[Sembilan]

"Kil..."

Panggilan tersebut membuatku menoleh, melepaskan pelukanku pada tubuh Januar. Saat tahu siapa yang berada di depan lift, aku terdiam. Antara terkejut, marah, kecewa, dan bahagia. Perasaan yang aku sendiri tak mengerti bagaimana.

"Kak Shafa..." panggilku.

"Tante Shafa..." Januar bersuara lirih.

Tante? Aku menoleh pada Januar, dia menarikku keluar dari lift tersebut. Berdiri di depan Shafa. Kakak perempuanku satu-satunya yang sudah lebih dari dua tahun menghilang tanpa kabar.

"Tante?" Aku bertanya, mengerutkan kening bingung menatap Januar penuh tanda tanya. "Kalian saling kenal?" Kutatap wajah Januar dan Shafa secara bergantian.

"Kita masuk dulu," ujar Januar, melangkah terlebih dahulu. Aku mengikuti. Memasukan kode pintu, dan masuk.

"Kamu ambil minum saja dulu, baru nanti duduk di sini." Januar kembali memberi perintah.

Aku yang entah kenapa, malam ini menurut saja dengan segala yang diperintah Januar. Saat keluar dari pantry, sayup-sayup kudengar percakapan antara Januar dan Shafa.

"Lo udah tahu?" tanya suara lembut yang bertahun-tahun ini tak pernah kudengar kembali.

"Kebetulan yang menyenangkan, Tan." Januar menjawab dengan suara tegas, tanpa ada getaran sama sekali dalam nada bicaranya.

Aku meletakan minuman di meja, duduk di sofa single. Menatap Januar dan Shafa secara bergantian. "Jadi...."

"Mau saya yang memberi tahu, atau Tante mau memberitahukan sendiri?"

Kulirik Shafa masih diam saja, tak ada kata terucap. "Ini ada apa, sebenarnya? Ngomong tinggal ngomong, nggak usah muter-muter!" geramku karena mereka tak memberi pencerahan sama sekali.

"Kalau begitu biar saya yang mengatakan," ucap Januar, pandangannya masih fokus pada Shafa.

Shafa sendiri terlihat menantang Januar, tak gentar. Walau aku tahu dia ketakutan, kebiasaannya yang selalu mengapit tangan di antara paha menunjukan kalau dia sedang berfikir.

Januar menjeda ucapannya. Satu menit berlalu, "kalau begitu saya pergi dahulu," pamitnya.

Otomatis aku menarik tangannya, menahannya saat hendak berlalu, "nggak! Jelasin dulu semuanya."

Januar melepas tanganku, "Aku pulang dulu, TANTE Shafa pasti mau ngomong berdua saja sama kamu," jawabnya menekan kata tante.

Januar menatap Shafa tajam, "jangan coba berbuat hal-hal konyol. Atau saya bisa membuat Tante terhina lebih dari yang kemarin," ancam Januar.

Aku yang bingung, harus bagaimana?

Langkah kaki Januar semakin memelan menunjukan bahwa jarak antara kami semakin membentang. Pintu apartemenku tertutup, aku menatap Shafa yang masih duduk diam di Shofa.

"Jadi, bisa lo jelaskan semua ini, Kak?" tanyaku, duduk di sofa yang diduduki Januar tadi.

Shafa tetap terdiam.

"Apa maksud kata Tante yang disebutkan Januar tadi, Kak?"

Shafa masih terdiam. Aku mulai kesal dengan kesunyian ini.

"Dua tahun minggat nggak ada kabar, bawa duit utangan dari bank, dan sekalinya datang lo cuma mingkem. Bisu lo?" Amarahku tak tertahan.

"Lo nggak tahu gimana gilanya gue saat tahu lo ninggalin gue gitu aja? Lo nggak tahu gimana capeknya gue nyariin elo? Lo nggak tahu kalau gue hampir masuk rumah sakit jiwa? Lo nggak tahu. Nggak akan pernah tahu.

"Ke mana aja lo selama ini? Udah apa aja lo? Udah segila apa perbuatan yang lo lakukan? Seneng-seneng pakai duit bank sementara gue hampir sekarat mikirin nutup utang bank biar rumah peninggalan Papa satu-satunya tetap nggak jatuh ke tangan orang. Kalau gue bisa nangis darah ganti duit itu. Gue udah lakuin."

Aku ingin mengeluarkan segala bentuk amarahku, mengeluarkan segala bentuk kekecawaanku selama ini. Namun, semua hanya terendap dalam senyap. Lara yang mengobar di tubuhku tak mampu membakar diri dengan mencaci Shafa.

