D Gallery

"Sebelumnya saya ingatkan kembali kalau besok kita ada kunjungan ke museum memorial World War II, jadi jangan sampai besok terlambat datang." Ucap guru muda dengan kacamata yang berdiri dibalik meja guru dihadapanku.

"Morishima sensei kalau besok tidak ikut bagaimana?"

"Pastikan kau tidak punya jadwal liburan saat libur musim panas." Balasnya dengan senyum manis, berbeda sekali dengan ucapannya itu.

Ahh, sudah kuduga.

Aku suka sejarah tapi aku benci berpergian ketempat bersejarah atau semacamnya. Bukan karena membosankan, tapi karena tempat itu pasti akan sangat ramai dan aku benci itu.

"Hh." Aku menghela napas seraya melipat kedua tanganku diatas meja.

"Sudahlah berhenti berharap Morishima sensei akan memberimu izin, terkecuali kau mau menghabiskan masa liburan musim panasmu di sekolah."

Siswa bermata sipit yang tersenyum ramah disampingku ini berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis; terfokus pada catatan sejarah yang tengah dijelaskan oleh Morishima sensei.

"Kau yang paling tau alasanku tak mau datang, Reiji."

Masih terfokus kearah papan tulis, ia kembali mengukir senyum kecil di bibirnya.

"Pastikan saja kau tidak pergi jauh-jauh dariku, [Name]."

"Ya, akan kupastikan itu, asal kau mau berhenti menyelipkan seekor merpati didalam tas sekolahmu, Reiji."

Saat Reiji hendak membalas ucapanku, seseorang menginterupsi pembicaraan kami.

"Pstt... apa yang sedang kalian bicarakan?"

Aku melirikkan ekor mataku kearah pemuda berisik yang duduk tepat di depanku ini; Izawa Kazuo.

"Tak ada urusannya denganmu, Kazuo-kun!"

Aku balas menjawabnya dengan berbisik juga, lalu membenarkan posisi dudukku dan menggenggam pena.

"Ehh... tidak adil! Aku juga ingin ikut mengobrol dengan-- aww!"

"Izawa-san, saya rasa papan tulisnya berada didepan kelas."

Aku menunduk mencoba mengalihkan wajahku yang tengah menahan tawa saat melihat Morishima sensei berdiri didepan meja Kazuo dengan senyum manis dan sebuah gulungan buku ditangannya.

"Ah, itu.... uhm---- itu saya merasa pegal sensei, jadi saya mencoba memutar tubuh saya kebelakang seperti ini."

Kazuo memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri seperti hendak melakukan pemanasan.

Tapi Morishima sensei tetap tersenyum manis yang justru terlihat menyeramkan kearah Kazuo seolah alasan bodoh yang dilontarkan olehnya tadi hanya berpengaruh sedikit; atau memang sama sekali tak berpengaruh.

"Setelah pelajaran selesai bawa buku tugas kelas ke ruang sensei."

"Ehhh, tapi kan itu tugas untuk yang piket hari ini..." protes Kazuo, merajuk.

"Pilih bawa buku tugas atau merapikan perpustakaan sepulang sekolah?"

Not both, Kazuo.

Jika harus memilih mungkin membawa buku tugaslah yang terlihat ringan, tapi itu tidak berlaku jika Morishima sensei yang menyuruhnya. Guru muda lulusan universitas Tokyo itu tampangnya saja yang seperti malaikat, tapi sifatnya sangat berbanding balik dengan wajahnya. Aku berani bertaruh setelah mengantar buku tugas, Kazuo pasti disuruh macam-macam oleh Morishima sensei.

"Baik, baik akan kubawakan buku tugas ke ruangan sensei." Kazuo-kun menyetujuinya, walau wajahnya terlihat tak rela.

"Terima kasih Kazuo, kau mau menggantikanku membawa buku tugas ke ruang guru."

Celetukan dengan nada mengejek dari salah seorang siswa sontak membuat teman sekelas yang lain tertawa.

"Ryosuke! Itu bukan kemauanku!"

Balasan dari Kazuo-kun pun ikut menambah gelak tawa teman sekelas. Diantara gelak tawa teman sekelas aku mendengar gumaman salah seorang siswa yang duduk tepat di samping Kazuo-kun,

"Bodoh."

Yup, aku setuju dengannya.

Setelah puas memberi hukuman pada Kazuo-kun, Morishima sensei kembali menuju mejanya untuk melanjutkan penjelasan pelajaran yang sempat tertunda.

.

D Gallery
By
Yuzu Nishikawa
.
Joker Game © Koji Yanagi
Pict mulmed © to hillwithstar

Cast:
Reader[Name], Seto Reiji (Tazaki), Izawa Kazuo (Kaminaga), Katsuhiko Maki (Miyoshi), Shimano Ryosuke (Hatano), Morishima Kunio (Jitsui)
.
Don't Like, Don't Read!
.

"Pokoknya ini salahmu!"

Diantara riuhnya suara para siswa siswi di cafetaria SMA Yuuki, suara cempreng nan rendah dari pemuda bersurai coklat lebih mendominasi suara disekitarku.

"Kan sudah kubilang itu salahmu karena terlalu ingin tau Kazuo." Aku memutar bolamataku, jengah akan kelakuan Kazuo yang terus merajuk.

"Habisnya kalian hanya berbisik berdua, aku juga ingin tau apa yang sedang kalian bicarakan." Kazuo merebahkan kepalanya di atas meja, lelah setelah disuruh oleh Morishima sensei.

Ia bilang setelah mengantar buku tugas, Kazuo disuruh membantu Morishima sensei untuk menyiapkan bahan ajar untuk kelas lain, membuatkan kopi, serta membawakan buku tugas ke kelas lain. Untungnya walau terlihat bodoh dan kekanakan, Kazuo merupakan siswa pintar yang cekatan, hingga ia bisa dengan cepat menyelesaikan tugas yang diberi oleh Morishima sensei.

Poor Kazuo.

"Kau bisa bertanya saat pelajaran selesai, 'kan." Sahut Reiji, menanggapi dengan lebih sabar.

Kazuo hanya mengerucutkan bibirnya sebal, tak bisa membalas kata-kata Reiji.

Trak!

Suara nampan yang diletakan dengan kasar mengambil alih atensi kami. Ryosuke dengan wajah kesal meletakan nampan berisi makan siang yang kami pesan.

"Ini nasi kare, ramen dan udon pesanan kalian." Setelah mengucapkan hal itu ia menarik kursi disebelah Kazuo dan mengambil salah satu piring berisi nasi kare dari nampan.

"Terima kasih Ryosuke." Aku dan Kazuo secara kompak mengucapkan terima kasih dengan nada manis.

"Dasar teman sial, sudah tau menu ramen dan udon itu merupakan menu populer para siswa dan dengan teganya kalian justru memesan itu saat aku kalah janken."

"Justru karena kau kalah janken kami memesan makanan yang sulit didapatkan." Ucapku seraya membuka bungkus sumpit.

"Sebagai balasan karena kau tadi meledekku di kelas." Balas Kazuo seraya menangkupkan tangannya didepan dada.

"Dasar--"

"Sudahlah Ryosuke, kau kan bisa membalasnya nanti kalau menang Janken." Ucap Reiji mencoba menenangkan Ryosuke yang terlihat kesal, lalu mengambil nasi kare pesanannya.

Ryosuke menghela napas sebelum menyantap nasi Kare miliknya.

"Oh iya ngomong-ngomong dimana Maki?"

"Aku disini."

Suara rendah yang lembut itu terdengar tepat dibelakangku. Aku menoleh mendapati Maki berdiri dibelakangku dengan nampan berisi makan siang komplit; bergizi seimbang. Ia menarik kursi disebelah kiriku dan mendudukinya.

"Kau habis darimana?" Tanya Kazuo dengan mulut penuh.

"Telan dulu makananmu sebelum bertanya Kazuo, itu menjijikan." Ujar Maki memandang jijik. Ia mengeluarkan kertas dari dalam sakunya dan mendorongnya ke tengah meja, "Ini kelompok untuk kunjungan museum besok."

"Coba kulihat." Ryosuke menarik kertas itu dan membaca nama kelompok 4 kelas 2-D, "Izawa Kazuo, Katsuhiko Maki, Shimano Ryosuke, Seto Reiji, [Full Name], kita satu kelompok lagi."

