[Empat]
Aku masih terpaku dengan kehadiran Januar di hadapanku. Ditambah mulut Gibran yang cuma berapa senti di samping telingaku. Apa yang dipikirkan Januar dengan pose kami seperti ini?
Aku berjalan maju mendekati Januar, "kenapa, Nu?" Tanyaku akhirnya karena sepertinya dia tak akan bereaksi apa-apa.
Dia menyerahkan paperbag ke arahku. Ku tengok isinya, "ketinggalan." Dia melirik ke arah Gibran yang berjalan ke arah kami.
"Lo ngapain ke sini pagi-pagi?" Tanya Gibran pada Januar.
"Balikin blazer Kila." Sudah. Hanya tiga kata. Dan nggak ada pertanyaan balik. "Saya permisi." Dua kata. Kalau dijumlah jadi lima kata.
Memang sekarang ngomong bayar ya? Perasaan masih gratis. Gratisan aja ngiritnya begini. Ya ampuuun...
Aku masih menatap punggung Januar berjalan menuju pintu utama. Januar tampak beda pagi ini dan nggak terlihat kaku. Dari penampilannya. Kaos putih, celana cargo hitam selutut, dan kacamata hipster.
Celana cargo selututnya membuat aku dapat mengamati bulu-bulu kaki milik Januar yang entah bagaimana bentuknya seperti melambai minta di cabut-cabut manja. Astaga.
"Januar kuliah di amrik apa jepun sih?" Pertanyaan Gibran barusan menyadarkan aku akan sosok lain di tempat ini selain diriku.
"Amrik deh, kenapa?"
"Gue pikir Jepang. Soalnya dia bisa kurus gitu."
Ku amati punggung Januar yang menghilang dari balik kaca. "Iya yah, Amrik ada program kurus kaya Jepang nggak sih?"
Gibran tertawa. Tangannya dengan lancang diusapkan di wajahku. "Yuk jalan."
Dia merangkulkan lengannya di pundakku. Mengajakku berjalan menuju mobilnya. Melanjutkan misiku menggesekkan debit milik Gibran. Kita lihat muka sama dompetnya seimbang apa enggak. Kalau iya, berarti Gibran tipe wajib jadi calon imam. Hahaha
"Inget nggak dulu tiap SMA kita jalan di mall begini juga, Kil."
"Ingetlaaaah, lo jalan gandengan tangan sama Nata. Gue di belakang, ngemut es krim..."
Gibran tertawa terkenang masa itu.
"Dulu gue juga mau-maunya di sogok es krim doang. Harusnya minta yang mahalan ya, Nata aja ultah dikasih jam. Gue tetep aja es krim. Sampai sekarang tetap es krim. Dari umur 15 tahun, sekarang 28 tahun. Es krim lagi. Es krim lagi."
"Otak lo dulu, ke mana si Kil. Lu hanyutkan ke mana. Coba dicari lagi. Harapan gue bisa di tuker lagi sama yang dulu. Biar nggak duit mulu pikirannya."
"Ogah. Otak gue yang dulu isinya perasaan doang. Sekarang udah di upgrade. Karena ternyata mau seneng aja juga butuuh duit. Cinta aja nggak cukup."
"Lo sama Januar dulu...."
"Stop bahas-bahas yang dulu." Potongku saat Gibran mengingatkan masa lalu. Hari ini aku ingin senang-senang belanja.
---
"Gila ya, gue yang diajak, gue yang bayarin, gue juga yang disuruh jadi kuli angkut. Bahaya emang cewek kaya elu, Kil. Nggak ada jaim-jaimnya sama sekali."
"Yaelah, Bran. Jangan kaya banci deh, gitu aja ngeluh. Belum juga sepuluh juta. Udah ngomel aja kaya mak-mak kurang orgasme."
Kami memang sedang berjalan menuju lift. Pukul 22.00 dan kami baru selesai jalan-jalan. Gibran memang baik, dari dulu. Dia royal sama teman. Bersama Gibran, aku tak perlu memakai topengku. Tinggal bilang apa. Dan Gibran dengan hati lapangnya akan mendengarkan tanpa tersinggung sama sekali.
Lift hanya berisi kami berdua menuju lantai 19.
"Cowok-cowok yang jadi pacar lo, juga gini tiap jalan sama elu?"
