Part 2 - Dia
"Kakkk!"
Andra mengerutkan dahi, berpikir sejak kapan saudara kembarnya Nada akan memanggil semanis ini. Seingatnya, sejak kecil dia selalu menolak jika diminta memanggil 'Kakak'.
"Pasti ada maunya," gerutunya yang dibalas dengan kekehan di ujung telepon.
"Datang ya di ulang tahun Si Kembar. Mereka nanyain om dokternya terus, Mama sama Papa juga nanyain. Kamu udah beberapa bulan nggak pulang loh, Ndra."
Nah kan, panggillan manisnya sudah menghilang.
"Aku sibuk, Nad. Nanti aku usahakan kalau bisa ambil cuti."
"Bah, terus abis itu pasti bilang nggak dapat cuti. Alasan basi!"
Andra terkekeh mendengar gerutuan adiknya. Bekerja adalah satu-satunya jurus untuk melarikan diri dari kampung halaman. Bukan karena tidak merindukan keluarga, tetapi dia hanya berusaha menjaga hati. Hatinya sudah cukup hancur enam tahun silam dan sekarang dia baru menyusun kepingannya menjadi satu.
Akhirnya Nada menyerah membujuk Andra dan memilih mengakhiri panggilan. Andra mengembuskan napas lelah. Kota Jogja, adalah kota yang membuat dia berhasil sekaligus gagal meraih mimpinya dan kini justru menjadi tempat pelariannya.
"Assalaamu'alaikum."
Andra baru saja akan bernapas lega karena tuntutan pulang ke Malang, ketika pengganggu lain sudah datang. Nia muncul di balik pintu, senyumnya merekah seakan dia sudah lupa akan kejadian kemarin. Kejadian saat dia memohon agar Andra segera menikah. Ke mana perginya wajah suntuk karena frustrasi itu?
"Wa'alaikumsalaam. Ada apa?" tanyanya malas. Dia seperti membaca ada hal yang tidak beres. Adik bungsunya ini pasti sedang merencanakan sesuatu, atau akan meminta sesuatu yang mustahil.
"Mama tadi telepon Nia."
"Lalu?"
"Kakak minggu depan diminta datang ke pesta kecil Si Kembar."
Andra menggeleng tidak percaya, begitu penting-kah kehadirannya sampai semua orang memintanya datang. Hebatnya lagi, dia sama sekali tidak terpengaruh dan tetap tidak berminat untuk pulang.
Nia yang melihat Andra bungkam langsung berdecak kesal. Sejak awal dia tahu kalau meminta kakaknya pulang selain Hari Raya adalah perjuangan. Namun, saat ini dia akan terus berjuang hingga kakaknya berubah pikiran.
"Jadi?" tanya Nia kemudian, di saat dia sudah bosan mendengar kediaman Andra.
"Insya Allah."
"Well, minimal 99,9% bisa. Pokoknya awas aja kalau sampai nggak datang. Kak Andra aku pecat jadi Kakak. Ah, ya, kita jalan bareng, ya? Nanti biar aku beliin tiket kereta."
"Nggak perlu, takutnya sia-sia kalau nggak dapat cuti. Kamu duluan aja, Dek."
Nia langsung memicingkan mata curiga kepada kakaknya. "Alibi, pasti ujung-ujungnya bilang maaf."
"Nggak percayaan," cibir Andra sambil mengusap rambut adiknya. Padahal hatinya sendiri membenarkan apa yang dikatakan Nia. Dia memang berniat menghindar.
"Ada makanan apa, Kak?" tanya Nia kembali. Mengacuhkan kata-kata Andra, dia memilih beranjak menuju dapur. Lalu, wajahnya berubah masam ketika membuka lemari es yang ternyata isinya masih kosong seperti kemarin.
"Kosong," gerutunya malas.
"Makanya kamu tinggal di sini. Terus isiin itu lemari es."
Nia kembali ke ruang tamu dengan tangan memegang segelas air putih. Dia mengambil duduk di samping Andra yang saat ini sudah menyalakan televisi.
"Makanya buruan nikah biar ada yg isiin itu lemari es," balasnya kemudian yang langsung membuat Andra terdiam.