"Seperti yang diharapkan dari Morishima sensei." Sahut Reiji lalu menyuapkan sesendok nasi kare kedalam mulutnya.

"Heee, besok pasti akan menyenangkan karena kita satu kelompok." Celetuk Kazuo.

Ya, menyenangkan untuk kalian tapi tidak untukku. Lihat saja tatapan para siswi ke meja ini, itu benar-benar menyebalkan untukku karena semua pemeran utama sekolah berada dalam satu meja.

Ahh benar, sebaiknya kuperkenalkan para pemeran utama sekolah ini.

Pertama, Seto Reiji. Kelas 2D, tinggi 173cm ketua klub Kendo. Pembawaan yang tenang dan dewasa, dapat diandalkan membuatnya populer diantara para siswa dan siswi. Oke, sebenarnya tidak masalah jika aku satu kelompok dengannya, karena ia adalah tetangga sekaligus temanku sejak kecil.

Kedua, Shimano Ryosuke. Kelas 2D tinggi 162cm, badannya memang kecil tapi dia merupakan ketua klub Judo dan anggota klub Karate. Sahabatku sejak SMP. Walau ia terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitar, ia termasuk orang yang peka. Ia juga tak akan segan-segan jika melihat adanya kekerasan yang terjadi disekitarnya. Itulah yang membuatnya populer diantara para siswa dan siswi.

Ketiga, Izawa Kazuo. Kelas 2D, tinggi 173cm ketua klub basket. Pembawaannya yang ceria, pandai bergaul, ramah dan baik membuatnya populer diantara para siswi. Ahh, ia adalah sahabat Reiji saat SMP, karena aku dan Reiji berbeda SMP, maka dari itu saat SMA secara otomatis aku pun dekat dengannya. Bisa dibilang dia ini musuh para pria, tapi para siswa tidak menganggapnya seperti itu.

Terakhir, Katsuhiko Maki. Kelas 2D, tinggi 168cm ketua klub Seni. Teman kecil Kazuo. Sifatnya yang tenang dan seolah dapat mengetahui apapun itu justru menjadi daya tarik tersendiri, terlebih ia merupakan ketua kelas 2D sekaligus ketua OSIS dan juga siswa peraih nilai ujian tertinggi seangkatan membuatnya terkenal diantara para siswi.

Jika kalian pikir betapa beruntungnya aku bisa berteman dengan para pria tampan dan populer ini, kalian salah besar. Bersahabat dengan mereka tidak sepenuhnya menyenangkan, karena tak ada seseorang yang sempurna, dengan kata lain aku mengetahui sisi buruk mereka.

Reiji si maniak merpati dan trik sulap, waktu kecil hal itu memang menyenangkan untuk dilihat tapi setelah dewasa hal itu menjadi menyebalkan.

"Oi, Reiji kenapa kau menyelipkan nasi kedalam gakuran?"

"Oh, Hato pun butuh makan siang."

"Kau membawa merpati kedalam sekolah, lagi!!"

Ryosuke si kurang ajar. Walau peka tapi mulutnya yang kurang ajar itu benar-benar minta dihajar.

"Oi [Name], sebaiknya saat pulang sekolah nanti kita menyelinap ke kamar Reiji untuk mengambil merpatinya dan menggorengnya sebagai makan malam. Tapi sebelum kita menyelinap lewat kamarmu, sebaiknya kau rapikan dulu pakaianmu yang berserakan, terakhir aku melihat bra dan celana dalammu tersangkut di gagang pin-- AW! [Name] Kuso, kenapa memukul kepalaku?"

Kazuo si playboy ahh maksudnya womanizer atau apapun itu menurutku sama saja.

"Ryosuke kau tidak boleh membicarakan barang pribadi wanita terang-terangan seperti itu! Oh ponselku bergetar. Siapa yang menelpon-- Halo, Shiori-chan... goukon tentu saja aku ikut... Ehh, kau mau aku mengajak Maki dan yang lainnya.... uhm, oke aku tanyakan dulu, nanti kuhubungi lagi, jaa nee."

Maki si narsis, selain narsis mulutnya juga sangat lihai dalam mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati. Lalu jangan lupakan cermin kecil yang selalu dia bawa di sakunya.

"Sebelum kau memintanya dengan senang hati aku menolak Kazuo."

"Kenapa? Mereka cantik-cantik dan juga lucu, kau tidak akan menyesal ikut goukon kali ini Maki."

"Aku punya tipe tersendiri untuk gadis yang akan ku kencani. Lagipula mencari gadis dari acara goukon itu sangat tidak berkelas—ck, kenapa cafetaria hari ini sangat panas, merusak tatanan rambutku saja."

Aku menghela napas sekali lagi, menatap kelakuan para pemuda yang menjadi daya tarik utama para siswi disekolah. Kazuo yang berusaha membujuk Ryosuke untuk ikut goukon dan dengan kesal ditolak oleh Ryosuke dengan mulut kurang ajarnya. Reiji yang sibuk dengan peliharaan terselubungnya, juga Maki yang sibuk dengan cermin kecil ditangannya itu.

.

Setelah menghabiskan satu mangkuk ramen aku berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam untuk mengerjakan tugas.

"Permisi."

Aku menggeser pintu perpustakaan dan seperti biasa, tempat ini menjadi tempat paling sepi saat jam istirahat. Hanya ada petugas perpustakaan yang terlihat begitu santai membaca.

"Kau rupanya [Name]."

"Halo, Gamou-san. Aku mau mengembalikan buku, dan meminjam beberapa buku sejarah."

"Letakan saja bukunya di meja. Kau tau kan letak rak buku sejarah?"

"Tentu."

Setelah bercakap singkat dengan petugas perpustakaan. Aku berjalan menuju deretan rak buku paling ujung dan paling belakang. Sebelum menuju rak yang kutuju, aku mengintip sedikit dan mendapati sosok pria yang terfokus di bangku perpustakaan.

Aku tersenyum kecil, lalu mengambil asal buku sejarah dan berjalan menuju bangku disebelahnya.

"Ehem."

Aku berdeham lalu mulai membuka asal halaman dalam buku tersebut, dan membacanya dengan bersuara; tolong ingatkan kembali jika di perpustakaan dilarang berisik.

Jika kemarin buku yang kubaca adalah buku sejarah perang dunia pertama, kali ini buku sejarah yang tengah kubaca adalah sejarah perang dunia II, hitung-hitung belajar sebelum kunjungan besok ke museum. Tapi siapa sangka jika buku kali ini berhasil menarik minat pria yang duduk di sampingku ini. Aku menoleh lalu dengan senyum manis menawarkan padanya, "mau baca bersama?"

Dia tak bersuara untuk menjawab pertanyaanku, ia hanya sekedar mengangguk pelan sebagai responnya. Aku menggeser buku tepat ditengah agar kami bisa membacanya bersama, dan hening. tak ada satu pun dari kami yang mengeluarkan suara.

"Permisi."

Suara ini.

Aku menghela napas saat suara rendah yang sedikit cempreng terdengar serta suara teguran dari Gamou-san. Tak lama terdengar derap langkah kaki mendekat kearahku, disusul tiga sosok yang baru saja bersamaku saat makan siang tadi.

"[Name]-chan, ayo kita pulang." Ujar Kazuo.

"Karena besok kita ada kunjungan museum, hari ini para guru rapat jadi kita dipulangkan." Jelas Reiji.

"Yah hari ini juga tak ada kegiatan klub, jadi kami memutuskan untuk main game di rumahku."

"Bukannya kau ada goukon, Kazuo?"

"Mereka membatalkannya. Habis Maki, Reiji dan Ryosuke tak mau ikut." Jawab Kazuo seraya menunjuk dua orang disampingnya.

"Lagipula kenapa sih kau betah sekali sendirian di perpustakaan."

"Aku tidak send--" saat aku menoleh pria yang duduk di sampingku sudah pergi. Ini pasti karena kedatangan mereka, "ya aku suka duduk sendirian di perpustakaan, lagipula aku tidak sepenuhnya sendirian. Toh, didepan ada Gamou-san."

"Hati-hati lho [Name]-chan bisa-bisa kau diterkam oleh hantu, atau lebih parahnya mungkin kau di terkam Gamou-san, rawr." Ucap Kazuo, meledek.

