[Gibran Wiratama 2]

"Nikah itu bukan perkara bisa ijab terus sah. Tapi ke depannya. Siap nggak membagi hati sama orang yang lo nikahin? Sementara lo aja nggak tau hati lo sekarang masih nyangkut di mana. Lagian kalau motivasi lo nikah karena ingin membahagiakan nyokap lo. Gimana kalau tiba-tiba nyokap lo nggak suka sama gue dikemudian hari?"

Tertohok. Telak. Ucapan Kila malam itu terus berputar berulang kali di kepala gue. Bahkan selalu gue pikir tiap mau tidur. Sebenarnya hati gue itu nyangkut di mana? selalu itu yang menjadi pertanyaan gue pada diri sendiri.

Semenjak saat itu pandangan gue buat Kila pun terasa berubah. Apalagi setelah kata nikah yang gue iyakan hanya dianggap guyonon semata. Memang selama ini gue dan kila tak pernah serius menanggapi suatu masalah. Namun, malam itu kok gue rasanya seperti tertolak. Dan gue bingung sendiri.

Malam ini, selepas pulang kerja seperti biasa gue akan membelokan mobil di perumahan Nata hanya sekedar melewati dan berakhir dengan berhenti di depan apartemen Kila. Memandang jendela kamar milik gadis itu yang masih terang. Kila mungkin masih terjaga. Setelah menyakinkan diri, gue nekat turun berniat bertandang ke flat Kila.

Kila masih mengenakan kemeja kerjanya ketika membukakan pintu. Rambut di kucir acak-acakan dan wajah ngantuknya. Dalam kondisi seperti ini pun, Kila tetap terlihat cantik. Cantik.

"Lo nggak tahu tata krama dalam bertamu ya? Lihat jam berapa sekarang?" tunjuknya ke arah kanan.

Gue terkekeh. Memegang lengan putih itu dan memutar tubuh kila menghadap belakang. "Jamnya di sana. Lo kayaknya udah ngantuk banget."

Sumpah, dari posisi seperti ini--gue berdiri di belakang Kila. Tercium wangi tubuh yang menguar bercampur dengan parfum gadis ini. Jelas Kila belum mandi padahal sudah pukul 12 malam lewat. Dari jarak sedekat ini terlihat jelas rambut yang mencuat dari ikatan rambut. Dan itu sexy. Cantik dan sexy. Pantas saja Januar tak bisa berpaling.

"Balik sana lo, kalau cuma mau ganggu." Kila menyikut perut gue.

Ough. "Gila lo setengah melek aja bisa sesakit ini kalau nyikut." Gue berjalan, melemparkan diri di sofa. "Kopi dong, Bun."

Kila melempar ikat rambutnya, tapi tetap berjalan ke dapur. Gue yang memang suntuk akhirnya mengekori Kila menuju dapur. Gadis itu berdiri, seperti orang bingung mencari sesuatu. Tak mungkin dia tak hafal tata letak benda di dapurnya sendiri.

Gue mendekat. Menyerahkan toples berisi garam. Kila menerima begitu saja. Pasti ada sesuatu yang tak beres dengan gadis ini. Dengan Kila yang terlihat linglung. Gue menarik gelas, Kila menatap tajam.

"Lo apaan deh, Bran."

Gue giring Kila menuju ruang tengah, mendudukannya. Gue pun ikut duduk di sampingnya. "Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa. Emang gue kenapa."

Gue tangkup wajah cantik itu, "gue kenal sama elo dari jaman alis lo masih asli," ucap gue sambil mengusapkan jempol pada alis Kila, "sampai sekarang udah jaman alis gambaran gini." Kila diam saja menikmati usapan gue.

"Selama itu gue kenal sama lo dan lo masih bilang nggak apa-apa. Lo nggak usah ikut trend cewek jaman sekarang, Kil. Kalau ngomong nggak apa-apa berarti ada apa-apa."

Jujur. Selama hampir 15 tahun gue kenal sama Kila, meski dalam jarak sedekat ini tapi jarang sekali kami berbagi cerita soal kegundahan hati masing-masing. Bahkan masalah soal hati Kila, dia juga tak pernah bercerita. Soal Nata pun gue jarang cerita.

Kami selalu punya dunia sendiri setiap kali duduk berdua. Menceritakan apapun tanpa menyinggung soal kekasih, masalah pribadi, bahkan tagihan cicilan milik Kila gue tahu sejak ada pemberitauan. Namun, kali ini berbeda. Gue akan tanya, apapun yang Kila rasakan saat ini. Apapun. Sampai pagi kalau perlu gue di sini.

Kila menatap gue. Bola mata yang seketika membuat gue ingin tenggelam di sana. Gue bahkan baru menyadari sebening apa netra Kila saat tanpa kontak lensa.