Kututup wajahku dengan kedua tangan, melepas sesak. Napasku menderu.

"Karena gue nggak mau digantungin sama elo. Karena gue lelah selalu lo jadikan tempat merengek padahal gue nggak cukup kuat menopang diri gue sendiri. Gue lelah, gue milih lari, gue kabur," jelas Shafa panjang lebar.

"Gue ke sini mau balikin duit yang gue bawa kabur," lanjutnya. "Lo nggak perlu mikir lagi soal rumah itu."

Aku tertawa sinis, "Hahaha... lo masih nganggep diri lo manusia, Kak? Setelah semua yang lo lakukan. Bahkan anjing aja lebih peduli terhadap saudaranya," ucapku sinis, menyindir.

"Lo nggak usah khawatir, rumah itu aman. Lo pikirkan saja hidup lo. Yang mau lo bahagiakan dengan kaki sendiri, biar yang lain mati sekarat.

"Gue nggak suka berbasa-basi, Kak. Gue udah nggak nganggep elo saudara, bahkan walau kita pernah hidup sembilan bulan di tempat yang sama. Silakan pergi!" tandasku. Aku mungkin akan disebut adik durhaka, tapi dua tahun hidup seperti orang gila membuatku mati rasa. Aku merasa tak memiliki seorang kakak.

"Kil..."

"Stop it. Soal tante tante yang disebut Januar, lo simpen aja buat diri lo sendiri. Dan soal rumah, jangan pernah sok ikut campur lagi. Biar gue yang jaga dan rawat peninggalan Papa."

Satu isakan lolos dari mulut Shafa, tapi telingaku sudah tuli. Tak ada rasa iba, hatiku sudah lumpuh. Terserah Shafa akan mengiba bagaimana, aku tak peduli.

Beberapa menit Shafa menangis, aku tetap diam terus menatapnya. Kubiarkan saja, sama seperti dulu ketika aku menangis sesegukan karena ditinggal lelaki terkuatku. Shafa hanya diam dan meninggalkan aku menangis hingga lelah kemudian terlelap.

Mungkin tahu aku tak mungkin memberikan reaksi apa-apa, Shafa beranjak. Dia hendak mengusap kepalaku, tapi kutepis.

---

Gibran : Bun, keluar nyok. Sumpek.

Me : pale lu, Bran. Gue lembur 😭😭😭😭
Me : disemprot mulu sama Bagas waras.

Seharian ini aku memang tak fokus bekerja, ada saja yang salah dari laporan yang kubuat. Jalan saja, aku hampir jatuh. Untung mataku jeli, kalau tidak, habis jidatku benjol di mana-mana. Aku bukan wanita super yang bisa menghilangkan segala beban pikiran dalam sekali cling.

Gibran : sini Ayah bantuin.

Me : Minggat dah lu,
Me : mau kmna emg?

Gibran : nonton aja,

Me : ok. Jmput.

Gibran : makasih bunda 😘

Me : gue garuk juga lu...

Gibran : uuuuu seksi 😍 pakai kostum macan ya, rawr

Pesan dari Gibran hari ini benar-benar konyol, aneh, tumben-tumbenan dia mengirimi chat sampah dari awal sampai akhir chat. Padahal biasanya hanya sesekali menggodaku.

"Yee... malah mainan hape. Laporan yang gue minta udah selesai belum?" Bagas berdiri di depan kubikelku, berkacak pinggang.

"Besok lagi deh, Gas. Lo nggak lihat udah hampir jam delapan."

Bagas memutar bola matanya, "ya terus?"

"Anak perawan jangan pulang malem-malem. Pamali itu."

Bagas memukul kepalaku dengan bolpoin yang berada di mejaku, "lo kenapa, Kil? Tumbenan salah sampai tiga kali."

Aku mengedikan bahu, "izinkan aku keluar dari tempat ini, Gas. Aku sudah tak kuat dengan semua ini, hatiku tak mampu," rayuku, mendrama.

"Jijay, Lo. Ya udah sana balik, besok harus udah kelar."

Aku menempelkan dua jariku di pipi Bagas, "you save me. Makasih."

"Hmm..."

Aku memasukan semua barang-barangku ke dalam tas. Bergegas pergi dari kantor setelah mengabarkan pada Gibran bahwa aku sudah keluar dari kantor.

Tiba di depan lift, badanku mulai gemetar. Mengingat tangis Shafa semalam, sama merintihnya dengan yang pernah kudengar saat kejadian itu. Bedanya, kala itu aku ikut meraung sementara semalam aku hanya penonton.