Aku hanya mendengus geli mendengar ucapan Kazuo, lalu beranjak sembari membawa buku sejarah yang tadi kubaca. "Memangnya hantu bisa berteriak rawr. Hati-hati lho Kazuo, bisa-bisa kau yang diterkam terlebih dahulu oleh Gamou-san."

"Eh~ mak-- ittai! Siapa sih yang memukulku... hehe, halo Gamou-san."

De javu

Hal yang terjadi dikelas kini terulang lagi di perpustakaan. Aku hanya menahan tawa saat melihat Gamou-san yang berdiri dibelakang Kazuo dengan buku yang tergulung ditangannya, sedangkan Reiji dan Ryosuke sedang mati-matian menahan diri agar tak tertawa.

"Sudah ketemu yang dicari? Sana pulang sekarang bocah!" Omel Gamou-san.

Kazuo hanya memberi cengiran lebar khasnya, lalu beranjak bersama dengan Ryosuke dan Reiji yang terkekeh melihat hal itu. Aku sendiri hanya tertawa kecil melihat kelakuan Kazuo yang terkadang konyol dan berbicara pada Gamou-san untuk meminjam buku.

.

Aku menguap dengan mulut terbuka lebar saat turun dari bus yang mengantarkan kami ke museum. Kemarin aku main game semalaman dirumah Ryosuke bahkan makan malam disana; karena Maki baru ikut bergabung saat matahari sudah terbenam. Susah sih ya ketua komite yang punya banyak kesibukan. Untungnya Morishima-sensei bersedia mengantar kami pulang dengan mobilnya, jadi aku tak perlu takut pulang malam. Sekedar informasi, sebenarnya Morishima-sensei adalah sepupu Ryosuke. Jadi, ya kurang lebih kami sangat akrab dengannya. Walau tingkah iblis berwajah malaikatnya tetap berlaku di rumah Ryosuke.

Saat ada saputangan yang menutup mulutku, aku sontak menoleh.

"Kau itu perempuan bertindaklah yang sopan dan anggun, tutup mulutmu saat menguap."

Aku hanya memutar bola mataku jengah kearah Maki. Ya siapa lagi yang akan protes selain dia jika kelakuanku terlihat tak sopan atau tak terlihat anggun layaknya wanita.

"Ya, maaf. Aku tak tahan untuk menguap jadi tanpa sadar--"

"Tapi bukan berarti kau tak bisa menutup mulutmu dengan tangan, bukan?" Ucap Maki memotong ucapanku.

Aku menghentakan kaki kesal lalu berjalan menyusul Reiji yang sudah terlebih dahulu berjalan didepan kami. Percuma, mau debat seperti apapun Maki selalu dapat membalas ucapanku.

"Kenapa mukamu itu?" Tanya Reiji saat aku menarik lengan jasnya.

Karena saat ini kami mengunjungi museum perang dunia II, jadi para guru di sekolah kami sepakat untuk memakai pakaian khas seperti saat masa itu untuk menyesuaikan diri. Unik sekaligus menyusahkan.

"Diceramahi Maki tentang tata krama dan sopan santun atau sebagainya." Ucapku kesal dalam satu tarikan napas.

"Karena?"

"Aku menguap dengan mulut terbuka lebar."

"Lho, kalo mulutmu tak terbuka lebar, kau tidak bisa menguap 'kan?"

Aku menghela napas pasrah, menyadari jika sahabatku yang satu ini tingkat kepolosan dan kebodohannya beda tipis.

"Sudahlah, lupakan saja."

Aku berjalan meninggalkan Reiji, dan kini berjalan menghampiri Kazuo. Tapi hal itu tak jadi kulakukan saat melihatnya dikelilingi oleh wanita.

"[Name]."

Oh Ryosuke, sahabat terbaikku.

"Ada apa, Ryosuke?" Tanyaku dengan nada manis.

Ryosuke berhenti beberapa meter dari tempatku berdiri dengan dahi mengernyit dalam, "ada apa denganmu? Apa kau kerasukan arwah penunggu museum?"

Aku memelototi Ryosuke lalu mencoba memukul bahunya, walau ia bisa menghindari itu dan membalas dengan menjulurkan lidah meledekku.

"Kenapa memanggilku, huh!?"

"Nah, ini baru [Name] yang biasanya."

Boleh kutarik suspender yang dipakainya itu.

"Kunio menyuruh kita untuk kumpul berkelompok."

"Sudah kubilang 'kan, kalau di sekolah panggil aku Morishima-sensei."

Morishima-sensei muncul dibelakang sepupunya itu lalu menepuk pelan kepala Ryosuke. Hoo, cara berpakaian mereka terlihat mirip, terlebih mereka sama-sama memakai kacamata, kalau seperti ini mereka terlihat seperti anak kembar.

"Sebentar lagi kita masuk ke museum, tolong kumpul berkelompok dan jangan berpencar, oke."

.

"Kau tidak menyelipkan hato dibalik jasmu 'kan?"

Reiji mengerucutkan bibirnya lucu lalu membalas ucapanku dengan suara sendu, "tadi pagi kan kau sendiri yang mengurung hato dikandangnya dan melempar kunci kandangnya keluar jendela."

"Nice, [Name]." Ucap Ryosuke dan Kazuo secara kompak sembari mengacungkan jempolnya kearahku.

"Aw~ maaf Reiji sayang, aku memisahkanmu dari hato-chan." Ucapku dengan nada manis yang dibuat-buat, "habis kalau kau membawa merpatimu itu, kau tidak akan memperhatikanku 'kan."

"Kalau orang lain yang lihat, mereka pasti berpikir kalian berpacaran." Ujar Ryosuke.

"Kenapa? Kami sudah biasa seperti ini dari kecil." Balas Reiji, dan aku mengangguk menyetujui ucapan Reiji.

"Mana ada seorang sahabat saling memanggil sayang seperti itu dan bertingkah seperti sepasang kekasih."

"Lagipula aku sudah menganggap Reiji sebagai kakakku sendiri."

"Dan aku menganggap [Name] sebagai adikku."

"Kalau urusan seperti ini otak kalian yang pintar itu tak berfungsi ya."

"Kenapa jadi disangkut pautkan dengan kepintaran kami?" Protes Reiji.

"Memangnya ada peraturan tertulis yang menyatakan seorang sahabat dilarang saling memanggil sayang dan merangkul satu sama lain."

"Hh, sudahlah tak ada habisnya jika membahas masalah kalian."

"Kenapa sih kau terlihat sensitif seperti itu Ryosuke? Kau juga ingin kupanggil sayang."

"Apa!? Tidak. Hentikan berpikir seperti itu, menjijikan."

"Heee~ aku mau dipanggil sayang oleh [Name]-chan."

"Tidak mau. Sudah terlalu banyak yang memanggilmu sayang, Kazuo."

"Itu tak adil [Name]-chan, kenapa Ryosuke dan Reiji boleh tapi aku tidak."

Aku menghela napas, percuma menolak apa yang diinginkan Kazuo. Dia pasti akan terus memaksa sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Baiklah. Kalau begitu bisa kau tutup mulutmu yang cerewet itu Kazuo sayang?"

Mendengar apa yang diinginkannya kuucapkan, Kazuo memelukku dari belakang lalu mengusap-usap pipinya dirambutku seraya berkata, "[Name]-chan manisnya~."

"Kalian berhenti berceloteh, Morishima-sensei memperhatikan kita daritadi." Tegur Maki.

Mendengar kata 'Morishima-sensei memperhatikan' dengan sigap kami kembali berpura-pura fokus pada petugas museum yang tengah menjelaskan perjalanan tentara kekaisaran Jepang saat perang dunia II.

Saat kami hendak pindah ke ruangan yang lainnya, seseorang pria berjas lewat didepanku, secara otomatis membuatku berhenti melangkah sembari menarik lengan jas Reiji.

Reiji menoleh kesamping dengan dahi mengernyit, sedetik kemudian ia mengerti setelah melihat raut wajahku. Ia menepuk lembut kepalaku seraya berbisik, "tidak apa-apa. Aku disampingmu."

.

"Kalian sudah mencatat semua yang dijelaskan oleh petugas museum tadi?" Tanyaku dengan dahi mengernyit curiga.