"Gue nggak pernah pacaran," jawabku implusif.
"Terus yang jalan sama lo selama ini?"
"Dekat, jalan, jajan. Dia macem-macem. Tinggalin. Udah." Aku malas menjelaskan sebenarnya. Gibran kenapa terus bertanya soal ini. Membuatku pusing saja.
"Macem-macem itu apa?" Ku lirik, Gibran menatap ku tak percaya.
"Kaya lo nggak tahu aja, Bran. Lo kan tinggal di luar negeri. Dan gue tau, lo suka setor benih juga. Di balon udara."
"Maksud gue, lo rela dibelanjain, demi duit, lo jual..." Gibran bertanya penuh kehati-hatian. Mungkin takut aku tersinggung.
"Penampilan gue memang menipu ya, Bran? Emang kelihatannya gue kaya cewek mureh ya?" Aku tersenyum miris. Memang selalu begitu pandangan orang kepadaku.
Pernah suatu hari, ada seorang wanita paruh baya tiba-tiba menamparku, mencaciku. Karena menurutnya aku merebut suaminya. Padahal suaminya itu yang mendekatiku, menawariku beberapa barang supaya aku mau jalan dengannya. Sogokan. Ya mauku sih sok jual mahal, tapi melihat barang-barang yang sudah terlanjur di beli ya apa boleh buat ku terima saja. Menolak rejeki itu pamali kan? Tapi om kampret itu cuma berkesempatan jalan sekali saja, kita di mall makan belanja. Sudah. Tak sampai ke hotel. Dihubungi lagi pun aku terus menghindar. Sampai datang ke kantorpun, ku hindari. Mungkin ia lelah sendiri dan tak muncul lagi.
Menurut kalian aku bagaimana?
Klik. Pandanganku menggelap. Lift tiba-tiba berhenti. Aku yang kaget lalu menjerit. "Argh..."
"Kil..." satu tangan memegang lenganku. Menenangkan aku yang mulai panik. Persetan dengan Gibran yang merupakan mantannya Nata. Aku butuh tenang sekarang.
Ku peluk tubuh kokoh itu. Badanku sudah bergetar. Pikiranku sudah melayang entah kembali ke masa itu. Ke masa aku seperti kali ini yang ku alami. Bayangan itu muncul lagi.
"Kil.. lo kenapa?" Gibran mencoba mengurai jarak, namun pelukanku semakin erat. Ku cengkram kaos belakangnya.
Aku sudah 10 tahun terapi. Aku sudah coba segala macam cara. Aku sudah berpikiran positif. Aku sudah bisa berdiri tegak di benda kotak berjalan beberapa tahun ini, tapi kenapa kondisi seperti, kondisi yang sama seperti dulu ku alami tetap membuat kakiku bergetar, napasku sesak. Kenapa? Kenapa ketakutan ini kembali hadir? Kenapa kenapa?
"Kil, kenapa?" Gibran bertanya lirih. Kakiku rasanya hampir luruh. Tak ada tenaga. Aku hanya mampu menggeleng di dada Gibran.
Ini kapan berakhir? Oksigen ku rasanya sudah menipis. Bayangan masa lalu itu seolah berputar di antara gelapnya pandanganku. Semakin ku cengkeram kaos milik Gibran.
Sebuah tangan melingkari diriku. Menarikku semakin memangkas jarak.
"Jangan takut, gue di sini."
Ucapan Gibran dan pelukannya kali ini bagi aroma penyejuk. Ku eratkan pelukannku. Aku tak pernah menyangka jika dada milik lelaki ini, lelaki yang dulu selalu berpegangan tangan dengan Nata, sahabatku ternyata bisa menenangkan begini. Lelaki dengan mulut kampret ternyata bisa memiliki pelukan sehangat ini.
Klik. Lampu kembali hidup. Namun aku masih tetap pada posisi yang sama. Memeluk Gibran. Gemetarku sudah menghilang perlahan, oksigenku mulai normal. Tapi maluku yang menggunung sekarang.
Dan Gibran hanya diam tak menolak.
"Orang bilang melawan ketakutan itu obat yang mujarab menghilangkan trauma, gue nggak tahu apa yang udah lo alami. Tapi yang gue tahu, yang gue yakini. Kedua kaki ramping lo lebih dari sekedar kuat buat lo jadikan penopang. Bahkan mungkin lebih kuat dari beton."
