[Tujuh]
Test... 1... 2... 3...
Oke. Jadi, temen gue KaylaRavika dia bilang Kalau Kila jadi sama Anu. Dia bakal balikan sama mantan pacarnya. Kalian jadi saksi ya. 😂😂😂😂
Happy Reading...
----
Bibir Januar masih tertempel di bibirku. Tak ada pergerakan apapun, akupun tak berpikir untuk memejamkan mata. Namun, tak jua mendorong tubuh Januar supaya menjauh. Diam saja, menikmati surai hitam, dan wangi keringat yang menguar dari tubuh Januar.
Tidak ada semenit, Januar melepaskan pagutannya. Aku gugup? Jelas. Siapa yang nggak gugup saat dicium? Walau bentukanku seperti ini, aku tetap wanita yang komposisinya terdiri 75% adalah perasaan, 10% Simpati, 15% XL... Hehe maksudku logika. Jangan, serius-serius amatlah...
Back to topic, Januar menatapku, ganti kutatap dirinya. Mungkin dia bingung kenapa tanganku tak melayang ke wajahnya.
"Udah?" Tanyaku setelah mata Januar berkedip. Berarti tingkat kesadarannya sudah kembali.
"Hah?"
"Hah... heh... udah, ah, gue mau balik dulu." Ku dorong tubuhnya supaya menyingkir. Aku berjalan meninggalkan Januar yang tanpa kutoleh, aku tahu dia menatap punggungku.
Tiba di dalam mobil, aku menormalkan deru napasku. Gila. Dicium cowok di bawah lampu taman memang impian anak Abege... kalau sudah seumuranku impian tetap dicium di depan penghulu. Tapi itu hanya ilusi.
Kutekan pedal gas, melajukan mobilku. Badanku sudah tak menentu, apalagi memikirkan aku harus mendapatkan uang dari mana untuk membayar angsuranku selama 3 bulan ini?
Ada yang punya tetangga kaya raya? Boleh kenalkan padaku?
---
Nata : Ada yang free?
Nata : k rmh dong. Gue dirumah cuma sama bocil. Papanya blm plg. Si Mbak lagi ada acara 😭😭😭
Dinda : blg aja mnta bantuin jagain anak2 lo kan?
Tiara : nggak bisa, Nat. Sorry, quality time sama misua 😆😆😆
Dinda : beda memang pengantin baru,
Me : Butuh tutorial, Ra? Perlu gw lempar video...
Tiara : Ogah, lo aja blm pernah nyobain...
Me : Lo dulu yg testing, ntar kalau enak. Gw ikutan deh.
Nata : Njiiir.... Kila, ikutan sama siapa 😂
Rivan : jgn coba2 nyoba pakai alat ya, Kil. Syg di jebol sama alat.
Me : Anjuuuu... Rivan, inget perut bini lu yang belendung.
Dinda : 😠😠😠
Rivan : Hehehe... ampun bun,
Nata : Jadi gmna? Mlh kemana2 ih ngomongnya 😠
Gilang : Gue Free, Nat. Tapi kalau gue yg dtg lgsg dihunus sama Laki lo. Pulang tinggal nama...
Me : Gue, Nat. Mandi dulu...
Rizka : Gue ikuuut, mumpung Zhio di luar kota.
Zhio : Hati2, Mah. 💏💏💏
Me : Ya Tuhan... belum, cukupkah kau berikan cobaan pada hambamu yang zombelooo ini...
Me : tuluuung, jauhkan kesucianku dari para pasangan nista ini 😭😭😭😭
Rivan : anak jaman skg, nikah blm ud mamah papah 😂😂😂
Aku menutup aplikasi chat, membuka selimut lalu bergegas membersihkan diriku.
Weekend ini jalanan lumayan lenggang, jadi aku tak perlu waktu lama untuk mencapai tujuanku. Saat tiba di sana, kulihat Juke milik Rizka sudah terparkir rapi.
Saat kulangkahkan kakiku memasuki kediaman Nata, kulihat Abyan, putra pertama Nata dan Panji sedang duduk sambil menoton kartun. Sementara, Nata memangku Azka, dan Rizka di sebelahnya.
"Halloooo ganteeeng..." aku masuk dan langsung menciumin Abyan yang anteng membuat anak itu terusik. Abyan tak menangis, tapi tangannya mengusap pipi. Bekas ciumanku tadi.
"Takut kuman ya, Mas?" Olok Rizka. Aku memilih duduk di karpet bersama Abyan. Anak itu langsung berdiri mendekati Mamanya.
"Abyan aja takut sama elu, Kil. Pantes jombloooo menahun..."
"Anjiiir... iyalaaah, yang mau nikaaaah mah bebas."
