[Sebelas]

"Aku cinta sama kamu, Kil."

Pernyataan yang dilontar Januar membuatku membeku. Masih kucengkeram erat safety belt, menengok ke arah Januar. Dia terlihat frustasi, wajahnya yang tampak pias, pun dengan keringat yang bermunculan di keningnya.

Kecepatan Jeep memelan, "maaf, aku hilang kendali diri," ucapnya sambil mengusap wajah kasar. Dari nada bicaranya, dia terlihat amat menyesal. Tak perlu menerawang, semua sudah tergambar jelas.

Aku sendiri mencoba menenangkan diri, kekalutan yang tiba-tiba menyerbu membuatku sedikit terlonjak. Kutarik dan kuhembuskan napas secara perlahan.

Jujur saja, di antara rasa takut yang menyerbu, ada sesuatu yang merekah di dalam sana. Aku di cintai seseorang?

Ada seseorang yang memikirkan aku?

"Kamu mau turun di sini atau tetap ikut sampai kantor?" tanya Januar lirih. Mungkin masih merasa tak nyaman dengan suasana ini.

"Nu, soal ucapan lo tadi itu?"

"Lupakan saja, Kil. Aku hilang akal, gelap mata waktu lihat Gibran keluar dari apartemenmu pagi tadi. Anggap saja aku nggak pernah ngomong apa-apa."

Bukan. Bukan yang itu...

"Gue maafin, Nu, tapi anter sampai kantor," ujarku.

Januar menoleh, dia tampak kaget dengan jawabanku barusan, "kamu tetap Shakila yang kukenal dulu," ucapnya. Sudut bibirnya terangkat, sedikit.

Aku sudah terbiasa dicaci orang, dipandang hina oleh orang lain, bahkan diolok saudara sendiri pun aku pernah mengalami. Kata-kata Januar tak berimbas apa-apa padaku, tapi pernyataannya tadi terngiang di kepalaku.

Januar terlihat membenarkan kacamatanya, "tumben pakai kacamata," ucapku.

"Kayaknya minusku nambah, Kil. Pusing terus dari kemarin tiap ngerjain laporan. Ini pakai kacamata pun masih burem."

"Lah, gue pikir elo operasi mata. Soalnya dari kita ketemu itu, udah nggak pernah pakai kacamata."

Tubuh Januar bersandar pada jok mobil, "dulu nyoba mau laser aja, tapi nggak jadi. Masih bisa lihat, cuma kalau baca atau pas malem-malem nggak kuat."

Aku mengacungkan jari tengah dan telunjukku di depan muka Januar, "ini berapa, Nu?"

Januar tertawa, muka tegangnya sudah lenyap dari sana. "Lima," jawabnya.

Aku tertawa. Tawa pertama sepanjang pertemuanku dengan Januar, "wah Bapak harus pakai kacamata kodok kalau gitu, Pak. Sudah parah. Tak tertolong."

Tawa Januar menggema, aku terpaku. Si kaku tertawa, "lihat muka cantik kamu aja masih jelas, Kil."

Eh? "Belajar dari mana lo modus gini?" tanyaku penasaran. Sungguh jaman pacaran, dia cuma ngasih coklat sama bunga. Itu pun katanya karena cerita orang-orang.

"Aku tinggal di luar negri, Kil, hampir lima tahun. Walau bukan pelakon, tapi pengamat pun bisa memahami, lebih. Lebih dari yang berinteraksi langsung."

"Nu, turun di halte aja," ucapku saat gedung kantor sudah terlihat jelas dari dalam mobil.

"Kenapa?"

"Ogah gue jadi artis dadakan di kantor," jawabku.

Mobil Januar berhenti di samping halte.

"Thanks buat tebengannya." Aku hendak membuka handel pintu saat lenganku di tahan.

"Maaf, sekali lagi maaf," ucap Januar penuh penyesalan. "Kil..."

"Hmm..."

"Kalau kamu butuh informasi soal Shafa, aku bisa kasih. Semua."

Aku kembali duduk menghadap Januar, tak percaya dengan ucapannya. Januar mengangguk. Membenarkan pikiran-pikiran aneh di dalam diriku.

---

Gibran : Kil, mau ke nikahan Rizka sama siapa?

Me : gw brg anak2 aja, Bran.

Aku segera menghubungi teman-tenanku. Karena aku belum tahu akan berangkat ke acara resepsi Rizka dan Zhio bersama siapa.

Me : Woy... ada yg mau nebengin gue g?

Rivan : nasib amat si lo, Kil. Datang kondangan sendiri terus tapi tiap balik nggak pernah bawa pasangan.

Me : siaul Rivaaaan. Gue doaian anak lo secantik gue 😆

Rivan : amin.

Dinda : 😠

Me : sono perang 😈😈😈😈

Rivan : jgn skg Bun. Mau siap2.

Nata : brg gue aja kalau mau.

Dinda : sama gue jg gpp.

Gilang : sama gue aja, tp sama cewek gue.

Me : sama Nata aja yg searah.

Nata : jagain anak gw ya 😆

Me : yeeeee.....

Aku membenarkan kebaya yang kukenakan di depan cermin. Malam ini hari bersejarah lainnya yang akan ditorehkan sahabatku. Kulihat kalender di depan meja rias, dua bulan lagi umurku menginjak angka 29 dan aku masih sendiri. Tak ada yang salah denganku. Aku cantik, iya cantik. Orang buta juga tahu kalau aku cantik.

Lalu, kenapa aku masih sendiri?

Ponselku bergetar.

