Part 4
Telat beberapa hari dari komitmen sendiri. Btw selamat menikmati ..
***
"Seharusnya kamu tidak perlu datang ke sini. Untuk apa? Aku curiga dulu kamu merengek ke Dokter Rio supaya aku mau menjagamu!"
Andra menatap tajam kepada wanita yang saat ini duduk di tepi ranjangnya. Wajahnya menunduk, sejak beberapa saat yang lalu enggan membuka mulut. Hal yang membuat Andra semakin tersulut emosi. Dia tidak bisa berpikir apa yang akan disampaikan kepada keluarganya setelah ini, tadi saat Papanya akan mulai interogasi dia hanya mengiyakan kalau wanita ini istrinya. Lalu, atas alasan kasihan karena perjalanan panjang dia meminta kepada Papanya untuk menunda segala hal yang akan ditanyakan. Istirahat, itu alasan yang paling ampuh saat Papanya akan protes. Namun, bukan istirahat wanita itu kini justru sibuk menerima kemarahan Andra.
Wanita itu masih diam membisu, tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia berpikir, memangnya apa yang akan dilakukan oleh orang lain jika berada pada posisinya? Saat dia menghubungi lelakinya setelah dua hari menghilang dan justru wanita lain yang mengangkat teleponnya. Dia memang tidak berhak untuk cemburu, karena faktanya dialah yang membuat laki-laki ini untuk mengikatnya. Awalnya dia gamang, sampai akhirnya sisi egonya terusik. Apa yang sudah menjadi miliknya tidak boleh ada yang mengusiknya sedikitpun, itulah kenapa akhirnya dia memilih menyusul ke tempat ini. Bermodalkan fotokopi KTP yang sempat Abangnya berikan tepat sebelum hari keberangkatan Abang ke luar kota.
Dia memilih diam daripada menuntut jawab atas pertanyaan yang sudah berkecamuk di dalam kepala. Dia merasa tidak berhak walaupum dalam hati dia sudah meneriakkan dengan lantang kalimat tanya itu.
Siapa sebenarnya wanita yang mengangkat telepon waktu itu? Sepele, tetapi setelah dia sendiri berulang kali menghubungi tanpa balasan inilah yang terjadi. Rasa penasaran dan khawatir berubah menjadi emosi. Dia tidak rela, itu saja.
"Raaa! Jawab aku!" Andra berkata dengan nada sedikit tinggi.
Wanita di hadapannya masih diam, memilih menunduk daripada menatap matanya. Hal yang membuat dia mengacak rambut dengan frustasi. Kenapa wanita suka sekali diam, tidak Kiara juga wanita ini. Padahal sebelumnya dia adalah wanita yang tidak bisa diam.
"Abang, nggak na-"
"Jangan pernah panggil Abang!"
Wanita ini semakin frustasi. Tadi diam disuruh menjawab, tetapi saat dia baru membuka mulut sudah di sela. Dia ingin menangis tetapi tahu kalau Andra akan semakin tidak suka dengan kehadirannya, dia memilih kembali diam. Ya Tuhan, tidak bolehkah dia hanya memeluk lelakinya dan beristirahat? Dia lelah setelah perjalanan panjang dan juga butuh asupan makan. Ini semua karena doktrin dari orangtua dan abangnya untuk tidak sembarangan membeli makanan, termasuk di kereta.
"Aku lapar!" kata ajaib yang sukses keluar dari mulut. Kali ini tidak membuat Andra berujar tajam melainkan melongo menatapnya.
"Apa?"
"Lapar. Dari kemarin malam aku belum makan," jawabnya kemudian. Dia lebih memilih mengalihkan pembicaraan daripada melukai hatinya sendiri lebih dalam.
"Bodoh!" Andra bergumam sambil keluar kamar, menyisakan pintu yang terbuka sedikit.
"Memangnya apa yang kamu harapkan, Ra? Kalau bilang lapar lalu dia akan membawakan makanan begitu? Mimpi saja sana!" kata wanita itu kepada dirinya sendiri.
Andra pergi ke dapur berniat mengambil makanan, tetapi sayangnya lauk sisa sarapan sudah habis tidak tersisa. Matanya menyipit ketika Adiknnya berjalan ke dapur untuk membuang sampah
"Nia!"
"Ya."
"Buatin lauk dong, Dek. Lauk apa aja deh, telur juga nggak papa," pintanya memohon.
"Males, bikin aja sendiri. Eh, Kak?"
Andra mendengus saat mendapat penolakan. "Humn!"
"Itu istri Kakak tadi yang namanya Rara ya?"
