[Flashback 2]
Sabtu pagi yang menyebalkan. Bangun lebih siang dari biasanya, air keran mati, dan bus yang tak beroperasi. Membuatku harus terlambat menginjakan kakiku di sekolah.
Ku lihat seorang lelaki berdiri dengan kertas di tangannya.
"Mas...," teriakku sedikit menyembulkan kepala di gerbang samping. Iya, kalau aku lewat depan, pasti dihukum. Jadi, aku lewat gerbang samping. Anak-anak juga biasa lewat sini kalau terlambat.
Lelaki yang kupanggil 'Mas' itu menoleh. Harusnya dia kakak kelasku, karena gerbang ini berada di belakang gedung kelas 12, dan dia berkeliaran di sekitar sini.
"Kenapa?" Tanyanya tampak kaget saat melihatku seperti tak pernah melihat orang terlambat sekolah saja.
"Bukain gerbangnya dong, Mas," pintaku. Nggak ada orang sama sekali di sini. Lelaki ini masih mengamati aku. Tampak tak percaya dengan wujudku. Doh, orang cantik memang suka begitu. Dilihatin mulu.
"Mas, mau bukain gerbangnya nggak? Bengong aja," sentakku karena dia tetap diam. Keburu ketahuan tahu. Dia mengerjabkan mata, lalu bergegas membukakan aku gerbang.
"Thanks," ucapku saat tubuhku sudah masuk daerah teritori sekolah. Lelaki itu tersenyum kaku.
"Sama-sama, Kil."
Loh? "Mas, tahu nama gue?" Tanyaku bingung. Aku segitu terkenalnya kali. Sampai dia saja tahu namaku. Kibas rambut dulu, lah.
Dia mengangguk, "masih ingat aku?" Tanyanya.
Aku bingung dia siapa. Tampilan kuno abis. Masih jaman kacamata dengan tali gitu? Ya Ampun Gusti...
Saat ku amati name tag, di dada kanannya. Januar Virendra.
Januar. Januar. Namanya nggak asing di telingaku.
Oh iya, "Mas yang ikut olimpiade matematika tingkat internasional itu ya?"
Pasti benar. Ah, ingatanku memang tak bisa diragukan.
"Kamu sudah lupa ternyata," ucapnya berlalu dari hadapanku.
Kapan memang ketemu sama Januar. Januar. Januar. Astaga. Itu yang ketemu di makam, kan? Dia satu sekolah denganku. Dunia ternyata memang sempit. Lebih sempit daripada lubang. Lubang semut loh, ya.
---
"Kila!" Seseorang secara reflek menarik tubuhku menabrak tubuhnya. Apa tadi yang barusan terjadi?
"Lo mau cari mati, ya? Jalan sambil bengong. Lo mau ditabrak?" Ocehnya panjang lebar. Wajahku masih menempel di dada lelaki ini.
Deg. Deg. Deg. Jantung berdetak tak seharusnya. Degup yang tak sesuai irama. Tak seperti biasa. Ini karena perasaan takut, perasaan kaget, atau.....
"Kil, lo nggak apa-apa, kan?" Gibran menjauhkan tubuhku dari pelukannya. Dia memegang kedua pundakku, mengamati diriku dengan seksama.
Aku menggeleng. Masih tetap menatap tak fokus padanya. Pada mata hitam pekat itu. Memancarkan sesuatu yang tiba-tiba menghangatkan jantungku, membuat detaknya tak beraturan. Gibran.
"Eh, malah bengong lagi."
Aku mengerjapkan mataku. Mengembalikan fokusnya yang terkikis karena pandangan tersebut.
"Sorry, gue nggak apa-apa kok," ucapku kemudian. Gibran mengangguk. Dia merangkulkan tangannya di pundakku, mengajaku berjalan menuju halte bus.
Selama perjalanan sesekali ku lirik Gibran yang berdiri di sampingku. Gibran tampan. Sejak pertama bertemu. Dia memang tampan. Tak akan ku ingkari fakta ini. Bahkan orang yang tak mengenalnya pun akan berpendapat sama denganku. Tapi aku tak tahu kenapa dengan diriku.
Detaknya masih tak beraturan, padahal aku sudah tak ketakutan, harus apa. Ke dokter jantung gitu?