Nata melempar bantal ke arahku, "tolooong omongannya tante-tante. Jangan ngomong saru di depan anak kecil."
"Ups... omongannya jangan ditiru ya, Mas Byan. Khusus buat yang sudah profesional." Aku berdiri mendekati Abyan. Dia melengos. Beranjak turun kembali ke karpet.
Namun, aku berhasil mencuri ciuman di pipi Abyan. Aku duduk di samping Nata. Melihat dia yang sedang mengelus ubun-ubun anak keduanya yang sedang asik menyusu.
"Eh... Kil, kata Zhio... Januar balik ya?" Rizka memulai pembicaraan.
Kan. Zhio kampret memang, "yup. Bos gue men..."
"Waaaah... kok lu nggak ada cerita sama kita?" Tanya Nata.
"Buat apa, sih?" Jawabku. Aku malas saja jadi bulan-bulanan anak-anak di grup. Karena aku, Dinda, Rivan, dan Nata satu alumni. Yang pasti kenal dengan Januar.
Belum Zhio dan Tiara yang satu tempat kerjaan denganku, sudah pasti mengenal Januar.
"Bibit unggul model Januar, jangan sampai lepas. Pepet terus, Kil." Rizka mengedipkan satu matanya ke arahku. Aku mendengus. Begini yang membuatku makin malas menceritakan masalah asmaraku pada para kampret model mereka. Yang sudah teracuni pasangan masing-masing. Ya, kecuali Nata.
"Gue masih inget gimana tatapan memuja si Januar sama lo dulu, Kil." Kali ini Nata yang mengutarakan pandangannya, "dan gue rasa, yang semodelan Januar gitu tipe susah move on." Nata mulai berspekulasi.
"Nah! Daripada lo pusing jomblo terus. Mending sama Januar."
"Kata Mbak Inul itu masa lalu biarlah masa lalu, jangan kau ungkit...,"jawabku sedikit mendendangkan lagu dangdut tersebut.
"Tapi, Kil..."
"Stop bahas Januar. Kasihan nanti orangnya bersin-bersin karena diomongin mulu."
Aku bukannya tak mau bercerita, tapi sungguh buat apa.
"Oh, iya... masa si Gibran beliin Azka Car Seat coba... dikirim langsung ke rumah," cerita Nata.
Ya ampun, yang nulis benar-benar kekurangan tokoh. Entah di mana-mana ketemunya itu lagi. Itu lagi. Ngasi jeleh.
"Wah... parah si Gibran. Panji tahu?" Tanya Rizka.
Nata mengangguk.
"Terus Panji ngamuk?" Nata menggeleng. "Malah nyuruh bilang makasih coba."
"Laki lu emang produk limited edition."
"Si Gibran masih suka ngontak lo, Nat?" Kali ini aku yang bertanya. Penasaran saja. Sungguh.
"Kadang, kalau gue ganti DP. Dia kepo soal Abyan, Azka gitu."
"Njiiiir, Gibran pasti belum move on." Rizka menyimpulkan.
Eh? Gibran belum move on ya.
---
"Lama banget sih lo dandan doang," gerutu Gibran saat menungguku siap-siap menuju pesta pernikahan saudaranya.
"Gue harus tampil maksimal, Bran. Biar lo nggak kecewa," jawabku dari dalam kamar.
"Acaranya kurang 10 menit lagi mulai, kalau lu nggak buru-buru telat kita."
Aku membuka pintu kamarku, "tokoh utama datengnya biasa juga belakangan."
Gibran berdiri saat melihatku keluar. Dia tak berucap apapun. Namun, tatapannya fokus ke arahku. Juga langkahnya menuju pada tempatku berdiri.
"Lo kenapa deh, Bran? Nggak pernah lihat cewek cantik?" Kupukulkan handbagku pada pundaknya.
"Lo... cantik banget," ucap Gibran jujur. Membuatku makin fokus padanya. Dia cuma modus, kan?
Kupindai Gibran dari atas sampai bawah. Batik panjang, semodel dengan rok lipatku. Batik pink tua. Kulit Gibran yang bersih memang menunjang penampilannya mengenakan pakaian model dan warna apapun.
"Yuuuk, tadi ngamuk. Sekarang bengong." Aku berjalan duluan menuju pintu utama flatku.
Kudengar langkah kaki mengikuti, sebelum kurasakan pinggangku tertarik. Gibran mengalungkan tangannya pada pinggangku.
"Ntar aja kali, kalau udah sampai tempat."
"Gue tambahin masa berlaku kartu itu," ucapnya.
"Tenang, Bran. Lo nggak akan kecewa sama kinerja gue."
Gibran tak menjawab, hanya semakin mengeratkan tangannya saat tahu lift yang menuju ke bawah penuh.
