[Tiga]
"Lo... Januar, kan?" Gibran yang duduk di sebelah ku tiba-tiba berdiri saat melihat Januar. "Mantannya si Kila, kan?" Tanyanya lagi saat tahu Januar tak akan menjawab.
Januar sendiri memilih diam tapi pandangannya masih jatuh pada diriku. Seperti ingin mengirimkan laser ke arah tubuhku.
"Iya," jawab Januar akhirnya.
"Apa kabar lo?" Gibran berjalan mendekati Januar. Menepuk pundak Januar. Aku jelas nonton doang.
"Baik." Januar menjawab singkat. Kentara sekali enggan bertegur sapa dengan Gibran.
"Bu Shakila, silakan kembali ke ruang meeting. Sudah ditunggu yang lainnya." Januar berucap kepadaku.
Lah? "Loh, tadi katanya gue disuruh keluar."
"Silakan kembali." Lalu, pandangannya beralih pada lelaki di sampingnya, "saya tinggal dulu, Gibran Wiratama."
Aku sudah siap mengekori Januar. Saat tangan Gibran menahanku. "Itu Januar mantan lo yang dulu kan? Kok berubah banget. Semenjak kuliah di luar negri kan dia?"
Ku dorong wajah Gibran, "kepo lo. Cabut dulu gue daripada gaji gue dipotong."
"Cium tangan dulu, Bun," goda Gibran yang membuatku menoyor keningnya. Gibran tertawa.
"Dah balik sana."
"Siap Bunda."
Aku dan Gibran berpisah di halte ini. Aku kembali masuk dalam gedung kantorku. Berjalan di belakang Januar. Sumpeh loh, dulu Januar nggak punya punggung kaya sekarang. Nggak nemplokable kaya sekarang. Gusti kenapa Januar berubah baru saat-saat begini. Kenapa nggak dari dulu-dulu.
Kulihat beberapa pasang mata menatap pada Januar, apalagi para wanita. Apal banget deh, kalau ada yang bening dikit lewat. Nggak boleh disia-siakan. Januar diam saja.
Ting. Kami masuk dalam lift yang kampretnya kosong. Tumben sekali kosong. Januar tetap berdiri di depanku. Dia diam sedari tadi.
"Nu, lo... masih marah sama gue ya?" Tanyaku ragu. Maksudku, kami kan sudah berakhir lama. Bisalah sekedar bertemu sebagai teman. Saling sapa sebagai seorang teman sekolah.
Namun dia tak menjawab. Masih diam sampai lift kami tiba di lantai 21. Saat pintu terbuka.
"Nggak marah, tapi lukanya masih ada." Dia kemudian melangkah meninggalkan aku yang membeku di dalam lift. Dia bilang apa? Luka?
Ehm. Aku berdeham singkat, mengembalikan fokusku. Aku mengangkat kembali wajahku dan mulai berjalan dengan angkuhnya menuju ruang meeting.
Januar...
---
"Mas Janu umur berapa sih?" Siska bertanya saat mendapati Januar lewat di koridor foodcurt gedung kami bersama para petinggi lainnya.
Aku masih melahap makan siangku, sambil melirik Januar, "apaan lo panggil dia Mas, dia masih 30 tahun. Lo udah 32." Cibirku.
"Lo kenal?" Kali ini Lana yang bertanya.
Aku mengangguk, "satu SMA dulu, kakak kelas gue." Juga mantan. Imbuhku dalam hati.
"Tapi tadi gue lihat lo diamuk Pak Janu."
"Emang kampret aja itu si Anu. Salam pertemuan kembali malah gue didamprat. Dilepeh terus dipungut lagi."
Lana dan Siska pun tertawa. Saat ku lihat Zhio berjalan dari pintu seberang. Aku menaikkan tanganku. Dia hanya melambai.
"Zhio masih jomblo?" Siska bertanya padaku.
"Udah mau kawin awal tahun."
"Kenapa sih cowok ganteng sekarang pada udah taken."
"Yang jelek aja pada taken, ceweknya cantik-cantik pula. Terus pasaran kita tu yang semodel siapa." Siska menjawab. Aku sih jelas acuh saja dengan percakapan absurd mereka.
"Terus gimana kita dapet cowok ganteng dong?"
"Ya operasi dulu kelamin lo, biar sejenis sama mereka soalnya cowok ganteng sekarang juga suka sama yang berbatang."
Mereka menatapku. "Kampret." Soraknya barengan.
