[Sembilan Belas]

"Kila, dipanggil Pak Nando tuh," ucapan Rian membuatku kembali mendesah berat.

Ini belum ada lima jam aku masuk kantor sudah tiga kali mendapatkan panggilan. Kutarik rokku saat mulai mengangkat bokong. Merapikan kemejaku sejenak. Terakhir, berjalan menuju ruangan bosku. Ruangan Januar. Tempo lalu.

Ini sudah hampir tiga hari Nando menggantikan Januar dan tak ada slentingan isu tentang kepergian bos mereka. Beberapa kali aku iseng mencoba menghubungi Januar tapi selalu berakhir dengan operator. Juga kadang aku meneliti akun path milik Januar tapi tak ada updatean terbaru. Lelaki itu seperti hilang dileburkan laut begitu saja.

"Kenapa, Pak, memanggil saya?" tanyaku, menginjakan kaki di ruangan dan menemukan Nando sedang membolak-balikan laporan, "ada masalah dengan laporan saya?" tanyaku kembali.

Nando mengangkat wajahnya, "tida ada, hanya saya ingin mengajak kamu untuk ikut dalam acara amal mewakili Pak Wibisana hari minggu mendatang."

"Oh... siap, Pak. Kalau masalah itu, bisa diatur," jawabku santai.

Nando tersenyum kepadaku, "nggak ada yang marah saya mengajak kamu?"

Eh? Marah? "Nggak, Pak. Kalau urusan kerja harus profesional."

"Saya beberapa kali mengirim pesan, tapi tak ada satupun yang terbalas." Nando memang beberapa kali mengirimi pesan aneh. Dia sudah 34 tahun dan sama kakunya dengan Januar. Berkirim pesan mengucapkan selamat pagi, seperti penjaga alfamart saja. Padahal jelas-jelas Nando dan Januar tak ada hubungan darah sama sekali. Namun, mereka terlihat memiliki kesamaan sifat.

"Kalau Januar yang ngirim chat, dibales?"

"Ehm, Pak. Kalau sekiranya sudah tak ada yang dibicarakan. Saya kembali ke tempat. Masih ada pekerjaan yang harus saya selelsaikan," tukasku. Menundukan kepala sejenak dan berbalik.

"Januar si kaku itu ternyata punya selera cewek yang tinggi. Pantes aja sampai minggat gara-gara ditolak."

Tak kuhiraukan ucapan Nando, melanjutkan aksi membuka pintu dan keluar dari ruangan. Beberapa pasang mata menatap ke arahku, mungkin karena aku sudah kesekian kali masuk ruangan bos. Thalita berdiri dari tempatnya, "habis ngapain lo sama bos? Kemarin Januar sekarang Nando. Hebat juga usaha lo demi menaklukan para bos." Tak kuhiraukan ucapan mantan pacar Zhio ini dan tetap melanjutkan langkahku. Tak ada guna meladeni ucapan Lita. Hanya membuat pusing belaka.

Tiba di kubikelku, kubuka akun instagram. Melihat adakah yang menarik, jempolku tanpa sadar mengetikan nama Januar dalam kolom pencarian. Belum sempat aku melihat isi akun Januar, satu panggilan masuk.

"Kenapa, Bran?"

"Ada resto baru di tikungan samping lampu merah. Maksi di sana. Gue jemput sekarang."

"Lo emang sahabat gue banget. Tau banget gue lagi kelaparan dan tanggal tua nggak punya duit. Gue turun, lima menit lagi gue tunggu," jawabku sebelum memutuskan panggilan.

Kupandangi akun sosial media milik Januar, ada satu fotoku yang entah darimana Januar mendapatkannya. Foto yang membuat gempar orang dalam kantor.

Januar...

"Kil..."

Lelaki itu mengusap punggungku lembut, menenangkan. Usapan dari atas ke bawah memberi gesekan yang membuat hatiku membuncah. Aku tetap memeluk erat dan sesekali masih sesenggukan dalam dekapan.

"Kamu bilang makin banyak beban, makin kuat beton penyangganya. Kok yang ini udah rapuh? Apa udah tua?" gurau Januar. Garing.

Aku masih diam, mencoba menghentikan sesenggukanku efek menangis barusan. Bertatap muka kembali dengan Shafa membuatku kembali harus mengobrak abrik luka tapi menemukan Januar disini ada satu kata yang tak mampu kudeskripsikan maksudnya: nyaman.

"Gue juga cuma manusia kali, Nu. Wajar kalau mewek. Gini-gini hati gue selembut princess." Aku menyempatkan mengusap hidungku pada kemeja mahal milik Janur.

Januar terkekeh, "nanti kalau ketahuan orang dikira kita mau ngapain lagi."

"Malu. Maskara gue luntur," alibiku. Tetap memeluk pinggang Januar. Ada bahagia yang menyesaki anggota tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki menemukan Januar berdiri di sini. Di sampingku. Menjadikan tubuhnya yang kokoh sebagai sandaran.