Saat hendak menekan tombol, sebuah lengan mendahuluiku. Januar, dari baunya aku tahu itu Januar.

Kami masuk lift beriringan. Sudah kosong, karena jam pulang kantor sudah berakhir empat jam yang lalu.

"Nu..."

"Ya?"

"Terima kasih," ucapku, lirih.

Dari pantulan kaca dalam lift ini, aku tahu Januar menatapku balik.

"Untuk?"

"Untuk rumah, dan semalam."

"Kil, you okey?" Januar berbalik ke arahku.

"Okey," jawabku singkat.

Kakiku mulai tak seimbang, tapi lift baru tiba di lantai sepuluh. Masih ada setengah perjalanan hingga ke tujuanku. Aku merapal kalimat bahwa aku kuat terus dalam hati. Namun, tak berguna saat ini.

Shafa. Shit.

"Kil, kamu kenapa? Badan kamu kringetan."

Dari suara Januar terdapat kekhawatiran. Dia hendak memegang pundakku tapi aku menghindar. Sudah cukup aku terlalu sering membuat diriku lemah dihadapan Januar.

Ting! Akhirnya tiba juga. Aku keluar dari lift. Melegakan sekali bisa keluar dari lift terkutuk itu.

Januar mengikuti, "kamu nggak bawa mobil?" tanyanya karena aku menuju jalan keluar.

"Bawa, Nu."

"Kamu mau ke mana?"

"Ke mana-mana hatiku senang," jawabku.

Tiba di depan loby, outlander hitam yang kukenali sebagai milik Gibran sudah terparkir. Tanpa menunggu Januar meneruskan ucapannya, aku masuk dalam mobil tersebut.

"Januar itu bos lo, kan? Ngapain dia ngikutin elo?" tanya Gibran saat aku mendudukan pantatku di jok mobil miliknya.

Mobil Gibran melaju perlahan.

"Lo tau, princess yang cantik jelita itu harus dijaga. Bos aja suka rela jagain gue, Bran."

"Bukan karena dia masih ngarep sama elu, kan?"

Aku menengok, "menurut lo?"

"Dari kacamata para pria yang jelas punya dua biji dan dan tombak yang masih berfungsi sempurna, dia masih suka sama elu."

"Aki-aki bau tanah juga kalau lihat gue juga langsung suka."

"Setres lo."

"Setres gini, masih juga diajak kencan. Sumpek kenapa lo?"

"Nyokap gue maksa gue ngawinin elo."

Jawaban Gibran membuat badanku ikut menengok ke arahnya, "sebutkan aset keluarga lo."

Dia menoyor kepalaku, "gue mau nikah sama cewek, kalau gue beneran cinta sama dia. Sama lu aja kita nggak saling cinta."

Pernah, Bran. Aku pernah cinta sama kamu.

"Ya, udah tungguin aja sampai ada cewek yang cinta sama elo pun elo juga cinta sama dia."

---

Gibran dengan konyolnya memilih 'surga yang tak dirindukan 2' sebagai film yang akan kami tonton malam ini. Gila. Saat masuk ke dalam studio, yang isinya perempuan dengan penutup kepala sebagai identitas hati mereka.

"Bran, gue berasa setan masuk sini." Kulirik rok pensil selutut, untung aku mengenakan blazer sebagai penutup.

"Gue nggak tahu mau nonton apa," katanya, mencari kursi kami.

Aku yang tak tahu bagaimana seri pertama cerita ini hanya cengo saja, Gibran asyik memakan popcornnya. Bahkan milikku pun diambilnya.

Pada adegan Bella dinyatakan menderita kanker stadium empat. Aku menekan ulu hatiku yang nyeri. Aku pernah berada di posisi anak tersebut.

Air mataku mengalir, Mama selalu mengatakan bahwa aku dan Shafa itu harus saling bantu. Saling menopang, saling menggenggam tapi apa yang kami alami selama ini? Apa yang kulakukan semalam? Mana bagian dariku yang meneriakan untuk mewujudkan keinginan Mama.

Isakku makin kuat. Aku merindukan Mama.

"Cengeng lo, gitu aja mewek," olok Gibran.

Aku tak acuh pada ucapannya tersebut. Terserah. Pun tak peduli dengan bentuk wajahku malam ini, maskara yang mungkin sudah tak berbentuk.

Aku makin kuat menangis.

Sekatan kursi terangkat. Tubuhku terbawa jatuh dalam pelukan hangat seseorang. Gibran mengusap punggungku.

"Kemarin gue ketemu Shafa, Kil."

"Mama..."

---

Tbc

Karanganyar, 23 Februari 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top