Gibran : Bun, mama mertua nanyain elo mulu.

Me : ahelaaah, bilang aja udah putus atau gue sibuk.

Gibran : nggak enak gue.

Me : biasa juga ngibulin nyokap lo, pakai acara nggak enak. Tambahin masako kalau masih nggak enak.

Gibran : sialan, lo brgkat bareng siapa?

Me : Nata.

Pesan terkirim. Langsung dibaca oleh Gibran. Namun, selang beberapa menit tak ada balasan. Kututup aplikasi chat tersebut. Kembali pada penampilanku.

---

Aku turun dari Pajero Sport milik Panji sambil menggendong anak sulung Nata. Abyan. Bocah lelaki ini diam saja aku gendong.

Saat masuk ballroom hotel, aku memilih menggandeng Abyan. Pegal badanku kalau harus menggendongnya sementara aku mengenakan high heels. Hebatnya, Nata kuat dan betah sekali. Walau sesekali Panji akan menggantikan posisi Nata menggendong Azka.

Potret keluarga bahagia yang jujur saja membuatku iri. Aku seorang diri. Tak ada saudara bahkan cinta. Miris, kan?

"Abyan..." pekik Dinda, langsung ditahan oleh Rivan.

"Inget woy, perut udah segede gentong masih aja jejingkrakan," sindirku, Dinda hanya nyengir. Rivan jangan ditanya, wajahnya sudah merah padam. Penuh kekhawatiran.

Nata menghampiri Dinda, mengusap perut Dinda yang semakin membuncit. "Udah pinter apa dia?" tanya Nata. Panji mengekori tengah menggendong Azka. Abyan sendiri memilih menggenggam jariku.

"Udah bisa nendang tiap kali diajak ayahnya main." Bukan Dinda yang menjawab. Melainkan Rivan, senyum lebar nampak dari wajahnya.

Kuedarkan pandanganku, teman kerjaku yang bergerombol. Aku menarik tangan Abyan, "ikut tante dulu ya,"

Aku mengajaknya menemui Bagas, "Gas, jangan minum begituan. Pamali. Katanya bikin lemah syahwat loh," kataku bercanda.

"Bagas nggak usah lemah syahwat juga bingung kali dia mau main sama siapa. Doyannya sesama." Kami tertawa. Jika di luar kantor, Bagas memang seperti bahan bullyan tapi kalau di dalam kantor, siapa yang berani.

"Anak siapa lo culik, Kil?" tanya Lana, membuat orang pada fokus pada Abyan yang kugandeng.

Abyan mungkin risih, dia menggoyangkan tanganku. Memintaku segera berlalu dari sana. Kubawa Abyan dalam gendonganku.

"Anak gue," ucapku asal.

"Sama siapa, Bos?" tanya Bagas. Aku menoleh ke belakang. Ada Januar tepat di sana sedang tersenyum ke arah kami.

"Sama Papa," jawabnya.

Januar berdiri di dekatku, "anaknya Nata bukan?" Januar mengusap pipi Abyan. Anak itu tak menolak sama sekali.

Dasar mulut comberan semua.

"Udah cocok kalian itu punya anak," goda Bagas.

"Berapa tahun?" tanya Januar pada Abyan.

"Tiga."

Malam ini Januar mengenakan atasan batik, sama seperti yang lainnya memang. Namun, wajahnya yang beraura cerah membuat Januar semakin memesona. Banyak pasang mata yang sesekali mencuri lirik pada Januar tapi dasar cowok kaku. Nggak akan sadar dia.

Abyan mulai meronta di gendonganku, "takut dia sama elo, Gas. Tahu dia elo nyari yang berbiji bukan berdada."

"Sialan emang lo, Kil."

Kami tertawa. Pembahasan soal Bagas dan biji selalu menjadi pencair suasana. Abyan yang tak mengerti sama sekali tetap meronta.

"Gue balikin dulu ke emaknya kalau gitu."

Januar menatapku sebelum aku berlalu. Tatapan yang entah apa maksudnya.

"Lo apain anak gue sampai mau mewek gini?" tanya Nata, tahu raut wajah Abyan yang memerah menahan tangis.

"Abyan mainnya sama nte Kila aja, ya? Mama cengeng jadi nurun deh."

"Ih... Gue aduin Mas Panji tahu rasa lo," ancamnya.

Rivan menggendong Azka. Panji bertemu dengan Pak Wibisana. Mungkin kenal karena bisnis. Aku tak mau menebak-nebak.

"Kila badannya singset banget, lemak gue udah meleber ke mana-mana," keluh Nata saat aku sedikit membenarkan rok lipatku.

"Gue udah naik 12 kilo, Nat. Delapan bulan jalan," tambah Dinda.

"Yaelah, lemak nambah juga udah nambah keluarga. Lah, gue? Di Kartu Keluarga jadi satu-satu. Ya, ayah ibu kakak adik."

"Shafa gimana?" tanya Nata, membuat hening.

"Gibran beberapa hari lalu menghubungi gue, dia bilang ketemu Shafa."

Gibran masih suka berhubungan sama Nata?

"Panji tahu?"

Nata mengangguk, "gue balesnya juga ditemenin sama Papanya Abyan."

"Nata..." suara seseorang menginterupsi percakapan kami. Saat menoleh, ada Gibran di sana.

Sorot matanya mengarah pada Nata, dari caranya memandang sudah beda. Ada yang lain yang tak kumengerti.

"Nata..." panggilnya kembali.

---

Tbc

Karanganyar, 25 Februari 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top