"Sudah." Jawab Maki, Kazuo, Reiji dan Ryosuke dengan kompak.

"Dimana? Aku tak lihat kalian memegang pen dan buku."

Dan sekali lagi mereka dengan kompak menunjuk kearah kepala mereka masing-masing, lalu mengetuknya dua kali dengan jari telunjuk.

Dasar bocah pintar sialan!

"Hah! Begitu. Kudoakan semoga kepala kalian tak terbentur sesuatu dan melupakan semua penjelasan petugas museum tadi." Setelah mengatakan hal itu aku berjalan menuju sebuah mesin yang dipajang di museum, entah mesin apa ini.

Sekarang sudah jam bebas. Kami boleh berkeliling di museum tapi tetap harus berkelompok.

"Tertarik dengan kamera jaman dulu, [Name]-chan?"

Aku menoleh ke samping, mendapati Kazuo yang juga ikut memperhatikan mesin yang ternyata sebuah kamera jaman dulu dengan penuh minat. Aku tau, Kazuo memiliki minat lebih pada bidang photografi jadi dia pasti berminat dengan segala macam kamera.

"Tidak juga. Aku hanya penasaran ini mesin apa tadi. Ngomong-ngomong mana yang lainnya?"

"Toilet. Reiji dan Ryosuke ingin mencuci muka karena mengantuk, sedangkan Maki.... ya kau tau sendiri."

Aku hanya tertawa kecut mengerti maksud dari ucapan Kazuo.

"Kazuo-kun."

Terdengar suara teriakan wanita dari arah belakang kami. Kazuo menoleh, lalu balas melambaikan tangan pada mereka.

"Aku kesana dulu [Name], kau mau tunggu disini sampai yang lain kembali atau ikut kesana denganku?"

Aku menoleh dari balik bahu, menatap segerombolan siswi yang merupakan teman wanita Kazuo dengan pandangan tak berminat.

"Tidak, terima kasih. Sana pergi." Ucapku tak peduli seraya mengibaskan tangan mengusirnya.

Kazuo menepuk kepalaku pelan lalu berlari kecil kearah para teman wanitanya.

Aku kembali fokus melihat kamera jaman dahulu di hadapanku ini, bagaimana cara pakainya, dan sepertinya tidak sepraktis kamera jaman sekarang.

Mungkin nanti aku bisa tanya pada Kazuo.

Fokusku terusik saat merasakan pandangan tajam menusuk dari arah depanku, membuatku mendongkak dan bersitatap dengan seorang pria berkacamata yang menatap penuh minat seolah ia ingin berbicara denganku.

Aku membuang muka darinya, lalu menoleh mencari kemana teman sekelompokku pergi. Saat pria itu terlihat hendak menghampiriku, aku segera berjalan menjauh, keluar dari ruangan tersebut tanpa menoleh sedikitpun.

.

"Dia sudah tidak mengikutiku, 'kan?" Aku mengintip sedikit dari balik patung menatap ke sekitar apakah pria tadi masih mencoba mengikutiku atau tidak.

"Ngomong-ngomong dimana aku?" Aku menatap ke sekeliling, dihadapanku ada begitu banyak jalan menuju lorong yang tak kuketahui bagaimana ujungnya, dan bagaimana caranya aku bisa berakhir ditempat ini. Ugh, ini pasti karena aku tadi berjalan tanpa memperhatikan sekitar.

Bagaimana ini, jalan mana yang harus kupilih untuk kembali keruangan tadi. Apa kupilih jalan yang tengah saja?

Kuputuskan untuk mengambil jalan yang tengah. Aku melangkah memasuki lorong tersebut, tapi baru dua langkah aku berjalan kurasakan seseorang berlari dibelakangku. Aku menoleh dengan cepat dan menangkap sosok pria yang masuk kedalam lorong disebelah kiri.

Tunggu, rambut coklat kemerahan itu.

"Maki! Hei Maki tunggu aku!"

Aku berbalik arah, dan berlari mengejar Maki memasuki lorong gelap disebelah kiri dengan bantuan sinar lampu dari layar ponselku.

.

Aku sampai disebuah ruangan gelap penuh dengan benda seni artistik dari lukisan, pahatan patung, hingga berbagai macam benda seni lainnya.

"Maki!" Aku berteriak memanggil Maki seraya mengarahkan sinar dari layar ponselku ke berbagai macam arah.

"Hei Maki berhenti bercanda, ini tidak lucu!" Teriakku kesal.

"Maki! Kau keluar dari karaktermu. Kau itu bukan Ryosuke atau Kazuo yang bisa melakukan hal jahil seperti ini!" Sekali lagi aku berteriak tapi tak ada sahutan dari pria narsis itu.

Aku menghentakan kaki lalu berjalan maju beberapa langkah, masih tetap menyinari segala penjuru ruangan dengan ponselku. Sampai aku menyinari kearah sudut yang agak jauh dari tempatku berdiri terlihat seorang pria mengintip dari balik tembok dengan seringaian dibibirnya tapi aku tak bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya, walau begitu aku mengenali rambut merah kecokelatan itu.

"Katsuhiko Maki!" Ucapku geram dengan penuh penekanan disetiap katanya, "berhenti bercanda sialan!"

Aku berlari kearahnya, tapi ia pun ikut berlari. Aku mengarahkan ponselku ditempat tadi ia mengintip dan hanya ada beberapa anak tangga menuju lantai 2.

Dia pasti lari keatas.

Aku menaiki anak tangga dengan hati-hati dan melihat sekelebat tubuhnya memasuki sebuah ruangan. Aku berlari kearah ruangan tersebut dan mendapati sebuah pintu berkayu jati dengan ukiran huruf D di pintunya.

"Ck, ada apa sih denganmu hari ini Maki. Berhenti main petak umpetnya." Ujarku kesal seraya membuka pintu tersebut dan menutupnya kembali.

Aku berdiri dibalik pintu dan kembali menyinari ruangan di hadapanku seraya berteriak memanggil Maki.

"Maki Keluarlah. Aku tau kau sembunyi diantara tumpukan barang tertutup kain itu. Memangnya kau tidak risih berada ditempat kotor seperti itu, bagaimana kalau rambutmu yang indah itu jadi rusak."
Ahh, tunggu. Apa peduliku dengan rambut Maki.

"Apa kau melakukan ini karena ide jahil Kazuo dan Ryosuke? Atau permintaan Reiji karena aku mengurung burung kesayangannya itu? Hei Ma--"

"Peek-a-boo...."

"Kyaaaaaaa..."

Aku memutar tubuhku dan mundur beberapa langkah kebelakang hingga tak sengaja terjatuh saat suara lirih itu terdengar menggelitik telingaku. Aku mengarahkan ponselku ke pintu dan disanalah terlihat sosok Maki berdiri seraya terkekeh kecil.

"Itu tak lucu Maki!" Ucapku geram karena kejahilannya.

"Aku tidak bilang ini hal yang lucu." Ucap Maki seraya mengulurkan tangannya kesamping dan saat itu juga lampu diruangan ini menyala.

Aku menghela napas lega karena pengelihatan disekelilingku tak lagi gelap dan menutup ponsel flipku lalu beranjak bangun.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku seraya menepuk-nepuk rokku yang kotor.

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, apa yang kau lakukan disini." Ujarnya balik bertanya.

"Itu karena aku mengikutimu."

"Aku tak menyuruhmu untuk mengikutiku."

Dia ini.... boleh aku acak-acak rambut kebanggaannya itu.

"Kalau begitu kenapa kau kesini?"

"Apa pedulimu. Itu bahkan bukan urusanmu."

Aku benar-benar kesal sekarang. Tanganku terangkat hendak mengacak rambutnya, tapi dengan cepat ia berkelit lalu menatapku dengan tajam seraya berkata, "jangan coba-coba untuk menyentuh rambutku."

"Tch, dasar narsis!" Cibirku padanya tapi Maki terlihat tak peduli dengan cibiranku.

"Tapi kebetulan kau ada disini, bantu aku sekarang."

"Bukankah kau bilang ini bukan urusanku, untuk apa aku membantumu." ucapku sarkatis.

"Kalau begitu pergilah dari sini." ucapnya tidak peduli, lalu berjalan ke tengah ruangan melewatiku dengan acuh.

Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan kesal, berjalan menyusulnya ketengah ruangan dan melipat tangan didepan dada seraya berkata, "baiklah kalau begitu aku ban-- kyaaaa."

Tanpa mengatakan hal apapun lagi, Maki melingkarkan tangan kanannya dipinggangku sedangkan tangan kirinya berada dibawah bokongku dan mengangkatku secara perlahan hingga kakiku melayang dari permukaan lantai membuatku secara otomatis berpegangan pada bahunya.

"Apa yang mau kau lakukan?!"

"Ulurkan tanganmu ke langit-langit, lalu raba. Jika tanganmu merasakan permukaan atap yang halus cari benang tipis dan tarik perlahan." perintah Maki tanpa menghiraukan emosi yang terlihat jelas dari raut wajahku.

Aku mengulurkan kedua tanganku keatas, tapi hal itu membuatku kehilangan keseimbangan. Maki mengeratkan pelukan tangannya dipinggangku mencoba menjaga keseimbangan, tapi hal itu justru berefek pada kulit wajahku yang mulai memanas hinga menampakan semburat merah.

"Apa yang kau lakukan? Cepat periksa."

"A-aku mengerti."

Aku mendongkak dan melakukan hal yang diperintahkan Maki, sekaligus menghilangkan rona merah diwajahku. Aku meraba sekitar langit-langit dan saat tanganku mendapati sebuah benang tipis, aku menariknya dengan perlahan.

"Aku menemukan benangnya Maki."

"Tarik sampai aku bisa menggapainya, setelah itu aku akan menurunkanmu."

Aku mengangguk, lalu menarik benang tersebut hingga panjangnya bisa dicapai oleh Maki. Tapi secara tiba-tiba Maki melonggarkan pelukan tangannya, membuatku merosot turun dan sebelum kakiku menyentuh lantai dengan keras tangannya kembali memeluk tubuhku lalu menurunkanku pelan-pelan.

"Tak bisakah kau bilang terlebih dahulu kalau mau menurunkanku!" Ucapku memprotes tapi sedetik kemudian aku membisu saat menyadari wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Tatapanku terkunci tepat dimaniknya yang memikat itu.

"Bukankah aku sudah bilang, setelah aku bisa menggapainya aku akan menurunkanmu dan berhentilah menatapku seperti itu atau kau akan jatuh pada pesonaku." ucap Maki acuh, seraya menarik benang tersebut hingga sebuah tangga rahasia turun dari langit-langit.

Aku mengalihkan wajahku yang memanas darinya dan menyahuti ucapannya itu. "Tapi tidak secara tiba-tiba seperti itu! Dan aku berbeda dari siswi sekolah yang gampang jatuh dalam pesonamu itu."

Demi kamisama sebenarnya apa sih yang terjadi dengan Maki. Dia memang menyebalkan tapi kali ini dua kali lipat lebih menyebalkan dari biasanya. Lalu lihat, dia malah mengacuhkanku dan malah menaiki anak tangga tersebut keatas, membuatku mau tak mau ikut menapaki anak tangga itu.

Kami sampai diruang rahasia yang berisi beberapa tumpukan kotak kayu. Tempatnya kotor berdebu dan tak ada penerangan apapun sehingga mau tak mau aku mengeluarkan ponsel flipku dan menyinarinya dengan cahaya dari ponselku. Maki mulai membongkar satu persatu kotak tersebut tanpa mengacuhkanku.

"Sebenarnya apa yang sedang kau cari? Aku bantu biar cepat kau temukan."

"Cari dokumen hitam dengan ukiran huruf 'D' berwarna emas, dan jangan buka isinya!"

Aku hanya berdecih dan mulai membantunya mencari apa yang dibutuhkan. Kulihat dari dokumen-dokumen dalam kotak kurasa dokumen ini adalah dokumen lama, mungkin salah satu properti museum tapi kenapa diletakan didalam kotak dan ditaruh di tempat rahasia seperti ini, dan untuk apa Maki mencarinya? Apa jangan-jangan selama aku tersesat tadi para guru mengadakan mini games untuk menemukan dokumen yang Maki cari ini.

Ahh, aku tak tau yang jelas aku harus mencari dokumen yang diinginkan Maki dan keluar dari tempat ini bersamanya lalu kumpul kembali bersama dengan Reiji, Kazuo dan Ryosuke.

Mataku terpaku pada sebuah dokumen yang terlihat begitu usang berwarna hitam dan disampulnya terdapat ukiran huruf 'D' yang warnanya sudah memudar.

"Maki apa benda ini yang kau cari?" tanyaku seraya mengacungkan dokumen usang tersebut.

Maki merebut dokumen tersebut secepat kilat, lalu melihat baik-baik dokumen itu dengan membolak-balik sampul depan dan belakangnya. Ia mengukir senyum kecil lalu berucap, "kerja bagus."

"Jadi bisakah sekarang kita kembali pada yang lainnya? Aku takut Morishima-sensei dan yg lain khawatir."

"Kau ingin kembali sekarang?"

Aku mengernyit dahi bingung, memangnya dia tak mau kembali. Tapi pada akhirnya aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya. Maki tak merespon jawabanku, ia beranjak berdiri dan berjalan ke salah satu dinding kayu diruangan tersebut, lalu dengan sedikit dorongan dari tangannya, dinding kayu tersebut terbuka. Sekali lagi aku dibuat terkejut olehnya. Bagaimana bisa ia tau berbagai tempat dan jalan rahasia di gedung ini.

Aku berdiri lalu mengikuti langkah Maki keluar dari ruangan tersebut. Saat aku keluar melalui pintu kayu yang dibuka Maki, aku mendapati puluhan anak tangga. Maki terlihat menaiki anak tangga tersebut dengan dokumen dalam genggaman tangannya.

"Hei Maki, kau sebenarnya mau kemana? Kita harus kembali."

Setelah menutup kembali tembok kayu tersebut, aku berlari mengejar Maki yang terus menaiki anak tangga tanpa mempedulikan teriakanku. Sampai akhirnya langkah kaki Maki berhenti tepat didepan pintu yang begitu dibuka terlihat kalau pintu itu adalah pintu diatap gedung ini.

Kali ini aku berhasil mengejarnya, dan menarik bahunya hingga tubuhnya berputar kearahku.

"Kau ini kenapa sih? Kenapa aneh sekali. Kita harus kembali pada yang lain."

"Kau bilang ingin kembali pada yang lain, dan aku mencoba membantumu untuk kembali."

"Apa maksudmu? Dan, apa yang mau kau lakukan dengan benda itu?" Tanyaku seraya melirik dokumen usang dalam genggaman tangan Maki.

"Aku ingin melenyapkannya." Ucapnya dengan datar.

Mataku terbelalak lalu dengan secepat kilat aku menyambar dokumen usang tersebut dari tangan Maki seraya berkata, "kau bener-bener sudah gila Maki! Kau ingin merusak properti museum, hah!? Apa kau stres dengan tugas dewan kesiswaan dan tugasmu sebagai ketua kelas hingga akhirnya kau mengacau!"

Maki tak menggubris omelanku, ia hanya menatapku datar dan sedetik kemudian mengukir senyum ganjil. Saat itulah aku merasakan perasaan buruk akan terjadi. Aku memeluk dokumen usang itu lalu mundur menjauhi Maki. Tapi dengan santainya ia terus tersenyum menyeramkan, dan berjalan selangkah dua langkah mendekatiku.

"Maki, kau kenapa? Kau benar-benar membuatku takut."

"Kebetulan 'kan, kau ingin kembali dan aku ingin melenyapkan dokumen tersebut."

"Hei, apa maksud--" aku berhenti berbicara saat keseimbangan tubuhku oleng ke belakang. Salah satu tanganku terulur hendak menggapai sesuatu untuk digenggam, tapi tangan Maki sudah terlebih dahulu melingkar dipinggangku dan sebelah tangannya menangkap tanganku, saat itulah kurasakan tangan dingin Maki menyentuh kulitku secara langsung.

Aku mendongkak, menatap Maki dengan keringat dingin yang mulai membasahi dahiku. Maki kini terlihat memiliki aura gelap disekelilingnya, dan senyum yang terukir di bibirnya terlihat begitu misterius.