"Tetap cantik," ucapnya.

"Elaaah. Garing banget sih, Nu." Aku melepaskan pelukan, menunduk, "terima kasih Januar," untuk pelukannya ucapku dalam hati.

"Dor."

Aku terjengat. "Apaan sih lo, Bran. Bikin orang kaget aja."

"Lo yang ngapain. Lift udah kebuka, bukannya turun malah ngelamun. Mikirin apa?"

Aku dan Gibran berjalan beriringan. Beberapa pasang mata melirik ke arah kami. Memang gosip mengenai hubunganku dan Januar sudah menjadi simpang siur di dalam gedung. Jika Januar hanya karyawan biasa, mungkin gosip tersebut hanya angin lalu.

Pinggangku tertarik seseorang. "Lo mau nyari perkara? Ngelamun terus dari tadi kalau tiba-tiba lu keserempet mobil tadi gimana?" bentak Gibran dengan nada marah. "Kenapa? Ada cicilan yang belum lunas?"

Aku menatap Gibran, "nggak. Gue cuma kurang akua," kilahku.

"Ada apa?" desak Gibran. Gibran yang sedari dulu memang hafal dengan tingkahku jelas tak perlu waktu lama tahu ada yang tak beres dengan diriku. "Lo tau lo punya gue, kan, Kil. Lo bisa cerita apa aja sama gue kalau lo mau."

Gibran makin hari makin aneh. Terlihat lebih perhatian. Dua hari kemarin dia mengajakku makan malam. Lalu hari ini dia mengajakku makan siang. Keganjilan yang Gibran lakukan membuatku kadang merasa aneh. Gibran bukan orang yang seperhatian itu.

---

"Mikha," sapaku saat masuk dalam resto yang berada di samping kediaman Pak Wibisana.

Jika biasanya gadis cantik ini akan kegirangan menemukan aku, malam ini berbeda. Wajahnya muram, dan jelas sekali kebenciannya padaku.

"Mau pesan apa?" tanyaku basa basi.

"Langsung aja, Mbak. Ada apa ngajak aku ke sini?"

"Mbak cuma mau nanyain soal..."

Mikha memotong cepat, "soal Mas Janu? Udah deh, Mbak Kila kan calonnya Bang Gib. Jadi, Mikha mohon jangan bikin Mas Januar juga merasa dibutuhkan. Mas Januar juga cuma lelaki biasa."

"Mbak cuma mau minta maaf, Mikh." Terkejut mendapati nada tinggi yang dikeluarkan Mikha membuat perasan bersalah semakin menggelayuti diriku. Sedalam apa luka Januar? Sedalam apa perasaan Januar?

"Nggak usah. Simpan aja buat lebaran nanti. Itupun kalau Mbak masih ketemu sama Mas Janu. Udah ah, mau pulang."

"Mikh," tahanku.

"Mikha nyesel dukung Mas Janu buat Mbak. Mikha pikir Mbak Kil orang yang bisa saling menguatkan sama Mas Janu nyatanya, Mbak sama aja kaya cewek di luar sana. Plin plan. Kalau emang nggak mau sama Mas Janu, ya udah. Jangan kasih semangat, jangan kasih perhatian, jangan kasih harapan. Harapan kosong pula."

Telak. Aku terdiam oleh kata-kata yang terlontar dari mulut ABG beranjak dewasa.

"Mas Januar terlalu berharga buat disia-siakan begini," pungkasnya. Pergi tanpa aba-aba meninggalkan aku dengan sejuta bahkan milyaran kata maaf yang ingin kukirimkan pada Januar.

Gibran : gue ke apartemen lo nggak ada.

Me : Gue tau skg perasaan bersalah, menyesal, dan kecewa sama diri gue sendiri. Sama seperti yang lu rasain.

Gibran : lo ngomong apa?
Gibran : dmna?
Gibran : gue jemput
Gibran : Kila!

Kumasukan ponselku dalam tas. Menyesap kopi hitam yang kubiarkan pahit. Melewati kerongkonganku, mengalirkan pekatnya pahit yang terasa membelenggu. Ada sesak dalam tubuhku hingga membuatku kesulitan bernapas. Bebaskan, tolong.

Aku berdiri dari dudukku. Berjalan sedikit lebih cepat saat terlihat sosok di luar resto ini. Kutepuk pundak lelaki tersebut.

"Januar..."

---

Tbc

❤696768 Likes
Januar.Virendra terlalu dalam kusembunyikan kamu dalam hati. Hingga saat mengeluarkannya, itu sama saja menyakiti diriku sendiri
View all 32 coments
RianDirga mpos Kila Shakila_Indira
Siskalalala bos kemana? Hiks hiks
Shakila_Indira Nu
BagasP Kila tanggung jawab!
LanaInginDiCinta kantor sepi tanpa bos. Hati juga kosong tanpa si bos.

Karanganyar, 11 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top