[Enam]
23. 45 dan aku baru menginjakan kakiku di gedung apartemen. Andai pantatku bisa berteriak, mungkin dia akan menyumpahi kursi di kubikel kantor. Bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam, tidur, bangun pagi, berangkat kerja, pulang malam lagi, GITU SAJA TERUS SAMPAI LADY GAGA PAKAI HIJAB. Rutinitas yang harus kujalani selama ini, dan aku sudah dalam mode jenuh tingkat internasional.
Ya, tapi sekali lagi. Aku butuh makan, butuh belenjong, butuh dendong. Mau tak mau kujalani. Bahagia sehari, hari gajian. Menderita setiap hari. Apa boleh buat, aku tak lahir dari rahim ratu minyak, atau juragan cengkeh.
Kulangkahkan kakiku sedikit terseok menuju lift yang entah bagaimana rasanya seperti ribuan kilometer di depanku. Hayati lelah, Bang. Butuh permadani. Saat tiba di depan pintu lift, tiba-tiba seseorang merangkul pundakku. Aku hampir saja melayangkan jurus kamehameha, namun saat tahu siapa yang berdiri di sana. Aku diam saja membiarkan tangannya tetap bertengger manis.
Masuk dalam lift, rangkulan tangannya belum terlepas. Malam semakin kuat.
"Nyanyi coba, Kil."
"Ogah," tolakku. Tenagaku sudah habis. Masih disuruh nyanyi. Jangan gila.
"Dulu aja, lo suka nyanyi-nyanyi di ruang OSIS, hiburan banget," ucap Gibran.
"Dulu gue masih polos, Bran."
"Sekarang sukanya polosan ya," candanya sambil nyengir kuda membuatku hampir mancabik mulutnya.
"Lo ngapain sih, di sini tengah malam gini. Penunggu, ya?"
"Penunggunya seganteng gue, pada betah kali yang tinggal," ungkapnya penuh percaya diri.
"Pengin muntah." Aku bergaya seolah benar-benar ingin muntah. Walau sebenarnya, Gibran memang tampan. "Serius, lo ngapain ke sini?" Tanyaku sekali lagi.
"Karena hape lo nggak bisa dihubungi dari pagi," jawabnya singkat.
Lift terbuka. Kami berjalan berdempetan. Tangan Gibran sudah lepas dari pundakku.
"Orang bilang, trauma itu makin besar efeknya karena terlalu sering dipikirkan. Jadi, kalau sambil ngobrol nggak terasa juga sampai tujuan."
"Ah, sotoy..." aku berniat memukul dadanya, namun ditahan.
"Buktinya kaki lo nggak bergetar tadi," terangnya sambil mendorong pintu flatku.
Eh? Gibran tahu aku sering gemetar tiap naik lift. Berarti dia memperhatikan?
"Jadi, apa tujuan lo ke sini, tengah malam begini." Aku duduk di sofa ruang tamu.
Gibran ikut duduk di sebelahku, "sepupu gue nikah lusa," ucapnya singkat.
"Lo minta gue temenin ke acara nikahannya?" Tembakku langsung saat tahu maksud ucapannya.
Gibran mengangguk.
Lusa aku memang tak ada acara apa-apa dan berniat menghabiskan waktu di pulau kapuk saja seharian.
Gibran merogoh kantong bajunya dan menunjukan sesuatu di depan wajahku.
Alisnya di naikkan, bertanya 'bagaimana'.
"Ogah, silver doang. Kemarin gue intip, lo punya yang gold."
"Wah... lo emang nggak bisa dikasih hati ya, Kil," ucapnya seolah habis dianiaya.
"Gue nggak minta, lo sendiri yang menyodorkan."
Gibran menatap wajahku seksama, entah apa yang dipikirkannya.
"Lo pasti ngerti kenapa sewa mobil semakin keren semakin mahal? Nah, ini juga berlaku buat kita. Berhubung gue cantik, silver aja nggak cukup."
Gibran akhirnya membuka dompetnya, mengeluarkan kartunya yang satu lagi. Langsung saja kuserobot. Memang beda wangi silver sama gold itu. Hahaha.
"Gandengan tangan, peluk pinggang, rangkul pundak."
"Cium pipi...," tambahnya membuatku melotot.
"Ogah! Nggak ada cium-ciuman," tolakku.
"Masa berlaku kartu itu, 3 hari." Gibran menyerahkan sebuah kain padaku, "lo kecilin aja, seukuran kakak sepupu gue itu."
"Siap." Aku mengacungkan jempolku tanda setuju. Gibran mendengus tak urung membuatku tertawa.
"Emang gila cewek metropolitan masa kini," sindirnya sambil berjalan menuju pintu, "masuk gue yang dorong, pulang buka sendiri," gerutunya. Membuatku tertawa.
Kupikir Gibran sudah berlalu, saat kutengokan kepalaku dia masih berdiri di depan pintu. Menghadap ke arahku.
"Kaki lo mungkin lebih kuat dari beton, tapi kepala lo juga butuh pundak buat bersandar," ucapnya kemudian menghilang di balik pintu.
Eh? Apa maksudnya...
---
+6281223567xxx
Selamat Siang, kepada nasabah yang terhormat kami beritahukan bahwa jatuh tempo kredit Anda adalah hari ini. Kami memberi waktu 3 hari guna melakukan transaksi, untuk pembayaran angsuran selama 3 bulan ini. Jika 3 hari dari belum ada transaksi, kami terpaksa melelang barang jaminan. Terima kasih.
Aku mengerang, hampir melempar ponselku yang memang sejak kemarin siang tak kuaktifkan. Aku berjongkok di samping nakas, mencermati kembali isi pesan tersebut. Aku memang sudah mangkir angsuran selama 3 bulan ini, alasannya karena tak ada proyek besar yang kuambil. Jadi, tak ada rupiah besar pula yang masuk dalam rekeningku.