"Kerja bagus. Kau benar-benar bisa diandalkan, kau bisa kembali sekarang dan tolong lenyapkan benda tersebut."

"T-tidak Maki.... kumohon jangan lepas genggamanmu." Ucapku memohon, melirikan mataku kebawah dan disana hanya ada kegelapan yang terlihat tak berdasar.

Bagaimana bisa?! Seingatku gedung ini hanya terdiri dari empat lantai, kenapa tak terlihat dasarnya. Sebenarnya aku ada dimana.

"Ma----" mulutku seperti dibungkam dengan cepat oleh suatu hal yang baru saja kulihat sekarang ini.

Kemeja putih bersih yang dipakai Maki kini terlihat bernoda merah, seolah kemeja tersebut meresap cairan kental bernama darah dari dalam tubuh Maki. Terlebih saat darah kental mengalir dari sudut bibir Maki yang masih menyunggingkan senyum janggal, membuatku benar-benar ketakutan.

"Aku tidak akan melepas genggamanku. Tapi kau sendiri yang ingin kembali, bukan? Maka dari itu aku harus merelakan kepergianmu."

Perlahan, tapi pasti. Tubuh Maki mulai menjadi transparan dan tangannya yang memeluk pinggangku mulai menembus tubuhku yang perlahan semakin kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari atap gedung tersebut. Senyum misterius yang terukir dibibirnya kini berubah menjadi senyum lembut yang menawan.

"Maki... ti---"

"Kuharap kau benar-benar melenyapkan dokumen tersebut, terima kasih. Dan kau bisa memanggilku...."

Itu adalah hal terakhir yang kudengar darinya sebelum tubuhku benar-benar jatuh bebas kebawah dan perlahan senyum lembut Maki terlihat semakin menjauh.

.

"TIDAAKK!!!"

Aku menjerit dan beranjak bangun dengan dahi basah oleh keringat dingin serta tubuh yang gemetar. Dihadapanku kini terlihat dua orang pria dan seorang wanita tua yang menatapku dengan khawatir. Pria dengan rambut cokelat tua mendekatiku, tangannya mengulurkan sebotol air mineral seraya berkata, "apa kau baik-baik saja? Minum dulu airnya dan tenangkan dirimu."

Aku mengangguk lalu menerima air mineral tersebut dengan tangan gemetar dan meneguknya dengan cepat. Napasku masih tak beraturan, jantungku masih berdetak sangat kencang.

"Aku Utsumi Grane, dibelakang sana adalah nenekku Emma Grane selaku pemilik museum ini dan di sebelahnya adalah sahabatku Shizuoka Hajime. Siapa namamu nona? Apa kau salah seorang siswi yang sedang melakukan kunjungan museum?"

"A-aku [Full Name] dari SMA Yuuki yang saat ini sedang melakukan kunjungan."

"Bisa beritahu nama wali kelas atau penanggung jawabmu? Biar kami bawa mereka kesini."

"Mo.... Morishima-sensei..."

Setelah mendengarku mengucapkan nama Morishima-sensei, pria dengan rambut coklat itu menoleh kearah pria bernama Shizuoka Hajime itu, lalu mengangguk kecil seolah memberi isyarat.

"Aku mengerti Utsumi." Kata Hajime-san lalu berjalan meninggalkan ruangan dimana aku bertemu Maki tadi.

Tunggu... kenapa aku bisa kembali keruangan ini? Bukankah aku tadi terjatuh dari atap gedung ini.

"Bagaimana bisa aku disini..."

"Itulah yang ingin kami tanyakan, bagaimana nona bisa pingsan di ruangan ini." Ucap wanita tua yang duduk di kursi roda itu.

"Ini ruang kosong yang menjadi bagian dalam museum, seharusnya tak ada yang bisa masuk ruangan ini, tapi saat hendak mengecek ruangan, kami mendengar teriakan dan menemukanmu pingsan didalam ruangan terkunci ini."

"Terkunci!! Itu mu-mustahil...."

Bagaimana bisa ruangan ini terkunci padahal saat masuk mengejar Maki ruangan ini tak terkunci.... Tunggu dulu kalau dipikir-pikir saat mengejar Maki ia terlihat seperti hendak menuntunku keruangan ini.

Jangan-jangan Maki yang kukejar tadi adalah....

"Nona, bisa jelaskan bagaimana kau masuk kedalam sini?"

"A-aku.... aku...." aku mengigit kecil bibir bawahku, apa aku harus mengatakan semua hal yang sebenarnya walau hal tersebut pasti dianggap gila oleh mereka, "aku dituntun ke ruangan ini oleh seorang arwah yang menyamar menjadi temanku."

"Arwah?"

"Aku tau ini gila dan tak masuk akal! Tapi sungguh ia menyamar menjadi seperti temanku dan menuntunku menuju keruangan ini. Di-dia sempat menyebutkan namanya, kalau tidak salah... Mi... Mi---"

"Miyoshi." potong nyonya Grane, lalu ia kembali berbicara, "pria muda dengan rambut berwarna coklat kemerahan dan manik serupa. Wajahnya rupawan, tindakannya elegan, narsis, tapi dia pria yang baik."

Mulutku menganga mendengar ucapan nyonya Grane, "bagaimana anda tau ciri fisik dan sifat teman saya?"

"Tidak, yang kusebutkan tadi adalah ciri fisik dan sifat Miyoshi-san."

"Aku tidak mengerti. Semua yang anda katakan benar-benar mirip dengan temanku."

"Utsumi." Nyonya Grane memanggil cucu laki-lakinya itu lalu tersenyum penuh arti. Utsumi-san menghela napas lalu mengulurkan tangannya kearahku.

"[Name]-san, bisa tolong bantu dorong kursi roda nenekku. Aku akan menjelaskan semuanya."

Aku mengangguk dan menerima uluran tangan Utsumi-san. Ia membantuku berdiri lalu berjalan terlebih dahulu kearah sebuah benda yang ukurannya sebesar Canvas lukis. Aku mendorong kursi roda nyonya Grane, dan mendekat kearah Utsumi-san.

"Apa kau tau D kikan?" tanya nyonya Grane.

Aku menggeleng kecil, karena pada dasarnya aku memang tak tau apa itu.

"Musim gugur tahun 1937, tentara Kekaisaran atas usulan Letnan Kolonel Yuuki membentuk lembaga pelatihan mata-mata rahasia. Pada akhirnya hanya delapan orang yang bertahan ikut ujian pelatihan mata-mata tersebut. Organisasi mata-mata ini disebut D kikan."

"Aku tidak pernah mendengar organisasi itu, bahkan dibuku sejarah mana pun." ucapku lirih.

"Kau benar. Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam tentara kekaisaran tapi terlupakan oleh sejarah, karena pada awalnya organisasi mereka sendiri memang dirahasiakan," ucap nyonya Grane seraya tertawa kecil lalu kembali melanjutkan ucapannya, "tapi aku tidak akan pernah melupakan mereka... karena aku adalah salah satu orang yang sudah diselamatkan oleh anggota organisasi itu."

Utsumi-san menarik kain penutup benda tersebut dan kini benda dibalik kain tersebut terlihat. Sebuat potret delapan pria muda dengan seorang pria paruh baya. Tapi hal yang membuatku terkejut bukanlah sosok arwah bernama Miyoshi yang wajahnya sangat mirip dengan Maki ada dalam potret tersebut, melainkan sosok lain yang berada dalam potret tersebut.

"Reiji.... Kazuo.... Ryosuke.... Morishima-sensei..."

Ya, empat orang sosok yang berada didalam potret tersebut sangat mirip dengan orang terdekatku. Bahkan salah seorang pria dalam foto itu terlihat sangat mirip dengan Utsumi-san dan Hajime-san. Sedangkan satu orang lagi terlihat begitu mirip dengan pria yang sering kutemui di perpustakaan.

"Kau terkejut ya? Aku pun terkejut saat melihat wajah Utsumi yang semakin mirip dengan ayahku. Kupikir Utsumi adalah reinkarnasi ayahku."

Aku menatap nyonya Grane, dan beliau membalasnya dengan senyum hangat. Ia menunjuk foto pria yang mirip dengan Utsumi-san dan menceritakannya.

