakukan hal yang sama. Dia tidak akan keluar kamar sebelum Revan menjemputnya. Setelah agak lama barulah dia mulai terbiasa dan bisa menyesuaikan diri. Semua hal itu akan mudah dilakukan jika kita telah mulai terbiasa.
Laki-laki itu akhirnya berdiri, terpaksa menyusul wanita yang tidak kunjung keluar sebelum Mamanya mulai mengamuk. Dia membuka pintu kamar dan melihat Rara berdiri di depan cermin tanpa melakukan hal apapun.
"Kamu bukannya udah disuruh ke bawah sama Nia? Semua belum makan gara-gara kamu."
Rara mengerang jengkel mendengar kalimat Andra, "Lihat! Pakaian macam apa yang Kakak kasih buat aku?"
Andra memperhatikan penampilan Rara dari atas sampai bawah, meneliti hal aneh apa yang dimaksud olehnya hingga pandangannya berhenti di tengah. Badan Rara yang lebih tinggi dibandingkan Nia membuat kaos yang dipakainya menggantung, perutnya mengintip. Dia segera berjalan menuju lemari dan mengambil satu buah kaos, untuk dilemparkan kepada Rara.
"Pakai, terus cepat turun!" katanya sambil melangkah ke luar. Hal yang membuat Rara kembali mengoceh karena kelakuan Andra. Lelakinya ini hobi sekali melemparkan barang ke wajahnya. Ck!
"Jadi kapan kalian menikah?" Revan memulai sesi tanya jawab begitu selesai makan siang.
Viona dan Nia menjadi pendengar yang baik, sementara Rara yang menjadi topik pembicaraan memilih menunduk. Dia terlalu asing dengan situasi saat ini.
"Empat hari yang lalu, Pa!"
"Kamu kenapa nggak bilang sama kami?" tanya Revan tajam, dia masih tidak percaya jika gadis yang ada dihadapannya ini benar menantunya.
"Dadakan, jadi belum sempat. Rencananya pulang ini Andra mau cerita."
"Maksudnya Rara hamil? Ya Tuhan, Ndra. Untung Papamu ini tidak punya penyakit, kamu itu sudah Papa ajarin agama dari kecil, kan? Bagaimana bisa?"
Andra melongo mendengar kalimat Papanya, ah pasti Papanya telah salah paham mengartikan kalimat yang dia ucapkan.
"Pokoknya kamu harus secepatnya urus pernikahan resmi kalian, tidak perlu menunggu bulan depan. Semakin cepat semakin baik, mau ditaruh mana muka Papa kalau kamu punya anak sebelum usia pernikahan sampai sembilan bulan."
"Paaaa."
"Besok, kita ke Jogja buat lamaran resmi. Nanti biar Papa hubungi Eyang sama saudara-saudara yang memungkinkan ikut ke sana," tambah Revan kemudian.
Andra terlalu kaget melihat respon Papanya dan memilih membiarkan Papanya terus berujar soal pernikahan yang harus cepat dilaksanakan. Saat Papanya berhenti, barulah dia membuka mulut.
"Pa, dadakan di sini bukan karena Rara hamil. Begini-begini Andra masih perjaka ting-ting. Jadi, pernikahan dadakan itu soalnya Kakaknya Rara harus pergi ke luar kota dan dia di rumah sendiri. Makanya kami menikah demi menjaga diri. Lalu soal lamaran sepertinya ditunda dulu, karena Kakak Rara selaku wali sedang ke luar kota. Kita tidak perlu buru-buru."
"Yakin ting-ting?"
"Papa percaya sama anak sendiri kenapa sih?" tegur Viona saat melihat Revan masih menatap curiga.
"Iya!" Andra menjawab pasrah. Rara yang ada di sampingnya tidak bisa diajak kompromi untuk meyakinkan Papanya karena hanya diam sementara Nia yang ada di hadapan Andra sudah tersenyum lebar seakan menertawakannya.
"Baiklah, Papa percaya. Tapi,"
"Tapi apa, Pa?"
"Kita besok pagi tetap jalan ke sana, sambil menunggu wali Rara kita bisa menyiapkan hal yang diperlukan buat lamaran. Lagipula Rara juga bisa mengabarkan kepada saudaranya terlebih dahulu."
