[Empat Belas]
"Nu... itu tadi Shafa, kan?" tanyaku sekali lagi, masih dalam pelukan Januar. Aku tak mungkin salah mengenali kakak kandungku sendiri meski sudah dua tahunan tak bertemu dengan Shafa. Januar tak menjawab, deru napasnya terasa membelai ujung kepalaku memberi elusan yang membuat bulu kuduk meremang.
Satu detik
Dua detik
Hingga dalam hitungan menit tetap tak ada penjelasan dari Januar. Lelaki ini memilih tetap memelukku.
"Januar!" Aku coba mendorong tubuh Januar tapi lelaki itu melakukan sebaliknya. Memelukku erat, seolah ingin meremukan tubuhku. "Lepas!"
"Iya, itu Shafa. Kakak kamu," jawab Januar akhirnya tanpa melepaskanku dari dekapannya.
"Dia... kenapa bisa ada di sini? Ada hubungan apa kalian?"
Januar diam. Benar-benar menguji kesabaran lelaki wangi ini. Napasnya yang terus menggelitik pangkal rambutku membuatku sedikit terbuai. Jujur saja.
"Kalau lo nggak mau jelasin, gue tendang kanjut lo," ancamku, tak berarti karena Januar tetap diam.
"Kita masuk dulu, nanti aku jelaskan semua. Alasan kenapa Shafa bisa di sini dan ada hubungan apa aku sama Shafa selama ini."
"Nggak mau," tolakku, "nggak enak sama yang lain kali, Nu. Ini kan acara buat mengenang seribu harian berpulangnya nyokap lo. Orang pada ngaji sama berdoa. Yakali gue dateng pakai baju begini."
Januar akhirnya melepaskan pelukannya. Meneliti diriku dari atas hingga bawah: atasan ungu muda sesiku dan rok pensil hitam tiga perempat. "Nggak masalah. Pinjam baju sama Mikha, kayaknya ukuran baju kalian sama."
Aku masih bergeming tak memberi jawaban atau penolakan.
"Tolong..." pinta Januar, kali ini dengan suara lirih.
Aku mengangguk. Mengiringi langkah Januar masuk ke dalam rumah megahnya. Ya sudahlah. Toh Januar selama ini juga sudah berbuat baik padaku setidaknya aku bisa membalas sedikit kebaikannya. Senyum tipis mengembang dari wajah kaku lelaki itu. Masuk dalam kediaman bapak Wibisana, satu kata yang dapat kugambarkan: mewah. Hiasan-hiasan, furnitur, dan segala pengisi ruangan ini benar-benar membuat terpukau. Guci yang berada di sampingku ini mungkin lebih dari total gajiku selama setahun.
Bisa dijadikan list rumah yang wajib disambangi kalau jaga lilin.
"Ada apa manggil Mikha, Mas?" suara cempreng seorang perempuan muncul dari ruang tengah.
"Mas pinjem baju yang sopan buat temen," jawab Januar berdiri tepat di depan gadis tersebut, membuatku kesusahan melihat wajah dan tubuh perempuan yang diajak Januar bicara.
"Siapa?" perempuan yang bernama Mikha itu terlihat mengintip. "Mbak Kila ya?"
Eh? Dia tahu namaku.
Mikha mendorong Januar dan berdiri di depanku. Kuperkirakan perempuan ini berusia di bawah angka 20. Masih muda, dan lincah tapi ukuran badannya setara denganku. Memang benar, gizi anak jaman sekarang lebih terjamin. Berbeda dengan jaman dulu, minum susu saja hanya air tajin.
"Mikhayla Azzahra." Mikha menyodorkan tangannya, gadis putih cantik ini terlihat sekali bahagia melihatku berdiri di sini. Di rumah ini.
"Shakila. Panggil saja Kila." Aku membalas, menyalaminya. Tanganku digenggamnya erat.
Satu cengiran muncul di wajah Mikha, "aslinya lebih cantik ya, Mas?" Mikha menengok ke belakang. "Boleh kok, Mbak, kalau mau pinjem baju Mikha. Biar ada alasan lagi nanti main ke sini. Hehe." Mikha melepas genggamannya, "aku ambilkan dulu bajunya ya, Mbak. Duduk dulu, ngobrol dulu. Kalau Mas Anunya tetep diem kelikitik aja, Mbak. Pasti ketawa."
Aku hanya mengangguk takjub mendapati perbandingan yang signifikan antara Januar dan Mikha.
"Adek lo?" tanyaku setelah kepergian Mikha.
Januar ikut duduk di sebelahku. Sedikit memberi jarak. "Adek tiri. Dari istri pertama Papa," jawabnya singkat.
"Istri pertama pak Wibisana di sini juga?"
Januar menggeleng, "di suatu tempat."
Terlihat sekali Januar enggan menjawab dan aku pun enggan mengorek luka lama milik Januar. Jadi, kuputuskan menepuk pundaknya ringan. Memberi isyarat untuknya bahwa bersabar itu perlu. Januar menoleh, mengamati tanganku yang masih menepuk pundaknya. Melemparkan ucapan terima kasih lewat tatapannya.
"Ciyeeeee..." sorak Mikha membuat tepukanku terhenti. "Yaaaah, Mikha ganggu, ya? Sekarang Mbak Kila ganti baju dulu karena acara mau dimulai."
"Juara emang lo, Mas. Yang begitu emang jangan dilepas. Kelihatan strong banget."