"Kil..."
"Kenapa?"
"Temen lo yang duduk bareng, siapa namanya?"
"Nata. Kenapa?"
"Kenalin dong, Kil. Gue kemarin ketemu dia udah mimbik-mimbik mau mewek gitu. Lucu deh, manis juga anaknya."
Gibran berbicara sambil tersenyum, seolah menerawang masa di mana dia bertemu dengan Nata. Satu kenyataan yang entah kenapa meremas jantungku, membuatnya tak beraturan. Berhamburan entah ke belahan dunia mana.
"Kil, malah bengong lagi. Gimana?"
Hah? "Oh, lo suka sama dia?" Tanyaku.
Dia mengangguk.
"Jangan, ah. Sama playboy cap curut kaya elu."
"Eh... apaan, gue nggak pernah pacaran dengan dua wanita sekaligus. Pantang bagi Gibran Wiratama punya pacar lebih dari dua."
Deg. Berarti sama aku nggak ya, Bran.
Kami duduk di halte bus, sore ini kami memang pulang lebih akhir karena harus rapat osis dulu, membahas tentang acara yang akan diadakan saat ulang tahun sekolah.
"Nata kalau di kelas gimana?" Tanya Gibran antusias.
"Ya gitu, lo pikir dia ngapain kalau di kelas? Goyang koprol gitu?"
Gibran tertawa lebar. Mengacak rambutku membuatku berdecak sebal. Entahlah, aku sebal saja.
"Pinter nggak?" Tanyanya lagi.
"Lo tanya langsung aja sama anaknya. Lo pikir gue maknya apa."
Gibran hanya nyengir, "satu lagi, dia masih jomblo, kan?"
Kali ini aku hanya mengangguk. Senyum milik Gibran makin lebar. Tanda bahagia, iya. Karena Nata.
"Thanks, salam buat Nata." Gibran mengusap rambutku dan masuk ke dalam bus jurusannya.
Ku pegang dada kiri, masih berdetak tak karuan. Sapuan hangat tangan Gibran masih terasa di puncak kepalaku. Dalam sejarah 15 tahun hidupku. Baru kali ini aku begini berada didekat lelaki.
Aku ini sebenarnya kenapa?
---
Semenjak kejadian sore itu, aku jadi sering mengamati Gibran lewat jendela kelasku. Gedung kelas kami memang berhadapan, tapi kelas Gibran berada di lantai dua. Memudahkan aku mengamati kegiatannya.
Gibran yang lebih suka duduk di depan kelas dengan kacamata bacanya, dan komik conan di tangan kirinya. Gibran yang tiap pulang sekolah akan menyempatkan diri, dengan seragam yang sudah tertanggal menyisakan kaos putih dalamnya sedang bermain basket. Lalu, akan pulang saat jingga mulai tenggelam.
Hal konyol yang entah kenapa menjadi aktivitas ku beberapa hari ini.
Setiap kali aku bergerak, bahkan dalam jarak 2 meter pun, aku tahu itu Gibran. Bahkan hanya siluetnya pun aku tahu.
Lalu, sore itu. Gibran datang ke arahku. Memberikanku sebuah coklat silverqueen berukuran sedang. Merangkul diriku. Wajahnyq terlihat sekali bahagia.
Senyum tak lepas dari bibirnya, aku pun tertular senyum itu. Terima kasih ya, Bran.
"Gue jadian sama Nata. Thanks ya, Kil. Berkat lo nih."
Senyum yang tadi mengembang seketika lenyap. Wajahku kaku. Dia bilang apa? Jadian sama Nata? Pacaran?
Dadaku memanas, jantungku seperti berhenti berdetak. Ku coba menetralkan napasku.
Pernyataan Gibran membuat semua oksigenku seperti terserap oleh pori-pori. Sesak membelenggu.
"Gue traktir deh," tawar Gibran.
"Nggak usah, gue mau balik. Congrats ya," ucapku berlalu dari hadapannya. Ku pegang dada kiriku yang berdenyut nyeri.
Aku tak tahu, ternyata luka tak kasat mata itu lebih menyakitkan. Malam ini, aku berputar mengelilingi Jakarta dengan bus. Entah dia akan berhenti terakhir di mana. Aku tak peduli.