Obrolan siang itu diakkhiri dengan kesepakatan bahwa besok pagi, seluruh keluarga akan berangkat ke Jogja. Setelah makan siang Revan dan Viona sibuk menghubungi saudara yang memungkinkan untuk acara lamaran.
**
Andra berulang kali mencoba menghubungi Rio, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Ponselnya tidak diangkat dan pesannya juga tidak dibalas. Padahal dia hanya ingin mencoba memberikan kabar atas apa yang sudah diputuskan oleh Papamya. Dia baru saja duduk di ranjang ketika merasakan basah, dia ingat kalau tadi siang Rara menumpahkan terlalu banyak air di sana. Kalau sudah begini otomatis sebelah kasurnya tidak bisa digunakan.
Rara yang baru saja selesai membantu Nia membersihkan piring berjalan menuju kamar. Dia senang akhirnya mendapatkan teman untuk berbicara panjang lebar, membicarakan gosip yang hangat untuk diperbincangkan.
"Kamu ngapain?" tanya Andra ketika Rara tanpa dosa sudah berbaring di kasur, tepatnya kasur yang kering.
"Tidur, besok kan katanya mau berangkat pagi-pagi. Emangnya mau ngapain? Bikin bayi kaya yang dibilang Papa?" tanya Rara tanpa dosa membuat Andra memutar bola mata, kesal.
Dia tidak mungkin melakukan hal itu bersama wanita yang baru dikenalnya bukan? Status boleh istri tetapi bukan penghuni hati.
"Jangan harap!"
Rara merasakan dadanya sedikit nyeri mendengar kalimat Andra, memangnya apa yang dia harapkan dari laki-laki yang menikahinya karena terpaksa. Niat hati ingin uji coba dengan melemparkan pertanyaan vulgar untuk menguji Andra, tetapi ternyata hanya sakit hati yang didapat. Dia memilih memejamkan mata dan meringkuk di kasur. Tidur jauh lebih baik daripada meratapi nasibnya.
Andra melihat Rara sudah terlelap, meringkuk seperti bayi. Seharusnya dia senang saat ada penghuni lain di kamarnya, itulah yang selalu dia mimpikan dulu. Seorang wanita yang akan tidur dengan memeluknya sepanjang malam, berbagi hari, berbagi hati dan berbagi kebahagian. Iya seharusnya begitu, kalau saja dia tidak melakukan hal yang bodoh. Dia lebih memilih mengejar mimpi untuk menjadi seorang Dokter dan tanpa sadar dia telah membuat mimpinya yang lain lepas. Akhirnya dia hanya bisa menghela nafas panjang, berbaring di sofa, memejamkan mata, dan bertanya dalam hati "Sampai kapan dia bisa melupakannya?".
**
Pagi hari seluruh keluarga Andra berkumpul, tidak banyak karena hari ini bukan hari libur. Hanya ada dua mobil dan dirasa sudah cukup untuk acara lamaran. Bagi Revan yang penting sekarang adalah menentukan kapan anaknya akan melangsungkan pernikahan. Tiba di Jogja, rumah yang mereka tuju adalah rumah sederhana Andra. Mereka beristirahat di sana sementara Andra dan Rara memilih menginap di rumah Rio karena kamar yang ada sudah penuh.
Suasana hening menemani perjalanan keduanya, Rara yang biasanya banyak bicara saat ini memilih diam dan memandang jendela. Pikirannya berkelana memikirkan bagaimana hubungan ini akan dia jalani. Dia memang suka sekali mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Lihatlah sekarang, dia sendiri yang gamang saat pernikahan itu akan diadakan secara resmi. Dia senang tetapi juga takut. Hah, dia tidak mengerti apa yang hatinya inginkan saat ini.
"Sudah telepon Dokter Rio?" tanya Andra memecah keheningan.
Rara menggelengkan kepala pelan, dia masih sangat kesal kepada Kakaknya karena kejadian tempo hari. Dia tidak pernah berpikir kalau Abangnya akan mempertemukan Rey dengan sosok Mama yang tidak bertanggung jawab, terlebih lagi Abangnya justru berniat rujuk. Abangnya memang sudah gila dan kini hal orang yang tidak ingin ditemuinya adalah Abangnya. Orang yang secara tidak langsung membawanya kepada kerumitan yang ada. Oke, dia memang orang yang mengusulkan untuk masalah pernikahan hanya karena obsesinya terhadap Andra. Namun, coba bayangkan seandainya Abang tidak pergi ke luar kota, atau seandainya abangnya tetap pergi dan membiarkan dia di rumah sendiri tanpa penjagaan, tentu saja akan lain cerita. Dia masih bisa duduk santai di rumah sambil membaca tanpa harus pusing memikirkan acara lamaran ini.
