[Tiga Belas]

Gibran : selamat pagi Bunga

Me : Bunga mawar, bunga anggrek, atau bunga bangkai?

Pagi ini sedikit dikejutkan dengan ucapan selamat pagi dari lelaki yang semalam berbagi cerita tentang perasaannya pada sahabatku: Nata. Entah Gibran memang salah kirim atau salah sebut, aku tak peduli. Terasa biasa saat dia memanggil nama Bunga tapi jika Gibran menyebut nama Nata, ada sesuatu yang bergejolak di sana. Di ulu hatiku. Sesuatu yang sudah kutimbun selama bertahun-tahun, sesuatu yang sudah coba kuleburkan bersama terik matahari. Sesuatu yang selalu kuhalau kedatangannya.

Aku bangkit dari ranjang. Aku benci perasaan seperti ini: melow, menye-menye, krenyes-krenyes. Dan, itu hanya karena lelaki. Pun aku masih terus memikirkan pesan dari nomer yang kusinyalir milik Januar. Maksudnya dia mengirim pesan itu apa?

Masuk kamar mandi, langsung kuguyur kepalaku dengan air dingin. Tubuhku tetap berdiri tegak di bawah shower, meski pikiranku berlarian tak tentu arah. Selama ini yang selalu kupikirkan hanya bagaimana cara melunasi cicilan, bagaimana cara menyambung hidup, hanya berotasi pada itu-itu saja. Namun, semenjak pernyataan cinta Januar, baru kusadari ternyata ada ruang dalam hatiku yang  kubiarkan kosong sekian lama.

Selalu ada yang merekah tiap kali Januar mengemukakan kekagumannya padaku, dan ada getir setiap kali Gibran menyebut nama Nata.

Mungkinkah ini sindrom perempuan jomlo yang bulan depan menginjak usia 29 tahun?

Meski pagi ini aku sedang dalam mood tidak baik, tapi tetap saja kewajibanku sebagai kacung kampret harus dilaksanakan. Saat kututup pintu, aku kembali dikejutkan oleh seorang lelaki pagi ini tiba-tiba berdiri bersandar dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Lelaki yang tadi mengirimiku pesan ucapan selamat pagi.

"Ngapain lo di sini?" tanyaku. Berjalan menuju lift tanpa repot menunggu Gibran.

"Gue kirim chat, mau jemput ke kantor sekalian tapi dibiarkan begitu saja nggak di read sama sekali. Lebih mengenaskan daripada koran." Gibran berdiri di sebelahku. Menunggu lift yang akan mengantarkan kami.

"Lo bukannya mau jemput Bunga, ya? Kenapa nyasar di mari?"

"Yaelah typo itu, bukan Bunga tapi Bunda."

"Jauh amat keplesetnya, huruf G sama D. Lagian lo mau jemput Bunga juga gue nggak peduli."

"Bunda itu suka nggak peduli, tapi mikirnya sampai nangis-nangis kalau gue nggak ada." Gibran mulai mengangkat tangannya hendak merangkulku tapi aku maju selangkah, menghindari tangannya. Gibran nekat maju dan menarik pundakku mendekat, "kaki lo mulai gemetar, muka lo juga kelihatan lebih pucat dari biasanya. Lo sakit?"

"Make up gue ketebalan. Awasin tangan lo, risih gue kaya nini-nini aja harus dipengangin."

"Kalau nini-nininya kaya elo, gue siap nungguin," jawabnya cekikikan.

"Kalau di dunia ini benar-benar ada mesin waktu, dan lo bebas memilih kembali ke masa lalu. Lo akan memilih mengulang masa apa?" tanya Gibran, saat mobil yang kami tumpangi sudah berjubel di padatnya kendaraan pagi ini.

"Nggak ada, Bran. Karena di masa sekarang gue sendirian. Di masa lalu gue juga merasa sendirian. Nggak ada yang berubah, hanya wujud saja yang nyata dan tak terlihat."

"Keluarga lo?" Gibran menoleh.

Aku benci dengan pandangan yang ditujukan oleh Gibran padaku: pandangan kasihan. Aku tak suka dikasihani dan tak pernah suka. Mengedikan bahu, itu yang kulakukan saat tak berniat menjawab. "Kalau lo sendiri gimana, Bran?"

"Gue? Gue pengin balik ke masa gue ninggalin Nata."

Lagi.

"Kenapa? Pengin pulang biar Nata nggak nikah sama Panji?"

Gibran menggeleng, tersenyum miris, "gue pengin mengulang perpisahan gue sama Nata, biar nggak berakhir dengan penyesalan yang selalu menghantui seperti ini."

Kami diam, "gue mau berdamai sama diri gue sendiri, Kil. Mau mengikhlaskan yang bukan seharusnya dan menjalankan yang gue punya." Gibran menghentikan laju mobil, sudah tiba di depan gedung kantorku, "dan gue butuh elo buat bantuin gue, Kil. Lo mau?"

Satu menit yang sunyi. Hanya terdengar suara penyiar radio yang menggema di dalam mobil.

