[Flashback 5]


Senin pagi sebelum berlangsung upacara, aku menyempatkan diri melewati kelas 12. Kelas Januar lebih tepatnya. Hanya lewat saja sebenarnya sebelum masuk ke ruangan osis yang memang berada di lingkungan gedung kelas 12.

Nihil. Kelas 12 memang sudah bebas, makanya kelas dalam kondisi sepi. Bahkan dari absensi, kadang ada satu kelas yang tak masuk lebih dari setengahnya. Entah mengejar universitas aku tak tahu.

Januar. Memang dia pergi begitu saja, menurut slentingan yang kudengar dia memang mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Di Amerika. Aku sedikit bangga, mendapati mantanku memiliki prestasi yang bagus.

Hanya saja, kerap kali aku merasa sudah keterlaluan pada Januar karna seenteng itu mengucap kata putus. Padahal selama kami berpacaran, Januar selalu mengusahakan yang terbaik untukku. Namun, namanya darah muda yang egois dan mau menang sendiri. Mana mau aku diatur untuk tak berdekatan dengan siapapun. Berteman dengan ini dan itu. Aku tak mau diatur. Aku keras kepala? Betul. Apalagi di usia yang dalam masa transisi. Aku perlu mengenal banyak orang untuk mampu mengenali beberapa karakter.

Lalu, keinginan Januar memberi sekat pada pergaulanku itu juga salah bukan? Aku tak boleh berteman dengan Gibran. Memaksa pula.

Namun, wajah terkejut Januar saat aku dengan mudahnya memutuskannya masih tercetak jelas dalam ingatanku. Dan saat itu aku menjadi pribadi yang kejam.

Masuk ruang osis yang pertama kukerjakan adalah mencari seragamku. Aku memang lebih suka memakai seragam anak SD. Begitu kata guru BK setiap kali melihat aku mengenakan seragam yang kekecilan. Tersebab itu aku selalu menyediakan ganti di ruangan osis.

"Lo baru datang?" Gibran berujar saat aku masuk ke ruangan osis setelah mengganti seragam.

"Nggak, gue habis ganti seragam." Aku duduk di dekatnya, sepertinya dia sedang menyediakan undang-undang dan perlengkapan upacara lainnya. Dasar ketua osis.

"Lo putus sama Nata?" Aku bertanya.

Gibran hanya berdeham.

"Kenapa?"

"Capek gue. Ya, kali tiap gue mau ngajak jalan harus sama elo. Nggak pernah malam mingguan, nggak pernah nongkrong bareng, berangkat sama pulang aja nggak pernah. Bokap-nya ketat banget."

"Terus lo ikhlas gitu aja?"

"Ya kalau inget sama tampang manjanya yang imut itu jelas gue nggak rela tapi ya mau gimana lagi?"

"Lo nggak serius sama Nata?"

Gibran menghentikan gerakannya menumpuk berkas, "Kalau gue nggak serius, buat apa setengah tahun ini, Kil. Tapi, Nata nggak mau mengerti. Tiap gue ngomong gitu selalu dikatain mau menang sendiri. Egoislah."

"Semalam Nata telepon gue sambil nangis-nangis. Dia cerita semuanya sama gue, dia menyesal nggak bisa jalan sama elu dan sebagainya tapi dia juga nggak berani sama bokap-nya. Lo tau kan seberapa kerasnya keluarga dia?"

Sebenarnya, aku enggan memberikan informasi tentang Nata pada Gibran ini. Biarkan saja putus hubungan. Malah bagus aku tak perlu merasakan getaran-getaran luka aneh tiap kali mereka bersama. Namun, untungnya kali ini sisi egoisku tersisih dengan sisi baikku.

"Serius Nata bilang gitu?"

Aku mengangguk, "Dia bilang malu mau hubungin lo duluan. Lo nutup telepon nggak pakai salam dulu katanya."

 Gibran kemudian cengengesan, "Udah bel. Buru berdiri."

Upacara bendera berlangsung. Semua anggota osis berdiri di belakang barisan. Barisan memang diurutkan per kelas, dari kanan ke kiri. Sementara urutan dari depan ke belakang harus perempuan terlebih dahulu baru laki-laki. Iya, dan biasanya Januar selalu berdiri di barisan nomor dua dari belakang. Namun, hari ini kosong. Barisan kelas 12 IPA 2 memang hanya sebagian yang hadir.

Ya sudahlah. Tak ada Januar juga terus kenapa?

---

"Apaan ini?" tanyaku saat Gibran memberikan coklat. Silverqueen. "Buat gue?"

Gibran mengangguk.

"Pasti ada maunya lo baik sama gue begini," tudingku.

Gibran memberengut, "Gila sama temen sendiri lo begitu. Gue tu emang baik sama lo. Nggak ada maunya doang."