Tidak ada pembicaraan yang mereka lakukan hingga mobil berhenti tepat di pekarangan rumah Rio, rumah yang selama ini juga ditempati Rara. Rara langsung turun dari mobil dan merogoh tas untuk mencari kunci saat pintu rumah terbuka.
"Tante Raraaaaa! Kemana aja, Nte? Kok ndak ngajakin Rey?" tanya Rey yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan memanyunkan bibir.
"Tante ada urusan, Sayang!" ujarnya sambil mengusap rambut Rey.
"Rey bosen di rumah terus. Di Rumah Sakit juga ndak ada Om Dokter"
Rey mengalihkan pandangan saat mendengar suara kaki melangkah ke arah mereka. "Loh, Om di sini? Pantes ndak ada di Rumah Sakit."
"Halo Rey, kapan pulang?" tanya Andra setelah sampai di samping Rara.
"Kemarin, Om!"
Jawaban Rey membuat Andra bingung, kemarin dengan jelas Rio mengatakan kalau baru kembali lusa dan itu berarti adalah besok. Namun, kenapa Rey berkata kalau sudah sampai dari kemarin. Aneh!
"Rey, kok tadi kamu bilang bosen di rumah sama Rumah Sakit?" tanya Rara sambil berlutut, menyamakan tinggi dengan badan Rey.
"Iya, bosen! Soalnya ndak ada Tante Rara. Jadi bosen cuma sama Ayah!"
Jawaban yang aneh bagi Rara, bukannya seharusnya saat ini Rey bercerita kalau dia baru saja bertemu dengan Mamanya? Lalu kenapa bocah ini justru berkata bosan di rumah?
"Bukannya Rey habis jalan-jalan sama Ayah? Naik pesawat?"
Rey menggeleng.
"Terus Rey sama Ayah ke mana waktu kemarin bawa koper?"
"Nginep di rumah tingkat terus kemarin kita pulang."
"Nggak kemana-mana lagi?"
"Sekolah!"
Rara langsung bangkit berdiri, mengabaikan tatapan aneh dari keponakannya. Dia membuka pintu dan menemukan Rio sedang duduk santai sambil melihat televisi. Orang yang sangat dia percaya kini telah mempermainkannya.
"ABANGGGGGGGG!" teriaknya lantang sambil berkacak pinggang.
Rio yang sejak awal sudah mendengar suara mobil Andra menoleh dan mendapati Rara menatapnya garang.
"Sudah pulang?" tanyanya datar.
"JELASIN KE RARA APA MAKSUD SEMUA INI?"
Rara berteriak heboh dan melangkah ke arah Rio untuk menjambak rambut Abangnya dengan membabi buta. Dia memang belum yakin kalau firasatanya benar, tetapi melihat jawaban polos dari Rey sepertinya apa yang dia pikirkan adalah hal paling tepat. Rio tidak pernah pergi ke luar kota untuk menemui mantan istrinya melainkan hanya pergi ke hotel. Lalu apa yang sebenarnya Abangnya ini rencanakan? Kenapa semua terasa pas dengan keputusan yang diambilnya, mulai dari dia yang meminta status halal dan juga menyusul Andra ke Malang. Semuanya terasa apa adanya dan tanpa rekayasa.
Andra yang masuh belakangan bersama Rey memilih mengabaikan keduanya. Melihat situasi sekarang, dia tahu secara halus Rio telah membawanya kepada Rara. Dia hanya pasrah, pasti ada rencana Tuhan yang sedang dituliskan untuknya. Toh, dia tidak bisa mundur karena keluarganya sudah berada di kota ini. Jika ada orang yang harus disalahkan atas kerumitan hidupnya saat ini adalah lelaki yang sedang ditarik rambutnya oleh Rara.
Rey yang melihat Ayahnya sedang teraniaya langsung berlari ke arah keduanya.
"Tanteeee! Lepasin Ayah!" teriak Rey lantang. Teriakan yang membuat Rara menghentikan aksi brutalnya dan kini beralih menjambak rambutnya sendiri, frustasi.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top