Shit! Aku terus mengumpat, ingin berteriak, memaki, menyumpahi tapi pada siapa? Pada keadaan?
Tenagaku terasa terserap oleh isi pesan tersebut, aku sudah lemas tapi tetap harus berangkat kerja. Nasib jadi bawahan, mau perasaan lagi entah bagaimana, atasan tahunya hanya hasilnya beres. Sial.
Kenapa aku tak lahir dari rahim istri CEO?
---
"Ehm," dehaman dari sebelahku membuatku menoleh. Ada Januar berdiri di sana. Mengalungkan tas kerjanya di lengan kiri dan tangan kanan yang masuk dalam saku celana. Hawt abis.
"Pulang, Pak?" Tanya Luna yang ikut pulang bersamaku.
"Ya." Udah. Y. A. Lalu pergi.
"Cool abis," puji Siska yang berdiri di samping Lana.
"Cool kas 2 pintuuunya, kak... mari silaaakan... kami punya garansi sampai ajal menjempuuut." Aku berkata sambil berjalan menuju mobilku.
Keluar dari gedung kantor masih sore. Jingga masih menampakan sinarnya, aku baru berjalan 5 menit dan sudah terjebak macet. Saat magrib menjelang, di bawah lampu merah kutatap beberapa perempuan cantik. Penjajak kebahagiaan.
Aku termenung. Apa aku harus seperti mereka buat membayar tagihan hidupku yang makin lama makin tak beraturan? Kugelengkan kepalaku. Mengenyahkan pikiran aneh-aneh yang berkeliaran.
Aku rasanya ingin menyerah, dan memilih menikah saja.
Mobilku berhenti di sebuah bangunan. Aku turun, rumah di hadapanku terasa dingin. Amat dingin.
"Mbak Kila," sapa seorang Ibu yang tinggal di samping rumah tersebut. Rumah peninggalan Papa.
"Bu Ida...," jawabku lirih.
"Mbak Kila, kenapa jarang sekali mampir ke sini? Kapan hari itu Mbak Shafa ke sini."
Eh? Shafa datang ke sini.
"Sendiri, Bu?" Tanyaku penasaran.
"Diantar lelaki," jawaban Bu Ida membuatku mendengus kasar. "Tapi beda sama yang diajak bulan lalu."
Aku hanya diam.
"Terima kasih, Bu. Kalau Shafa ke mari lagi. Boleh nanti hubungi saya?"
"Baik, Mbak."
---
Aku duduk di bangku taman, menatap pada sekitar yang mulai dipadati pasangan muda mudi. Dulu, aku pun sering ke taman ini, bukan untuk berpacaran tapi berjalan ke sana ke mari sambil menggandeng tangan seorang lelaki. Papaku.
Boleh nggak sih, aku berharap tetap jadi anak kecil saja? Tak tahu harga lamborgini, hanya tahu sekop dan tanah. Bisa nggak waktu diputar kembali?
Kucengkeram rambutku, sambil menunduk. Menatap sendal jepit yang kupakai malam ini.
"Shakila..."
"ALLAHUAKBAR, SUBHANALLAH, ASTAGFIRULLAH..."
Aku otomatis berdiri dan menatap siapa yang memanggilku barusan. Gila. Kupikir jin tomang penunggu taman ini. Ternyata jin iprit.
Dia sedang menipiskan bibirnya, tanda menahan tawa.
"Keluarin aja, nggak baik nahan-nahan ketawa gitu. Daripada keluarnya dari belakang," sindirku.
Dia membuka mulutnya tapi tak tertawa hanya tersenyum. Kutatap lelaki ini, penuh minat. Tanpa kedip. Membuatnya salah tingkah.
"Ehm... kok kamu bisa di sini?"
"Buang bensin, lo sendiri ngapain ke sini, Nu?"
"Ngalusin ban mobil."
"Njiiir... sombong ya, Bos kitaaa..." kutinju lengannya. Aku menggodanya seolah tak ada kejadian kemarin.
"Gue pikir mau nyari cabe-cabean, jam segini belum pada mangkal."
"Kamu selalu begini?" Tanyanya membuatku kembali fokus pada Januar.
Hah? "Maksud lo?"
"Fake smile."
"Ah... sotoy deh. Gue balik dulu."
Januar maju memegang kedua pundakku, "eh... lepasin."
"Bisa tidak kamu bersikap seperti perempuan lain?"
Aku menyeringai ke arah Januar. "Gue nggak bisa, karena gue bukan mereka. Udah sana. Balik," usirku.
Januar diam.
"Udah deh, Nu. Jangan bersikap lo tu power ranger. Pembela kebajikan, penumpas kejahatan di muka bumi."
"Nggak lucu."
"Yang ngelawak siapa, Nu. Udah lepasin. Mau balik gue." Kugoyangkan pundakku.
"Pun kamu, jangan bersikap seolah kamu power puffgirl."
Aku hampir tertawa. Dia mau ngelawak? Tapi muka lempeng.
"Udah, ah, Nu. Udah malem. Gue mau balik."
Januar tak mengindahkan ucapanku, alih-alih memajukan kepalanya. Dan menempelkan sesuatu di bibirku.
Aku terdiam.
Mataku masih berkedip, menatap surai hitam di depanku. Januar menciumku.
Gila.
---
Tbc
Ciyeee.... Kila dicium abang Anu...
Hahaha, mau nambah Part Gibran lagi, tapi wattpad mulai lemot tanda berontak. Gibran disimpan buat part depan yaaaaah.
Karanganyar, 26 Januari 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top