"Ya habis tumben baik, ini coklat kan mahal. Jatah jajan lo seharian."

"Nah itu, demi lo aja gue sampai nggak jajan."

"Serius. Ada apaan ini?"

"Gue balikan sama Nata."

Deg. Satu informasi yang dikatakan oleh Gibran membuat sebuah tombak menekan ulu hatiku. Nyeri.

"Thanks buat informasi kemarin ya, Kil. Lo emang temen gue banget." Gibran tertawa.

Aku bergeming di tempat. Aku yang meminta Gibran mempertimbangkan Nata tapi aku sendiri yang terluka. Memang seharusnya aku tak perlu memberitahukan soal perasaan Nata yang sebenarnya pada Gibran kemarin. Setidaknya aku tak akan menyaksikan Gibran dan Nata saling berbagi tawa bersama.

Namun, ruang hatiku terdalam menyimpan iba pada Nata yang beberapa hari ini datang ke sekolah dengan mata sembab. Belum lagi dengan kemurungan gadis manja tersebut. Aku mana tega?

Keluarga Nata yang juga baik padaku membuat hatiku semakin kebat-kebit ragu. Dan ini sudah menjadi pilihanku.

Kutelisik wajah bahagia Gibran. Setidaknya Gibran sudah bahagia bukan? Mendapatkan Nata kembali memang seperti hadiah khusus teruntuk Gibran. Tak apa aku berkorban perasaan sedikit, toh setidaknya aku tetap mendapatkan Gibran pun Nata di sisiku. Meski hanya sebagai teman tapi bukankah itu lebih dari cukup untuk hidupku yang sepi ini.

Pandanganku beralih pada coklat yang berada di pangkuanku. Coklat dengan pita pink di tengahnya. Coklat yang sama dengan yang sering diberikan oleh Januar. Coklat yang sering membuatku mengeluh sakit gigi pada lelaki itu. Januar dengan tenangnya akan mengatakan, dokter gigi sudah ada di mana-mana dan aku hanya mendengus.

Aku tertawa kecil mengingat ekspresi Januar kali itu. Lelaki itu sudah pergi, mengejar mimpinya. Tak perlu aku pikirkan kembali. Lebih baik memikirkan bagaimana cara supaya aku naik kelas.

Ya sudahlah.

---

Langit sore itu menurunkan anugerahnya, membasahi bumi yang gersang. Mencipta sejuk dan dingin yang menghangatkan kalbu. Aku masih duduk di ruang osis. Menghitung jumlah dana yang masuk dan keluar dalam organisasi.

Ketika jam di dinding menunjukkan angka lima aku memutuskan untuk pulang. Hujan masih lebat, bahkan jika aku berlari menuju halte. Baru tiga jangkah saja aku yakin sudah basah kuyup. Gibran memang tadi pulang lebih cepat. Aku yakin pasti ingin segera bergegas ke rumah Nata. Gibran memang sudah diizinkan berkunjung ke rumah Nata tapi tak diizinkan keluar rumah berdua saja.

Aku juga ingin diperjuangankan oleh seorang lelaki. Kelak.

Saat hendak mengenakan sepatu, aku melihat ada sebuah payung tergeletak di sana. Mungkin milik anggota osis yang lain pikirku. Tak apa bukan jika aku meminjam dan mengambilnya esok. Aku tak mungkin menunggu hujan reda.

Saat kubuka payung tersebut, ada sebuah kertas bergantung di sana. Aku yang penasaran pun membaca kalimat tersebut.

Hujan tak pernah jenuh meski selalu jatuh dan hilang.

Hujan tak pernah mengeluh meski selalu jatuh. 

Sampai berjumpa kembali, Shakila.

-J-

J? Januar?

Kuputar pandanganku ke segala arah, mencari sosok yang mungkin berada di balik tulisan tersebut. Tak ada siapapun di sekitar ruangan ini.

Kulangkahkan kakiku menginjak hujan yang menitik. Sesekali mengamati kertas yang bergantung di tengah payung.

Sampai jumpa kembali, Januar.


END FLASHBACK

Shakila Indira Listy

Langit tak pernah mengatakan ia tinggi pun luas.
Tanah tak pernah mengeluh meski selalu terinjak.

Gibran Wiratama and 1244 Likes

Gibran Wiratama nyolong dmna?
Shakila Indira Listy hehehe nemu dijln

Shakila Indira Listy

Jangan menjadi baik dengan menjelekkan orang lain.
Jangan menjadi tinggi dengan merendahkan orang lain.

Gibran Wiratama and 1111 Likes

Gibran Wiratama gue takut kalau lo bner gini.
Shakila Indira Listy kampret. Pcran aja sono. Malah epbi an

Detak tinggal berapa part lagi kelar.

Karanganyar, 18 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top