"Pria ini bernama Amari, tentu saja itu nama palsu. Ia adalah seorang anggota D kikan yang menyelamatkanku dan mengasuhku sebagai anaknya... Lalu, apa pria yang menuntunmu kesini adalah pria ini?" tanya nyonya Grane seraya menunjuk foto pria yang mirip dengan Maki.

Aku mengangguk kecil dan nyonya Grane kembali bercerita.

"Namanya Miyoshi. Aku tak tau banyak tentang dirinya karena aku tinggal dengan para anggota mata-mata yang lain saat ia menjalankan tugas di Jerman. Aku mengenal sosoknya hanya dari cerita papa, dan yang kutau ia meninggal saat menyelesaikan misinya."

"Maksudnya ia gagal dalam misinya?"

"Ia tidak gagal dalam misinya. Ia mengalami kecelakaan kereta saat hendak kembali pulang dari misinya di Jerman. Ia tertusuk besi kereta tepat didadanya dalam kecelakaan tersebut."

Aku menutup mulutku mendengar cerita nyonya Grane. Pantas saja saat itu kemeja dibagian dadanya berubah menjadi merah, rupanya itulah sosok asli pria itu.

"Apa ada yang kau kenal lagi dari mereka?"

Aku mengangguk lalu menunjuk sosok dalam foto yang sangat mirip dengan orang terdekatku. Nyonya Grane menceritakan sosok-sosok tersebut yang membuatku ingin tertawa miris karena sifat para mata-mata itu sangat mirip dengan orang terdekatku.

Tazaki, Kaminaga, Hatano, Jitsui empat orang mata-mata yang memiliki wajah dan sifat yang begitu mirip dengan orang terdekatku. Tapi pria bernama Odagiri ini tak banyak yang dapat kuketahui.

"Nyonya Grane, apa anda berniat mengenalkan organisasi D Kikan pada dunia luar?"

"Aku hanya ingin menjaga semua kenangan dan benda-benda mereka untukku sendiri, karena dengan begitu aku tidak akan pernah melupakan mereka sampai akhir hayatku." ucap nyonya Grane.

"Andai ada lebih banyak barang-barang sepeninggalan mereka seperti surat tugas, dokumen pelatihan atau semacamnya, mungkin kita bisa membuat ruangan museum khusus untuk pengenalan para anggota D Kikan." tambah Utsumi-san.

Surat tugas, dokumen pelatihan atau semacamnya.

Mataku membelak mengingat hal yang mungkin bisa membantu. Aku menarik lengan Utsumi-san lalu berkata, "aku ingat sekarang. Sosok Miyoshi-san muncul dihadapanku bukan tanpa alasan, ia menunjukkan suatu hal yang mungkin bisa membantu pembangunan museum ini."

Aku menarik lengannya ke tengah ruangan lalu memintanya mengangkatku keatas. Awalnya Utsumi-san terlihat ragu, tapi aku terus meyakinkannya dibantu oleh nyonya Grane dan untungnya ia mau menuruti ucapan neneknya itu.

Utsumi-san mengangkatku hingga aku dapat meraba langit-langit, seperti hal yang kulakukan bersama Miyoshi-san. Saat tanganku mendapati sebuah benang aku menariknya perlahan hingga Utsumi-san bisa mencapainya. Utsumi-san menarik benang tersebut secara perlahan setelah menurunkanku terlebih dahulu, lalu seperti yang sudah aku duga sebelumnya, sebuah tangga muncul dari langit-langit. Utsumi-san dan juga nyonya Grane tentu saja terkejut.

"Nyonya Grane tunggu disini sebentar, aku dan Utsumi-san akan naik keatas dan menurunkan kotak dari sana."

Setelah mengatakan itu, aku dan Utsumi-san menaiki tangga tersebut dan mendapati beberapa kotak kayu.

Ahh, semuanya sama persis dengan hal yang tadi kualami bersama Miyoshi-san.

Aku meminta Utsumi-san mengangkat satu kotak kayu yang berisi dokumen. Dokumen yang dicari oleh Miyoshi-san, dokumen yang ingin di lenyapkan olehnya. Kami turun kembali, ke ruangan dimana nyonya Grane menunggu tapi sebelum itu aku memberitahukan letak pintu kayu rahasia yang terhubung dengan atap pada Utsumi-san.

Aku membongkar kotak kayu tersebut dan mencari dokumen yang ingin dilenyapkan oleh Miyoshi-san. Utsumi-san dan nyonya Grane melihat dokumen-dokumen usang lainnya yang berada dalam kotak tersebut.

"I-ini beberapa surat tugas dan dokumen-dokumen lembaga pelatihan mata-mata..." ucap Utsumi-san tak percaya.

Nyonya Grane juga tak dapat berkata apapun dan terus memeriksa dokumen-dokumen tersebut satu-persatu. Akhirnya apa yang kucari kutemukan, aku memeluk dokumen tersebut dan menatap nyonya Grane.

"Nyonya Grane, apa anda ingin tau bagaimana caranya aku mengetahui tangga rahasia tersebut dan juga dokumen-dokumen ini?"

Nyonya Grane yang tengah melihat dokumen ditangannya kini beralih menatapku, ia kembali tersenyum hangat lalu mengangguk kecil. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum bercerita.

"Maaf sebelumnya, mungkin ceritaku terdengar gila dan tak masuk akal tapi hal ini sungguh terjadi padaku," aku menatap mereka secara bergantian dan mereka terlihat siap mendengarkan ceritaku.

"Kalian bilang, kalian mendengarku berteriak dan menemukanku didalam ruangan terkunci ini bukan. Memang benar, aku berteriak karena dikejutkan oleh arwah Miyoshi-san yang kupikir temanku, tapi aku tidak merasa jika aku pingsan. Aku hanya terjatuh dan mungkin pada saat itulah arwah Miyoshi-san membawaku kealam mimpi atau apapun itu sebutannya agar dia bisa menunjukan letak dokumen-dokumen penting ini...."

Aku tau ucapanku terdengar gila dan tak masuk akal, tapi saat melihat wajah nyonya Grane dan juga Utsumi-san aku kembali bercerita.

"Dan didalam mimpi--- anggap saja seperti itu, Miyoshi-san sangat menginginkan dokumen ini," aku mengangkat dokumen dalam pelukanku itu lalu kembali bercerita, "tapi... ia terlihat sangat ingin dokumen ini lenyap. Entah apa isinya, yang pasti didalam mimpiku ia ingin menghilangkan dokumen ini. Ia bahkan tak membuka dokumen tersebut dan hanya membolak-balik sampul halaman depan dan belakangnya saja."

Utsumi-san mengambil dokumen yang berada ditanganku, lalu ia menatap kearah nyonya Grane seraya berkata, "aku hanya akan melihat isi halaman pertama."

Utsumi-san membuka halaman pertama dan sedetik kemudian ia sudah menutupnya kembali. "Ini sepertinya dokumen yang berisi identitas asli para agen mata-mata D kikan, nama asli, latar belakang, umur dan sebagainya. Setidaknya itulah yang disebutkan dihalaman pertama."

"Kau bilang arwah Miyoshi-san ingin dokumen itu dilenyapkan?" Tanya nyonya Grane.

"Ya, itulah yang dia katakan padaku."

Nyonya Grane tersenyum, dan mengatakan hal yang membuatku dan juga Utsumi-san sangat terkejut.

"Kalau begitu seperti yang diharapkan olehnya, kita harus melenyapkan dokumen tersebut."

"Tapi kenapa?!" Tanya Utsumi-san.

"Sepertinya mereka tak ingin kehidupan asli mereka diketahui oleh orang lain, bagi mereka mungkin dikenal sebagai agen mata-mata D kikan saja sudah cukup. Lalu [Name]-san, maukah kau melenyapkan dokumen tersebut?"

"Eh, tapi kenapa ak--"

Ucapanku terpotong saat seseorang masuk kedalam ruangan dengan terburu-buru. Dan diambang pintu terlihat Maki yang asli berdiri dengan napas terengah-engah serta keringat yang membasahi dahinya hingga rambutnya menjadi basah dan lepek.

"Maki..."

Maki melangkah kearahku dengan kaki dihentak, ia mencengkram kedua bahuku dengan erat membuatku meringis merasakan sakit.

"KENAPA KAU PERGI SENDIRI!?"