"Darimana kamu tahu namanya? Perasaan tadi dia belum kenalam langsung, apa sudah sempat berbicara sebelum Kakak muncul?
Nia mengangguk paham, meskipun Kakaknya tidak menjawab terang-terangan tetapi dia cukup paham kalau maksud pertanyaannya adalah jawaban iya bahwa wanita itu istrinya dan bernama Rara.
"Kemarin siang atau sore ada yang telepon Kakak pakai nama Rara. Waktu diangkat cuma diam, terus abis itu aku matiin"
"Oh."
Ah, sepertinya Andra tahu alasan kenapa wanita bernama Rara ini ada di Malang.
"Kok oh doang? Beneran dia namanya Rara?" Nia kembali memastikan.
"Jadi beneran ya Kakak udah nikah sama perempuan tadi? Nyatanya Kakak tahu namanya dan dia sengaja nyusulin ke sini."
"Hemn."
"Terus Kakak kapan nikahnya? Kok bisa Nia nggak tahu?"
"Bawelll! Disuruh masak nggak mau tapi masih aja di sini. Sana pergi," usir Andra yang membuat Adiknya bersungut-sungut.
Pengusiran Andra menyisakan berbagai tanya dalam hati Nia. Bagaimana bisa Kakak yang selama ini dianggap lelaki gagal move on tiba-tiba berikrar sudah menikah. Parahnya lagi, dia yang selama ini ada di lingkungan dan kota yang sama tidak tahu. Dia menjadi menyesal selalu menolak ajakan tinggal bersama Kakaknya sehingga kecurian berita mahabesar.
Andra menatap makanan yang sekarang ada di nampan. Hanya ada nasi dan lauk tanpa sayur, minimal cukup untuk mengganjal perut sampai jam makan siang. Dia segera beranjak menuju kamar. Sepi, karena wanita tadi tengah terlelap.
Andra baru saja meletakkan nampan saat ponsel miliknya berbunyi.
D. Rio
"Assalamu'alaikum, Dok."
"Wa'alaikumsalam. Ndra, Adek sama kamu? Ehh, maksud saya Rara. Soalnya dari tadi malam nggak bisa dihubungi. Ponselnya kemarin nggak diangkat terus sekarang nggak aktif. Katanya dia pagi ini juga nggak ke PAUD. Arghhh, bagaimana bisa tenang kalau dia masih suka menghilang begini."
Suara khawatir tersirat dari ujung telepon, membuat Andra menghela napas lega. Minimal, saat ini dia sudah menepati janji untuk menemani wanita ini.
"Dia sama saya. Sepertinya ponselnya mati."
"Serius. Tapi dia baik-baik saja, kan? Bisa saya bicara?"
Gerrr, lelaki ini terlihat tidak percaya dengan ucapannya. Apakah jawabannya terlihat berbohong?
"Baik. Kebetulan dia lagi tidur. Mau dibangunin, Dok?"
"Ah tidak perlu, jarang-jarang dia bisa tidur siang kalau tidak kelelahan. Saya titip dia ya, Ndra."
Begitu panggilan terputus, Andra memilih duduk di tepi ranjang. Matanya dengan seksama memperhatikan wanita yang kini sedang terlelap. Wanita ini adalah Rara, adik dari seniornya. Wanita ini adalah tanggung jawabnya setelah dia berjanji untuk menjaganya. Wanita ini memang ada di hadapannya, bahkan bisa dikatakan selalu mengekornya. Tetapi hatinya masih tetap sama, menjadi milik wanita lain.
**
Rara mengerjapkan mata pelan, tangannya langsung meraih tas yang ada di nakas untuk mengambil ponsel.
"Ah, mati!" gumamnya saat melihat ponselnya sudah tidak bernyawa.
Rara sedang sibuk mencari charger saat matanya menangkap ada makanan di atas nakas. Dia lapar, tetapi mengingat kedatangannya yang tidak diharapkan membuat dia tidak bernafsu. Lihat saja, bahkan lelakinya sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Tidak menanyakan alasan kenapa dia bisa berada di sini. Apakah dia harus menyerah saat lelaki itu baru saja menjadi miliknya. Apakah dia harus menyerah saat kemarin dia baru saja merasakan apa itu arti bahagia. Ya Tuhan, kenapa kesakitan ini selalu mengkutinya.
