[Januar Virendra]
Januar. Virendra. Januar Virendra. Terdengar dari nama saja, sudah jelas terlahir bulan pertama: Januari. Virendra sendiri menurut perempuan yang telah berjuang melahirkannya memiliki arti orang yang terhormat. Anak pertama, lahir bulan pertama, diharapkan menjadi orang yang terhormat. Wow.
Aku. Akulah lelaki penyandang nama tersebut. Akulah Januar. Anak lelaki pertama yang lahir bulan Januari penuh suka cita, dan diagung-agungkan oleh semua orang dalM keluargaku. Namun, masih dengan rengeknya pada bulan yang sama di tahun pertamanya mampu coba merangkak harus mengalami kepahitan ditinggal seorang Ibu. Bukan pergi selamanya, tapi pergi meninggalkan anak yang dianggap hanya membuat susah.
Tersenyum miris. Anak usia satu tahun mengerti apa tentang hidup susah? Yang dia tahu hanya air susu ibu, menangis, buang hajat. Lalu apa?
"Kil... dapet salam dari Roby anak gedung sebelah."
Suara salah satu karyawan yang terdengar dalam ruanganku yang memang tak terkunci sempurna. Sebenarnya tak ada yang terganggu dengan suara lenjeh lelaki tersebut. Tapi, nama yang dipanggilnya selalu membuatku mampu mendengar meski dalam radius seratus meter.
Kil... Kila. Shakila. Shakila Indira Listy. Gadis cantik yang dulu dengan beraninya menegurku di depan makam ayahku. Gadis pertama yang mengajukan protesnya padaku.
Awalnya tak ada yang berarti. Karena dulu aku masih sangat muda. Meski saat itu aku sudah berada di kelas 12 tapi, pengalamanku soal perempuan memang minim. Mendekati nol. Bahkan mungkin minus. Dan Kila hadir.
Berawal dari teguran berakibat fatal pada penglihatanku yang selalu fokus melihatnya tiap kali bersua. Hanya Shakila, gadis pertama yang mengajukan persyaratan supaya mampu menjadikan dirinya kekasih dan aku masih ingat harus menurunkan berat badan. Dulu, terasa berat tapi sekarang rasanya aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah mengajukan persyaratan tersebut.
Kami sempat berpacaran. Tak lama memang karena satu sebab dan lainnya yang membuatku dan Kila harus putus. Meski sungguh selama aku berada jauh pun. Aku tetap mengawasi perkembangan gadis-ku itu.
Aku tak heran jika Kila selalu menjadi sorotan banyak orang, sejak dulu dia memang cantik. Tak ada yang berubah bahkan semakin bertambah. Menjadikan sisi egoisku berkembang pesat.
"Kil... Gibran anak sebelah itu temen lo, ya?" Jeritan seorang perempuan yang duduk di depan meja gadisku. Meski riuh di foodcourt ini, entah segala yang berhubungan dengan Kila selalu terlihat dan terdengar jelas olehku.
"Gibran Wiratama, kan? Iyalah gue kenal." Kali ini gadisku menjawab.
Dengan sedotan yang kuyakin masih tertempel di mulutnya. Aku hapal. Jelas. Bagaimana Kila menggigiti ujung sedotan acap kali meminum sesuatu. Tak terlihat menjijikan. Malah menggemaskan di mataku.
"Iya. Gibran Wiratama. Gue minta kontaknya dong."
Gibran Wiratama. Satu alumni denganku dan gadisku--Kila. Mantan ketua osis dan juga teman dekat Kila. Namun, ada satu hal yang tak diketahui orang lain dan terlihat gamblang olehku. Kila pernah menyukai Gibran.
"Nu... lo makan apaan sih, lama amat pakai segala diemut dulu." Rian yang duduk di depanku mungkin kesal karena aku terlalu lama mengunyah makanan.
"Betewe, Nu. Lo sempet ngelirik Kila nggak, sih? Dari semenjak tu anak magang gue udah mepetin tapi selalu nggak bisa. Seleranya minimal roda empat plus AC-an. Sadis nggak tuh! Makanya anak kantor pada nggak berani deketin dia. Dan jadiin Kila angin segar aja. Instonya anak-anaknya kalau lagi banyak pikiran. Kila seger. Bening soalnya."
Hanya begitu. Dan aku meradang. Mendengar gadisku dijadikan tontonan. Dijadikan pujaan. Aku tak rela. Aku berdiri tanpa aba-aba membuat kursi yang kududuki terdorong keras ke belakang. "Gue balik." Hanya dua kata dan aku pergi.
Sore itu aku duduk di ruanganku seperti biasa. Mengerjakan laporan sesekali mengamati pergerakan Kila lewat kaca. Gadisku yang ramping dan gesit. Gadisku yang selalu gemetar tiap kali bertemu dengan lift. Ingin sekali kupindahkan kantor ini ke lantai pertama. Jadi, Kila tak perlu melawan trauma. Trauma karena kejadian di masa lampaunya.
Kila beranjak dari tempatnya. Akupun demikian. Memilih memberi jarak kepergianku dan Kila supaya tak ada yang curiga. Turun dengan lift kucari keberadaan gadisku. Dia sedang bercanda dengan lelaki tampan. Gibran Wiratama. Mantan pacar sahabat Kila sendiri.
Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Selalu perasaan takut itu hadir kembali. Takut kehilangan. Takut seorang diri. Takut ditinggal. Aku tak rela.
Egoku memberontak. Egoku menjajah. Aku tak suka Kila--gadisku itu disentuh pria manapun. Aku ingin memilikinya mesti tidak dengan hatinya. Setidaknya aku tak sendirian. Setidaknya aku tak kesepian.
Kila. Gadisku.
❤12345 Likes
Januar.Virendra ada yang terus benderang meski dalam pekatnya gulita: kamu. Gadisku.
View all coments
RianDirga Bos kenapa bos?
Siskalalala Ciyeee bos anu 😍😍😍
---
Karanganyar, 04 April 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top