"Eh, tapi tadi gue lihat Bos Anu nggak pakai cincin di jari kanannya."
Eh? Januar belum nikah? Aku menatap bayangan Januar yang menghilang di balik tembok.
Tadi memang sewaktu meeting Januar hanya diam, benar-benar fokus pada pekerjaan.
Tapi ngapain kepo si? Mau dia boker sehari 5 kali, apa urusannya sama aku?
"Kalau masih jomblo, boleh lah kita pepet. Kalau nggak dapet Januarnya, adek atau sepupunya bolehlah."
Aku berdiri dari tempatku, membuat kursi tersebut ikut bergerak ke belakang. "Udah, gue cabut ya." Memang ada pekerjaan yang harus ku selesaikan. Dan deadlinenya besok pagi.
22.35 dan aku baru selesai mengerjakan deadline. Keluar dari lift aku berjalan menuju pintu utama. Tapi saat ku lihat, di luar ternyata sedang hujan deras. Kampret. Sial sekali aku hari ini.
Aku duduk di kursi tungu, saat hendak memesan uber. Ku lihat siluet seseorang berjalan di depanku. Ketika aku mendongak, seseorang tersebut berdiri di hadapanku.
Januar memandangku, pandangannya padaku saat ini berbeda sekali dengan saat kami di ruang meeting tadi.
Ya aku maju mendekati dia, "Nu, baru pulang?"
Njir, kelakuanku kaya dempet-dempetin mantan. Tapi kan sekedar bertanya nggak apa-apa kan?
"Iya," dan cuma sekata pemirsa.
Aku sudah mau kembali lagi duduk di kursi, saat Januar bertanya, "kamu belum pulang?"
"Ya kalau gue masih di sini berarti belum pulang. Hujan, nggak bawa mobil. Pesen uber susyaaaah kali." Aku sedikit bercanda.
Bibir Januar berkedut. Ya ampun, lucu.
"Mau saya antar?" Tawar Januar kembali membuatku membelalakan mata. Dia ngajak pulang bareng kan?
Aku berpikir lama, ya gengsi juga sih. Mana Januar kaku begitu, udah dilemesin masih kaku. Kurang pelumas apa kali ya?
Tapi, melihat di luar masih hujan, dan jam sudah hampir tengah malam. Sepertinya memesan uber pun tetap akan lama, jadi...
"Oke, karena lo kayaknya kurang asupan ketawa. Malam ini gue siap nemenin lo, senam mulut."
Dan Januar tetap diam terus berjalan menuju parkiran.
Aku tak menyangka, sungguh. Orang sejenis Januar tak memakai mobil semodel Lamborgini dan sebagainya, dia pakai Jeep.
Januar hanya diam membisu, saat Jeep kami berada di antara mobil lainnya di tengah guyuran hujan.
"Nu, lo kuliah di amrik kan?" Aku membuka suara. Ya ngajak ngbrollah. Nggak enak juga nebeng tapi diem-dieman. Padahal kalau boleh milih aku mending tidur.
"Hmm.."
Lalu, mengheningkan cipta. Padahal biasanya aku ini kalau ngomong suka tak ada remnya, tapi aura dalam mobil ini benar-benar beda. Maksudku, Januar kenapa jadi sedingin ini. Dulu hanya kaku.
"Lampu merah belok kiri," ucapku.
Aku sudah hendak turun, jika saja ucapan Januar tak menginterupsi, "boleh kamu kembalikan hati saya, yang dulu, Kil?"
Aku menatap Januar yang masih fokus ke depan. Tanpa menoleh ke arahku.
"Nu..."
"Masuklah." Hanya itu. Januar diam aku diam, aku ingin berbicara sesuatu tapi entah apa.
"Terima kasih."
---
Malam ini mataku berpijar sempurna, padahal ketika di kantor tadi. Aku ingin segera tiba di rumah dah melelapkan tubuhnya. Nyatanya hanya wacana. Berkat Januar, mataku tetap nyalang.
Ping.
Gibran : jenuh. Laper.
Gibran mengirimi pesan Line. Dia yang tak perlu memikirkan bagaimana besok makan, beli bensin, dan sebagainya saja bisa mengeluh jenuh juga?
Me : ya terus, laporan sama gue bikin lo g jnuh lagi? Utuk2 dedek Iban sini akak suapin... 😆
Gibran : HAHAHA
Me : besok jalan yuk, gue lagi pengin beli tas sama sepatu. Tapi lo yg bayarin. Kasihan debit lo. Belum digesek kan bulan ini? Menjerit nanti dia.