Dia lelah, sangat. Dia memiliki trauma dengan yang namanya pernikahan. Dulu ayah dan ibunya bercerai karena konon ada wanita lain. Ayahnya menceraikan Ibu saat dia masih kecil. Dia tidak bisa melakukan apapun, kecuali ikut terisak saat ibunya menangis. Beruntung Ibunya adalah wanita hebat, Beliau bisa bangkit setelah duka yang mendalam. Lalu yang kedua, dia adalah saksi mata bagaimana terpuruknya sang Abang saat harus kehilangan istri. Kakak ipar yang sejak awal tidak dia sukai itu memilih pergi tanpa kabar, terakhir yang dia tahu adalah wanita tidak tahu diri itu sudah menikah dengan lelaki lain dan suami barunya saat ini telah meninggal, karma. Apa kurangnya Abang sampai harus ditinggalkan, padahal menurutnya Abang adalah sosok yang sempurna. Dia adalah saksi mata saat keponakannya, Rey selalu menanyakan keberadaan Mamanya. Dia adalah saksi mata saat melihat wajah Abang menjadi pias setiap melihat anaknya terus merengek hingga akhirnya menangis. Dia begitu takut akan yang namanya pernikahan, pun saat ini. Bayang-bayang kehancuran rumah tangga selalu membayanginya.
Ah, kenapa dia begitu bodoh meminta lelaki itu mengikatnya. Seharusnya dia mengambil langkah aman yaitu menjauhi pernikahan, menjauhi hubungan wanita dengan lelaki melebihi saudara. Dia gamang, sekarang mampukah dia bertahan?
"Tadi Dokter Rio cari kamu."
Sebuah suara menginterupsi lamunannya. Dia menghembuskan nafas panjang sebelum mengangkat kepala dan melihat ke arah sumber suara. Di sana Andra berdiri, memandangnya intens seakan ingin menerkamnya karena kesal. Oke, dia memang salah tetapi apa salahnya dari mengkhawatirkan lelakinya.
"Dia cuma absen. Kapan Abang berhenti memantauku, seperti anak kecil saja!" gerutu Rara kemudian. Dia selalu kesal jika sudah membicarakan Abangnya. Semenjak ibunya meninggal dia selalu dianggap anak kecil, sampai-sampai Abang memperlakukannya seperti Rey. Hei, dia bahkan sudah dewasa dan tidak suka menangis lagi kecuali jika di kamar seorang diri.
"Telepon balik, pasti dia khawatir!"
Rara melengos mendengar perintah lelaki ini. Dia menyuruhnya menghubungi Abang dengan alasan khawatir, lalu apa kabar dia yang sama sekali tidak menghubungi sejak dua hari yang lalu.
"Ini!" Andra menyodorkan ponsel, saat Rara menerimanya ternyata sedang proses menghubungi Abangnya. Kemudian Andra memilih berjalan ke luar untuk memberi privacy. Dia baru akan turun ke bawah saat melihat keberadaan Papa dan Mamanya. Demi menghindari ceramah lebih awal, dia kembali melangkahkan kaki menuju kamar. Persetan dengan privacy, toh Rara juga sudah mengganggunya lebih dulu. Dia baru saja membuka pintu saat mendengar kalimat yang Rara ucapkan. Terdengar miris.
"Abang kapan pulang? Rara kesepiang nggak ada Abang sama Rey. Cepet pulang, Bang."
Rara mengucapkan kalimat dengan sedikit terisak.
"Beda, Abang. Kalau ada Rey rumah jadi ramai. Lagian kenapa Abang harus ke luar kota. Besok-besok jangan pergi lagi. Rey itu nggak butuh Mamanya seperti aku nggak butuh Ayah..... Rey itu cuma butuh Abang seperti aku yang butuh Abang sejak Ibu pergi...."
Hening, sepertinya di ujung telepon Dokter Rio sedang berkata.
"Abang itu bodoh kalau masih berniat rujuk. Istri macam apa yang tega meninggalkan suami dan anaknya. Pokoknya kalau sampai Abang rujuk aku nggak mau kenal sama Abang. Rey memang rindu sosok Mama, tetapi bukan berarti dari ibu kandungnya. Rara harus ngomong apa lagi sih biar Abang ngerti? Makan aja tuh cinta!"
Pranggg.
Andra yang awalnya sedikit terenyuh dengan perkataan Rara langsung syok saat melihat ponselnya di lempar hingga membentur tembok. Dia ingin marah tetapi urung ketika melihat Rara mengangkat kaki dan langsung memeluk lututnya, badannya makin bergetar kencang.
Rara, selama mengenalnya beberapa waktu dia tidak pernah melihatnya menangis. Wajah ceria dan masa bodoh lah yang melekat pada Rara. Namun kejadian hari ini berbalik 180 derajat, sukses membuat Andra gamang, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Wanita memang suka menyembunyikan perasaan dan kelemahannya bukan?
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top