Aku masih 15 tahun. Baru sekali merasakan bahagia memperhatikan seorang lelaki, bahagia bersapa, namun harus lebur begitu saja dalam sekali kalimat.
---
+6285647xxxxx
Boleh bertemu? Kutunggu di taman komplek samping rumahmu.
Aku membaca pesan yang muncul di ponselku. Si pengirim adalah orang yang sering mengirimiku cokelat. Aku tahu karena dia sudah mengaku.
Ku teliti kembali tanggal pengirimannya. 16.26. Sementara sekarang sudah pukul 19.30. Harusnya dia sudah pulang, kan?
Aku turun dari bus, memegang tali ranselku erat. Sedikit takut sebenarnya pulang hingga selarut ini. Tapi entahlah, aku sedang ingin saja berjalan-jalan walau harus berakhir lelah karena lebih sering terjebak macet.
Saat melintasi taman komplek samping rumahku. Kakiku bergerak. Ya, penasaran saja sebenarnya. Ingin tahu siapa yang punya uang jajan banyak hingga bisa tiap hari membelikan aku cokelat.
Ku edarkan pandanganku, taman masih ramai orang berpacaran walau sudah malam dan dingin. Iya, makin malam makin syahdu.
Aku berdiri di depan lampu taman yang remang, sambil mengamati sekitar. Kira-kira siapa lelaki tampan yang cocok ku sebut penggemar rahasiaku. Tsadest...
"Akhirnya, kamu datang juga."
Bulu kudukku meremang mendengar suara di balik punggungku. Sambil membaca doa. Apa saja yang ku bisa, ku putar badanku.
Aku terkejut. Sungguh.
"Januar?" Tanyaku kaget. "Lo yang kirim sms?" Tanyaku kembali.
Januar mengangguk. What the....
"Aku... aku suka sama kamu, Kil, sejak pertama kali kita bertemu," ucapnya gugup.
"Sejak saat itu, bayang wajahmu sering sekali muncul dalam mimpiku. Menerangi pagiku, menghangatkan malamku. Kamu bagai bulan, menerangi hidupku yang gelap, dan tak berwarna." Januar berbicara sambil menunduk.
Dia ini sebenarnya pidato apa? Ku dekati saja dia, tubuhnya langsung tegak. Ku tarik tangan kirinya.
Hahanjiiiir, telapak tangannya penuh dengan coretan kata-kata yang barusan diucapkannya. "Lo nyontek kata-kata dimana?"
Seketika tawaku pecah. "Masa juara olimpiade matematika tingkat internasional harus nyontek dulu," ucapku melepaskan pegangan tanganku.
Dia terlihat gugup, "lo nembak gue? Suka sama gue?" Tanyaku memastikan.
Dia mengangguk. Sambil menunduk.
"Berapa berat lo sekarang?" Tanyaku kembali.
"85 kg."
"Kalau lo bisa turun 20 kg dalam 3 minggu. Lo boleh datang ke sini lagi dan gue iyain jadi pacar gue."
"Jadi..."
"Ya udah, diet dulu sana."
Senyumnya mengembang. "Terima kasih."
Aku mengangguk meninggalkan Januar. Entah, kenapa aku segila ini. Jujur saja, melihat usaha Januar barusan membuat perasaanku membaik. Tiba-tiba bisa tertawa lepas setelah sesak yang dibuat Gibran siang tadi.
Pun bukan maksud menghina, atau melecehkan. Semoga sama Januar menjadikan ucapanku tadi sebagai pacuan. Ya, jadi pacar doang, kan? Aku sudah terbiasa punya pacar. Tiap ada orang nembak juga ku iyain. Penting jadi pacar, kan?
Pacaran dua hari putus. Lumrahkan untuk anak seusiaku. Kalaupun Januar tiba kembali ke sini. Aku pun tetap akan mengiyakan.
Lumayanlah kalau jadi pacar Januar, duit jajanku sepertinya bakal aman sentosa.
Ku tunggu ya, Nu.
----
Tbc
Ciyeee.... Kila SMAnya juga seperti cewek pada umumnya kok gaes 😂😂😂😂
Karanganyar, 22 Januari 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top