"Gue turun dulu, Bran. Thanks buat tumpangannya. Betewe minyak wangi lo enak. Bikin gue jadi gagal fokus mulu."

Gibran menahan tanganku, "gimana jawabannya, Kil?"

"Gue pikir dulu."

---

"Bos Anu dari tadi ke mana? Belum datang atau nggak datang?" Siska berdiri di depan meja Rian.

Aku yang duduk di seberang kubikel Rian ikut mencuri dengar, sejak tadi pagi aku memang tak menemukan Januar. Tak ada pemberitahuan apapun kenapa tak hadir hari ini. Bukan urusanku juga memang, tapi seperti ada yang kurang saja.

"Kil, lo tau nggak kalau hari ini itu seribu harian meninggalnya nyokap bos Janu. Makanya Januar berhalangan hadir." Bagas yang duduk di sampingku pas mungkin memergoki aku yang mencuri dengar pada percakapan Siska dan Rian. "Gue dapet info dari Pak Webek sendiri pas semalem ketemu di nikahan Zhio."

Aku membuka ponselku. Membaca pesan yang semalam. Januar tahu segalanya tentang diriku, sementara aku? Ibunya Januar sudah berpulang saja aku tak tahu.

"Kil, grup temen lo rame nggak sama malam pertama Zhio?" Rian bertanya. "Di grup kantor, Zhio jaim banget nggak mau berbagi apa-apa."

"Kila emang baca? Mupeng ntar dia." Lana yang memberikan komentar.

"Lagian, Kil. Kelamaan sendiri lo mah. Tuh si Ajun anak magang dari kemarin tiap lewat depan meja lo noleh mulu." Bagas ikut bersuara.

Aku memukul pulpen di kepala Bagas, "anak magang itu mobilnya apa? Kalau Pajero Sport, boleh kali gue minta ID linenya." Aku beranjak dari kursiku, "mumpung Pak Janu nggak hadir, gue mau ke restoran jepang di bawah, siapa tahu ketemu CEO."

---

Taksi yang kutumpangi berhenti di depan sebuah rumah mewah. Terdiri dari dua lantai dengan pilar penyangga yang tak kalah megahnya. Membuat semua orang yang memandang pun tahu bahwa pemilik kediaman ini adalah orang yang berada.

"Mbak, nggak turun?" tanya supir taksi tersebut.

"Nggak betah amat, Pak, kapan lagi coba bisa duduk sambil ditemani cewek cantik begini," candaku, menatap gerbang tinggi nan kokoh.

"Bapak takut khilaf, Mbak. Takut kalau kedip jatuhnya jadi dosa."

Aku tak ingin tertawa. Sungguh. Namun, aku bingung harus turun atau tidak kali ini. Kalau turun aku malu, ketahuanlah kalau aku niat banget sampai sini. Kalau tidak turun, aku penasaran. "Pak, jalan." Akhirnya aku memilih mengikuti gengsiku yang lebih tinggi dari rumah milik Pak Wibisana.

Belum pedal gas terinjak, derit gerbang terdengar. Januar keluar dari sana dengan koko hitam pendek dan celana hitam panjang. Keluar bersama seorang perempuan yang kukenal.

"Pak, berhenti. Tunggu," pintaku, menepuk bahu sopir tersebut. Ketakutan jika sampai kehilangan jejak.

Kubuka kaca di sampingku.

"Tolong untuk hari ini, biarkan acara berjalan lancar tanpa kehadiran anda. Saya tak butuh belas kasihan. Saya tak butuh air mata buaya. Saya tak butuh." Januar terlihat mendorong wanita tersebut masuk ke dalam mobil yang ikut keluar dari rumah tersebut.

Aku menahan napasku. Menyaksikan bagaimana Januar mendorong pintu mobil tersebut. Menarik rambutnya sendiri seperti hendak merontokannya. Januar berbalik. Kurogoh dompetku, kukeluarkan beberapa lembar uang. Dan keluar dari taksi.

Saat Januar berdiri di depan gerbang, tanpa menunggu gengsi menggelayutiku kembali. Kupanggil nama lelaki itu.

Januar menoleh. Terlihat kaget dengan kehadiranku. Aku masih terdiam di tempat. Menunggu Januar yang terlihat berjalan ke arahku. Dengan napas terengah, menahan lelah Januar menyusuri langkah demi langkah hingga berada tepat di hadapanku. Satu kehangatan kembali merekah saat Januar merengkuhku dalam pelukannya. Di tengah jalan yang untungnya sepi.

"Nu... itu tadi Shafa?" ucapku dalam pelukan Januar.


❤ 696969 Likes
Shakila_Indira kamu maunya meminta dan menerima, tapi aku tak sanggup memberi di luar kemampuanku: menjadi dia.
View all coments
RivanArya makin tua malah galau mulu
DindArya sombong kali ni bapak satu RivanArya

Maaf yaaaah, aku nggak balesin komen. Bukan karena nggak mau tapi karena susah mainan wattpad sekarang2 ini. Lagi adaptasi sama status baru 😎😎😎

Karanganyar, 04 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top