"Nunggu aja," tahan Gibran.
"Elaaaah, nggak apa-apa ntar makin telat kita."
Kami masuk dalam lift. Gibran menggeser tubuhku supaya berada di depannya. Dengan punggungku yang menempel pada dadanya. Hangat. Iya, hangat. Bahkan saat terasa dorongan mendesak posisi kami, Gibran akan menahan kedua tangannya di pintu lift yang memang hanya dua senti di hadapanku. Supaya aku tak terjepit dengan pintu lift.
Gibran kok tumben manis begini, ya? Hahaha.
Ting! Akhirnya. Sampai tujuan juga. Kami berderap keluar dari lift.
Eh? Aku nggak gemetar loh... dahsyat.
----
Kukalungkan tanganku pada lengan Gibran saat masuk aula hotel tempat berlangsung pesta. Gibran menarikku menuju saudaranya yang lain. Kuyakin. Karena mereka juga mengenakan batik senada dengan kami.
"Akhiiirnya Gibran nggak datang sendirian," celetuk seorang lelaki yang sepertinya lebih muda dari Gibran.
"Njiiir, Gibran sekalinya dateng sama cewek. Geulis pisan." Kini lelaki kedua yang berucap. Aku hanya tersenyum manis.
"Ibaaan, datang sama siapa?" Seorang wanita paruh baya mengenakan kacamata, berkulit putih menghampiri kami. Wajahnya terlihat bahagia saat menemukan diriku.
"Shakila, Tante," jawabku sambil menerima uluran tangan beliau dan menempelkan pada keningku.
"Oh... Shakila," ucap seorang lelaki. "Gue Banyu, saudara si Gibran."
"Kila."
"Gue Adam."
"Kila."
"Udah, jangan di sini, males liat muka mereka. Ma, Iban ke sana dulu. Mau ketemu sama Prisa."
"Eh... tunggu. Kila tinggal aja di sini." Gibran melirik ke arahku. Aku mengangguk.
"Kamu mau diambilkan minum sekalian." Eh? Kamu?
Aku mengangguk.
Gibran meninggalkanku.
"Kenal Gibran sudah lama?" Tanya beliau. Harus kujawab apa? Dari kelas 10 gitu. Waw!
"Sudah lumayan, teman lama. Ketemu lagi."
"Kamu kerja?"
"Iya, Tant. Gedungnya pas di depan kantornya Gibran."
Kami kemudian bercerita banyak hal. Menceritakan apapun. Ya, emak-emak ketemu sama calon emak-emak. Fitrahnya punya napas panjang, ya gimanalah. Ngobrol sudah seperti napas kami. Jiah.
"Gibran ini jarang banget ngenalin temen ceweknya sama keluarga. Baru kamu."
What?
"Sampai Papanya khawatir anaknya bengkok. Soalnya di luar negeri, kan begitu ya pergaulannya. Tiap salat, berdoa biar Gibran di sana nggak main sama sesama."
Aku hampir tersedak ludahku sendiri. Aku kasihan dengan Ibu Gibran. Doanya biar anaknya nggak suka sesama. Padahal anaknya hobi nyelup. Salah alamat doanya, Tan.
"Pokoknya anak itu, kalau sampai usia 30 tahun belum nikah. Harus siap dijodohkan. Tante sampai capek sendiri ngenalin cewek sama dia. Nggak ada yang cocok. Tapi pas lihat kamu, Tante langsung bahagia. Kalau bisa sujud sukur sekarang."
Orang tua dan ketakutannya.
"Gibran banyak kok, Tan, temen ceweknya. Nggak usah khawatir."
"Ngomongin apa, serius amat." Suara Gibran menginterupsi obrolan kami. Dia menyerahkan gelas padaku.
"Makasih ya," ucapku. Gibran hanya mengedipkan mata.
"Ke sana, yuk. Tante kenalkan sama temen-temen Tante," ajak Ibu Gibran.
Kumat. Emak-emak dan sifat pamernya.
"Buat apa sih, Ma!"
"Kenalan doang, Ban."
Belum aku mengeluarkan suara. Tanganku sudah ditariknya.
"Misi... kenalin ini Shakila. Teman deketnya Gibran. Anakku yang pertama."
Aku tersenyum. Sungkan. Gibran juga berdiri di sampingku. Tangannya merangkul diriku.
"Cantik banget ya, Bu. Pinter nih Gibran nyarinya," komentar salah seorang wanita.
Kuputar bola mataku memindai satu persatu. Saat tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada mata seseorang.
Tubuhku seketika menegang. Dia kenapa ada di sini?
---
Tbc
Karanganyar, 27 Januari 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top