Sayup-sayup kudengar pujian Mikha terlihat menggoda kakaknya. Dapat kubayangkan wajah kaku milik Januar yang tetap datar meski ditertawakan adiknya.
---
Dari tempat dudukku dapat kulihat susunan duduk dari keluarga Pak Wibisana. Pak Wibisana di tengah dengan Mikha pun Januar di sebelah kanan beliau. Sementara di sebelah kiri Pak Wibisana duduk seorang lelaki yang dulu kutemui saat parkiran kantor bersama Januar. Tak ada perempuan lain selain Mikha di sana. tak ada istri-istri yang kerap kali digosipkan anak-anak kantor. Jadi, siapa sebenarnya Shafa?
"Jadi?" tembakku saat Januar menghampiriku sembari menyerahkan gelas berisi coklat hangat.
Januar duduk di sebelahku, menatap tembok pembatas rumah. Kami sedang berada di gazebo rumah Pak Wibisana. Acara sudah selesai tapi aku tak sempat bertegur sapa dengan beliau karena banyaknya tamu yang hadir.
Januar melepaskan kacamatanya, kemudian memasukan ke dalam saku baju koko berwarna biru dongker. Menarik napas perlahan, "Shafa itu calon istri Papa yang baru."
Jawaban Januar membuatku terkejut? Jelas. Sangat. Amat.
Aku masih mengamati Januar yang terlihat menunduk, membuat pola aneh dengan kakinya. Mencengkeram rambutnya kuat-kuat. "Istri pertama Papa Wibi gila karena kalah judi uang milyaran. Di tahun yang sama Mama kandungku meninggalkan aku yang berusia sepuluh tahun hanya bersama Papa kandungku dan Mikha. Entah bagaimana ceritanya, lima tahun kemudian aku dibawa ke rumah ini hingga saat ini."
Aku menelaah, "jadi, Pak Wibisana tahu kalau nyokap lo udah punya anak?"
Januar mengangguk, "Mama udah cerai tapi sepihak, Papa sakit karena tahu Mama nikah lagi. Dan akhirnya meninggal beberapa tahun kemudian. Dulu aku nggak ngerti apa-apa, Kil, jadi hanya diam saja saat Mama menyeretku ke sini."
"Terus bisa jadi Shafa jadi calon istri baru gimana?"
"Aku juga nggak tahu, beberapa bulan lalu Papa datang ke rumah. Memperkenalkan Shafa sebagai teman dekat beliau. Aku sama yang lainnya jelas berontak. Nggak terima dia jadi Mama baru kami. Terlebih Shafa dan Nando lebih tua Nando. Dia yang paling berontak dengan siap hengkang dari rumah."
"Nando itu yang dulu ketemu di parkiran, kan?"
Januar menangguk, "dia juga nggak suka sama aku. Karena dianggap cuma jadi benalu."
"Gila, Nu. Hidup lo drama banget. Ngalahin sinetron Indonesia. Kalau Shafa jadi nyokap lo. Lo manggil gue tante dong."
Januar tersenyum miris tak menanggapi ucapanku. Tangannya terlihat memijat pangkal hidungnya. Aku tak tahu jika tabir di balik seorang Januar sekelam ini. Aku sendiri tak mampu memberikan komentar apapun selain guyonan garing yang jelas tak menghibur sama sekali. Selain karena keterkejutanku mendapati fakta bahwa kakak kandungku sendiri mendekati lelaki yang merupakan bos besarku, Papa tiri mantan pacarku.
Wow! Drama apa ini sebenarnya?
Kutepukkan tangan kananku pada pundak kiri Januar, hanya tepukkan ringan, "ibarat beton penyangga, semakin berat bebannya semakin kuat beton yang dibutuhkan. Sama kaya hidup, semakin banyak beban hidup, semakin kuat penyangganya. Dan gue yakin lo lebih dari sekedar kuat buat menopang segala beban hidup lo, Nu," ucapku, tulus. Karena hidupku juga tak lebih ringan daripada Januar.
Januar menoleh, melingkupi tanganku yang bertengger di pundaknya dengan tangan kanannya. Senyumnya berkembang, kali ini lebih mekar daripada yang lalu. "Terima kasih."
Aku mengangguk. Menarik tanganku dari sana. Memberikan jarak pada tangan milik Januar.
Canggung.
Semasa pacaran dulu, mana pernah aku memegang pundak Januar. Diboncengkan saja tak mau tapi sekarang aku dengan gamblangnya memberikan semangat pada Januar. Menghilangkan canggung aku memilih memainkan ponselku yang tak terjamah seharian ini.
127 Missed Call. Dan semua berasal dari orang yang sama. Ada apa Gibran menghubungiku sebanyak itu? Mungkinkah dia menanyakan soal jawaban atas pertanyaannya tadi pagi. Soal permintaan tolongnya?
Gibran Wiratama.
❤969696 Likes
Shakila_Indira Jangan Manja. Jangan Kekanakan. Karena merasa hidup kita yang paling merana. Buka mata cinta. Di luar sana banyak yang menderita. Dan berharap bisa memiliki hidup seperti kita. Bersyukur 🙏🙏🙏
View all 26 coments
ZhioArkh Njiiir yang dipenghujung umur 20th an mah suka bener 👍
Gibran_Wiratama yang udah kawin nggak usah jumawa ZhioArkh
RizkAyu Good job Kila. Makin cantik aja 😍
ZhioArkh cantik kamu Mah RizkAyu
RizkAyu alaaah pret 😝
Karanganyar, 06 April 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top