Hal yang tak pernah aku duga dari seorang Katsuhiko Maki adalah ia membentak seseorang. Cengkraman pada bahuku semakin erat, napasnya terengah-engah, ia menundukkan kepalanya dan berucap lirih.

"Apa kau tau bagaimana rasanya saat seseorang yang mirip dengan diriku melepasmu dari atap gedung ini, itu terlihat seperti akulah yang membunuhmu dengan tanganku sendiri."

Napasku tercekat saat mendengar ucapannya, apa maksudnya ini? Apa Maki melihat mimpi yang sama denganku?

"Ba-bagaimana bi---"

"[Name]!"

Aku menoleh kearah pintu dan mendapati sosok Reiji dengan kemeja yang berantakan, ia menghampiriku dan memelukku dengan erat.

"Maaf, maafkan aku. Seharusnya aku tak meninggalkanmu sendirian." Bisik Reiji penuh penyesalan.

"[Name] dasar gadis gila! Kenapa tidak mengatakan padaku dengan jujur kalau kau punya kemampuan aneh seperti itu!" Ryosuke yang baru saja sampai di ruangan bersama Kazuo dengan tidak sopannya mengomeliku.

"Maaf [Name]-chan, kalau saja aku tau tentang kemampuanmu, aku pasti tidak akan meninggalkanmu sendirian."

Kazuo berlari kearahku, dan memelukku dengan erat seolah merasakan penyesalan yang begitu mendalam. Melihat wajah Kazuo yang menyesal, aku merasa bersalah pada mereka semua.

Uhh, aku pasti sudah membuat mereka khawatir.

"Kau baik-baik saja, [Name]-san?"

Terakhir yang datang adalah sosok Morishima-sensei dan Hajime-san. Walau terdengar biasa aku yakin Morishima-sensei pasti khawatir padaku tadi.

"Aku baik-baik saja, Morishima-sensei. Maaf sudah membuatmu khawatir."

"Apa aku bermimpi...."

Suara nyonya Grane tiba-tiba terdengar. Aku sampai lupa akan keberdaannya bersama Utsumi-san.

Tapi betapa terkejutnya aku bersama yang lain saat melihat nyonya Grane yang menangis.

"N-nyonya Grane...."

Aku melepas pelukan Reiji dan Kazuo, lalu duduk bersimpuh didepan kursi roda yang diduduki oleh nyonya Grane seraya menggenggam kedua tangannya.

"Melihat seseorang yang mirip dengan orang-orang dimasa lalu membuatku merasakan rindu pada mereka." Ucap nyonya Grane tersenyum seraya mengenang masa lalunya.

"Andai Odagiri-san ada...."

Aku teringat akan pria yang mirip dengan Odagiri-san. Aku menggenggam erat tangan nyonya Grane dan tersenyum kearahnya seraya berkata,

"Aku pasti akan membawakan orang itu."

.

"Jadi saat mencariku yang menghilang, tiba-tiba kau pingsan lalu bermimpi ada diatas gedung museum dan melihatku dijatuhkan oleh Miyoshi-san."

Aku berjalan beriringan dengan Maki di koridor sekolah. Hari sudah menjelang sore, sekolah mulai tampak sepi tapi aku masih ada urusan disekolah dan Maki masih ada urusan dewan kesiswaan.

"Ya, begitulah. Dan aku tak dapat berbuat apa-apa dalam mimpi itu, karena tubuhku sama sekali tak dapat digerakkan," ucap Miyoshi dan aku hanya menggumam sebagai responnya.

"Andai itu nyata, aku pasti merasa gila karena tak bisa menolongmu."

"Eh apa? Kau mengatakan sesuatu Maki?"

"Tidak. Ngomong-ngomong, aku benar-benar tak menyangka jika kau punya kekuatan supranatural yang begitu kuat."

Aku meringis mendengarnya. Saat aku menghilang, Reiji yang panik menceritakan alasan kenapa aku tak bisa ditinggal sendirian ditempat asing seperti museum. Dari kecil aku memang dapat melihat makhluk yang bukan manusia atau sebut saja semacam arwah, yokai, ayakashi, dan semacamnya, tapi bukan hal itu yang membuatku takut sendirian. Entah karena sisi supranaturalku yang terlalu kuat, hal itu membuat parah makhluk begitu tertarik akan keberadaanku dan tak jarang dari mereka menginginkan tubuhku.

Ya, mungkin hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa waktu itu Miyoshi-san meminta pertolonganku.

"Lalu, orang seperti apa Miyoshi-san itu?" Tanya Maki tiba-tiba.

"Miyoshi-san... hmn, dia pria yang tampan, menarik, elegan, berkelas dan menyebalkan dua kali lipat darimu."

"Lebih banyak sisi positifnya yang kau sebutkan, sepertinya kau menyukai dia."

Kami berhenti didepan pintu ruang dewan kesiswaan, terlihat tangan Maki terulur untuk membuka ruangan tersebut.

"Untuk apa mengharapkan arwah, jika aku bisa mendapatkanmu yang nyata." Ucapku seraya meninggalkan Maki yang berdiri mematung didepan ruang dewan kesiswaan setelah mendengat ucapanku.

.

Aku berjalan menelusuri rak buku sejarah seperti biasa. Mengambil salah satu buku, lalu berjalan ketempat duduk yang biasaku tempati bersama pria itu.

Seperti dugaanku, pria itu akan duduk terdiam di bangku seperti biasa. Aku menghampiri dirinya lalu duduk disampingnya seperti biasa, mengulas senyum saat kami tak sengaja saling bertukar pandangan.

"Aku akan bacakan sebuah cerita yang menarik." Aku membuka buku sejarah yang kuambil dan mulai membuka suara.

"Musim gugur tahun 1937, tentara Kekaisaran atas usulan Letnan Kolonel Yuuki membentuk lembaga pelatihan mata-mata rahasia. Pada akhirnya hanya delapan orang yang bertahan ikut ujian pelatihan mata-mata tersebut. Organisasi mata-mata ini disebut D kikan."

Aku melirikkan mataku dan tersenyum puas saat melihat reaksi terkejut dari pria di sampingku, karena semuanya seperti yang kubayangkan.

"Sudah kuduga kalau kau memang bukan arwah penghuni perpustakaan."

Saat pertama kali bertemu dengannya. Aku sempat ragu apakah pria ini adalah seorang arwah atau manusia, karena sejujurnya ada beberapa arwah yang dapat menyamar begitu mirip dengan manusia. Sampai aku tak bisa membedakan mereka, contohnya Miyoshi-san yang terlihat begitu mirip sekali dengan Maki.

"Kau satu-satunya orang yang masih memiliki hubungan darah dengan salah seorang anggota D kikan, ya 'kan Tobisaki Hiroyuki-san?"

Mulut Tobisaki-san sedikit terbuka karena terkejut, perlahan ia mulai mengeluarkan suara yang selama ini tak pernah kudengar.

"Ba-bagaimana kau tau?"

"Ceritanya panjang, yang kutau kau merupakan cucu dari anggota D kikan bernama Odagiri-san atau bisa disebut sebagai Letnan Tobisaki Hiroyuki," aku merenggang kan tanganku keatas menghilangkan rasa pegal sebelum kembali berucap, "Tobisaki adalah marga keluargamu dan kau diberi nama Hiroyuki karena wajahmu yang sangat mirip dengan mendiang kakekmu. Oh, bukan hanya wajah kuyakin sifatmu juga mirip."

Aku menutup buku yang kupegang, sebelum beranjak dari bangku aku meletakan sebuah undangan tepat didepan mejanya lalu tersenyum kecil, "jika kau bersedia dan ingin tau lebih banyak tentang mendiang kakekmu datanglah."

.

Tobisaki membuka undangan yang diberikan oleh [Name]. Sebuah undangan berwarna hitam dengan logo huruf D diatasnya.

Priority Invitation

-Mr. Tobisaki Hiroyuki-

Grand Opening

D Gallery
xx/xx/2016

Dress Code: Formal Custom Era World War II

All these for precious spy
D Kikan

Fin
.

Oke ini kepanjangan, endingnya maksa dan niatnya ini mau di publish pas Halloween tapi ternyata ga keburu waktu jadi,

Thanks for reading my story

Sorry for typo and error

See ya~
.

Yuzu Nishikawa

11 Desember 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top