"Gimana cara lo bertahan selama ini, Bran. Bertahan dengan segala bentuk kepayahan atas penyesalan?"

Gue tahu arah pembicaraannya. Pasti soal pesan malam itu. Soal penyesalan yang dialami Kila. gadis itu tak bercerita sama gue.

"Januar?"

Kila tak menjawab. Gue tahu masalah Kila dan Januar? Jelas. Jelas sangat. Bahkan sebab Januar dan Kila putus pun gue tahu.

Benar memang kata orang. Kadang orang yang hanya diam saja memang pengamat yang handal. Dan gue akui itu terjadi pada diri gue sendiri. Gue pun sepertinya mampu menebak apa yang terjadi dengan Kila akhir-akhir ini. Gue melihat beberapa kode yang dilempar Januar pada Kila begitupun dengan komentar-komentar.

Kalian tanya apa gue tahu soal perasaan Kila? Jawabannya adalah Iya. Percaya sama gue, meski lelaki itu diberi label dengan kata tak peka tapi mereka sadar bagaimana pancaran seorang perempuan yang memendam rasa itu terasa berbeda.

"Dua kali gue buat Januar kecewa, dia memilih pergi, Bran, dan itu membuat perasaan bersalah menjamur di hati gue. Gue harus gimana? Nggak tenang terus."

Gue tepuk pipi gadis di hadapan ini dengan lembut, meminta Kila yang selalu menampilkan wajah sangar supaya kembali. Kila sekacau ini karena Januar?

"Kil, dengar gue. Akan ada banyak hal yang harus lo lewati dalam hidup. Dan ini salah satunya. Nggak mungkin hidup mulus-mulus saja. Perasaan bersalah yang terus mengiring lo saat ini. Gue tahu rasanya. Karena sampai sekarang gue pun masih merasakan."

Bola mata itu membulat menatap gue, "gue nggak tahu penyesalan lo hanya karena rasa bersalah atau yang lain tapi lo harus tahu kalau gue ada di sini. Lo bebas cerita sama gue apapun, Kil. Biar gue ada gunanya juga jadi temen lo."

Lama, kami terdiam. 15 tahun bersahabat, baru kali ini kami duduk dalam jarak sedekat dan seintens ini. Pun pertama kali gue menatap Kila serapuh ini, hanya karena kekalutannya pada kepergian Januar.

Kila mengangguk. Mengenggam tangan gue. Satu tawanya meluncur.

"Thanks ya, Bran. Nggak sia-sia kita kenal selama ini. Ada gunanya juga lo."

"Lunas berarti ya utang gue. Dulu lo ngasih khotbah ke gue. Hari ini gue kasih pencerahan sama lo."

"Sialan. Itung-itungan banget lo sama temen sendiri." Kila tergelak. Ada satu kelegaan meledak dalam diri gue. Meski tahu Kila tak sebenarnya baik tapi tahu dia sudah mampu tertawa itu lebih baik.

"Bran, lo nggak balik?"

Gue menggeleng, "gue takut ntar lo masuk koran. Jomblo frustasi ditinggal mantan pacar, jatuh dari gedung apartemen dengan membawa sebuah guling minions."

"Kampret, gue nggak segila itu. Sayang banget wajah gue yang cantik ini kalau harus remuk. Terus lo mau tidur di sini? Jangan harap lo boleh tidur di kasur gue lagi."

"Kenapa?"

"Males gue nyuci seprai, bau jigong njir."

"Nggak mungkin."

"Lo mau bukti? Gue fotoin tau. Kalau nggak gue sebarin, bayarin makan gue seminggu ya."

"Curut..."

Kila tertawa, kali ini lebih lepas dari yang lalu. Dan gue malah tertegun di tempat. Tawa Kila yang saat ini hadir seperti membekukan gue. Kila ternyata semengagumkan ini.

"Tapi rasanya sesak, Bran, harus digelayuti perasaan menyesal dan bersalah."

"Semua akan baik-baik saja, gue tahu lo lebih dari kuat. Percaya sama gue. Lo cuma butuh terbiasa lupa. Hingga benar-benar lupa sendiri."

Kila mengangguk.

Malam ini, gue merasa hidup sebagai seseorang yang mengenal Kila 15 tahun tapi tak tahu tabir hidup dan perasaan Kila. Dan gue merasa tak ada apa-apa dibandingkan Januar.

Januar.

Gue juga ingin menjadi sesosok yang mengerti Kila. 

---

Tbc

❤1001001 Likes
Gibran_Wiratama kadang kita terlalu fokus mencinta seseorang sampai lupa untuk memantaskan diri supaya mudah dicinta.
View all 46 coments
Shakila_Indira copas di mana kampret?
Gibran_Wiratama diragukan teman itu sakit curut
Shakila_Indira najis.
Gibran_Wiratama u ok?
Shakila_Indira ya. Tks

Karanganyar, 11 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top