Gibran : kampret.
Aku sudah hampir mengunci kembali ponselku saat satu pesan kembali hadir.
Gibran : jam 10 gue jemput.
Yes! Memang hidup itu, seimbang. Tuhan pasti memberi hikmah setelah cobaan. Diantara sial yang bertubi-tubi hari ini. Ada tas dan sepatu baru yang hadir besok. Hahahay, siap-siap tidur nyenyak malam ini.
---
"Gue nggak nyangka orang kaya lo bersih juga ngurus apartmen," komentar Gibran pagi ini saat tiba di apartemenku.
"Lo nggak lihat muka gue selalu bersih dari jerawat? Itu tandanya gue emang bersihan. Lagian kebersihan dari iman," jawabku dari kamar. Gibran duduk di sofa ruang tamu yang merangkap ruang keluarga.
"Iman udah nikah minggu kemaren."
Kampret.
Aku mengecek kembali dandananku. Celana jeans hitam casual, baju hijau tua tanpa lengan, dan riasan wajah tipis. Perfecto. Begini saja, percaya diriku sudah melambung tinggi.
Aku keluar, dan menemukan Gibran sedang berdiri di samping bufet.
"Apartemen lo nggak ada foto sama sekali." Gibran kembali berkomentar.
"Gue nggak tahu harus majang foto siapa. Majang foto sendiri juga nggak enak, mending nongkrongin kaca. Udah."
Gibran menengok ke arahku. Dengan pandangan bertanya. Aku hanya mengedikan bahu.
"Udah yuk, keburu makin siang."
"Lo, beli diskonan kan?" Tanya Gibran saat kami melewati lorong kamar menuju lift.
"Malu-maluin kanjut lo lah, masa lo beliin gue diskonan." Gibran tertawa. Mengacak rambutku.
Saat masuk dalam lift, ada beberapa orang di sana. Seorang lelaki paruh baya yang menatapku dengan tatapan memuja.
Tiba-tiba Gibran menggenggam tanganku kemudian menariknya masuk ke dalam ruang lift.
Sumpeh. Gibran wangi banget. Hari ini dia juga fresh banget pakai kaos reglan, dengan lengan biru dongker. Celana jeans, dan converse. Benar-bener obat mata.
Pintu lift terbuka di lantai 5. Bapak tadi keluar, sesekali menatapku singkat.
"Dia siapa?" Tanya Gibran.
"Mana gue tau," jawabku acuh.
"Gue pikir, mantan koleksi om-om lu." Mulut ya kalau ngomong. Kaya air terjun aja, nggak ada halangan.
Kusikut perutnya keras membuat dia terhuyung mundur selangkah.
"Nggak ada gue main sama om-om, apalagi dia juga tinggal di gedung yang sama dengan gue. Gue sudah memperkirakan tabungan orang-orang yang tinggal disini. Rugi bandar lah.
"Kalau mau nyari om-om tu di kawasan elit, jelas tabungan hidupnya sudah tinggi menggunung. Apalagi om-om yang masa hidupnya tinggal beberapa menit. Nah itu, baru boleh diincar."
Gibran kembali tertawa, "gila lo jujur banget, nggak ada jaimnya sama sekali. Gini-gini gue cowok juga. Ganteng lagi. Lo nggak ada niat ngelirik gue?"
"Lihat, berapa banyak lo gesekin debit lo baru gue bakal bilang ganteng," jawabku acuh. Buat apa? Sama Gibran aku sudah kenal dari jaman masih unyu-unyu sampai sekarang.
Dia berbisik, "lo cantik banget pagi ini, enak kayaknya punya kaya lo satu di rumah."
Gibran memang tampan, tapi dia bukan playboy. Akupun sering sekali dijadikan bahan modusnya.
Tapi, dulu setiap kali dia menggoda dalam keadaan rame. Hari ini, dalam satu lift hanya kami berdua, dan hembusan napasnya di telingaku. Membuatku sedikit meremang.
Ting. Lift terbuka.
Jika tadi aku terkejut oleh pernyataan Gibran yang seenaknya, maka saat ini mataku terbuka lebar. Menatap siapa orang yang berdiri di depan lift.
Januar menatapku dengan wajah merah, menahan marah.
Nu... aku...
---
Tbc
Ilustrasi si Kila-Iban anggap aja begini, wkakaka
Karanganyar, 15 Januari 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top