"Sini, Kakak pinjam ponsel," pinta Andra sambil menyodorkan tangan.
"Buat apa?"
"Mau telepon Bara. Biar jemput kamu, daripada di sini berisik."
**
Andra menatap rumah yang ada di depannya dengan rasa haru. Keramaian yang terlihat di depan mata membuat rasa rindu kepada keluarganya kian membuncah. Setelah perdebatan dengan Nia, akhirnya dia memutuskan datang ke acara keponakannya. Matanya melirik kedua tangan yang membawa hadiah, kemudian dia tersenyum simpul. Si kembar pasti akan menyukai hadiah darinya.
Perlahan tetapi pasti, dia masuk ke dalam rumah. Matanya menemukan satu per satu orang yang dia sayangi, membuat senyum tersungging di wajah. Mulutnya baru saja akan terbuka untuk memanggil nama Si Kembar saat suara lain menginterupsi.
"Abang...."
Langkahnya mendadak terhenti dan senyum yang ada di wajah perlahan memudar. Panggilan ini, hanya satu orang yang selalu memanggilnya dengan sapaan ini. Satu orang yang sudah membuat mimpinya hancur. Tidak ingin menoleh ke belakang, Andra tetap melangkah menuju tempat keluarganya berkumpul. Setelah selesai berbasa-basi, akhirnya dia memilih berjalan menuju kebun belakang. Dia beralasan untuk mencari udara segar dan melepas lelah setelah perjalanan yang cukup panjang.
"Abang!"
Andra mengerang frustrasi, di saat dia ingin sendiri kenapa suara itu terus berputar di telinganya. Suara yang dulu sangat dia sukai, tetapi untuk sekarang suara itulah yang dia hindari.
"Abang masih marah sama Ara? Ara minta maaf, Bang. Maaf karena Ara nggak bisa nunggu Abang."
Kiara menarik napas panjang saat tidak ada jawaban dari badan tegap yang berdiri di hadapannya. Namun, bagaimanapun juga perasaan bersalah itu selalu menghantuinya. Dia merasa menjadi wanita paling kejam sejak Andra mendiamkannya. Hal itu membuat Kiara mengikuti Andra ke kebun belakang, melakukan hal yang seharusnya dia lakukan di tahun-tahun sebelumnya.
"Maaf karena Ara nggak bisa bertahan. Ara butuh seorang pendamping. Seorang yang ada di saat Ara butuhkan,,, yang ada di depan mata. Ara...."
Andra mencoba menulikan telinga saat mulut itu terus berbicara. Kalimat yang awalnya diucapkan dengan tegas berubah menjadi parau. Hatinya menjadi tidak tega ketika suara wanitanya berubah menjadi isakan kecil.
"Cukup! Sejak awal aku yang salah. Aku yang menggantungkanmu pada ikatan yang nggak jelas. Jadi, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu udah memilih jalan hidupmu di mana di sana nggak ada aku."
"Bang... Maaf...."
"Sudahlah, Ra, aku rasa nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi."
Andra memutuskan kembali masuk ke tempat acara, tetapi tidak lama kemudian dia langsung naik ke lantai dua. Dia butuh ketenangan, lagi pula dia masih tidak sanggup untuk melihat Kiara. Wanita itu hanya akan membuat dia semakin merutuki kebodohannya di masa lalu.
Sementara itu, Kiara menatap kepergian Andra dengan sendu. Dialah yang membuat lelaki itu menjadi dingin seperti sekarang. Dia adalah orang yang patut dipersalahkan atas apa yang terjadi kepada Andra. Namun, apa yang bisa dia lakukan ketika faktanya ada orang lain yang sudah menggantikan Andra di hatinya. Orang yang selalu ada di sisinya saat suka maupun duka, ketika Andra menjauh dari kehidupannya.
Cinta itu datang sebagai anugrah Tuhan tanpa pernah kita duga sebelumnya.
TBC
Niatnya sih mau mencoba kembali rutin update di hari Minggu seperti Bila,, tetapi ternyata telat juga #abaikan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top