"Thanks," ucapku di dadanya. Aku malu. Sungguh. Terlihat lemah di mata orang. Aku tak mau. Mereka menatapku dengan pandangan menyedihkan, pandangan karena bentuk belas kasihan. Aku tak mau.
Ini yang terakhir. Aku janji. Semoga.
---
23.30 dan aku baru menyelesaikan pekerjaanku. Dengan menguatkan diri aku berjalan kembali menuju benda kotak berjalan itu. Aku tak mungkin berjalan kaki lewat tangga dari lantai 21 kan?
Kemarin aku sengaja izin memeriksakan diriku ke psikiater. Jadi, malam ini aku harus menyelesaikan tugas kemarin yang ku lalaikan.
Dengan tangan bertopang dinding lift aku berdiri. Seperti de javu, kembali ke masa aku pertama kali menginjakan kaki di benda kotak ini. Dan kali ini ku ulangi lagi. Walau dengan napas tak menentu, dada mulai kembang kempis tapi aku harus tetap pulang kan?
Ting. Akhirnya. Lega itu kembali menyusup. Aku seperti melewati perjalanan panjang.
Dengan napas terengah, aku keluar dari lift. Kaki ku sudah seperti jeli. Sudah lelah. Sudah tak mampu bejalan. Ku tarik napas, ku hembuskan perlahan. Ku tarik napas sekali lagi, ku hembuskan sekali.
Ayolah, Kila. Masa gini doang bikin jiper. Ini cuma lift. Cuma lift.
Aku berjalan keluar menuju tempat mobilku terpakir. Saat ku lihat punggung seorang lelaki yang sedari pagi belum ku lihat batang hidungnya di tempat yang harusnya dia berada. Januar.
Januar sedang berdiri bersama seorang lelaki yang ku perkirakan sebaya dengannya. Mukanya mirip dengan Pak Wibisana. Bosku. Tapi aku tak mengenal lelaki itu sungguh. Maksudku setiap ada perayaan kantor, aku tak pernah menemukan lelaki itu.
"Susah memang kalau ngomong sama anak pungut," ucap lelaki itu lalu pergi meninggalkan Januar yang masih berdiri mematung. Aku sudah hampir berjalan menuju mobilku saatku lihat Janur luruh, berjongkok dengan tangan mencengkeram rambutnya.
Aku bingung. Harus mendekat atau pulang.
Aku berjalan mendekatinya, ku hentakkan sepatu ku pada lantai, supaya dia menyadari kehadiranku. Keberadaan orang lain. Namun, ia tetap diam.
Aku ikut berjongkok di sampingnya, ku tepuk pundaknya. "Cowok masa nangis. Malu sama torpedo yang mulai membesar." Sindirku. Januar mengangkat kepala dan mendelik ke arahku.
Ku rogoh tasku. Ku sodorkan botol minum tersebut. Januar memang terlihat kacau, amat kacau. Rambut acak-acakan, kemeja putih tak beraturan, pekuh di keningnya. Kenapa terlihat seksi.
Ku perkirakan jelas kalau omongan lelaki itu berpengaruh. Sangat. Melihat efeknya pada Januar saat ini.
Januar menarik botol dari tanganku. Lalu menarik tubuhku mendekat. Aku membeku. Januar memeluku. Januar. Memeluku.
"Sekali ini, tolong."
Mendengar permintaan yang muncul dari mulutnya. Aku tahu dia terpuruk. Amat terpuruk.
Ku biarkan saja terlebih dahulu pelukan ini. Hangat. Jujur saja. Pelukan Januar memang hangat sejak dulu.
Ku tepuk-tepuk punggungnya ringan. Seperti yang dulu selalu ku lakukan tiap kali dia bersedih.
"Nu..."
"Hmm..."
"Udah tenang belum?"
"Hmm..."
"Nu, ngomong coba."
"Apa?"
"Kaki gue pegel jongkok terus..."
---
Tbc
Ciyeeee kila, menang banyak dipeluk dua cowok... uhuk,
Ni visual Kila... aku suka dia. Cantik strong
Karanganyar, 17 Januari 2017
FatmaLotus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top