[Dua Puluh Dua]

Saya bawa kembali hati saya

Terdengar suara Januar malam itu. Suara sarat akan luka yang pertama kali mendobrak perasaanku. Aku memalingkan wajah ke arah kanan saat Gibran memajukan kepalanya, menghentikan gerakannya seketika itu juga. Tinggal tiga sentimeter akan bertempelan tapi untung saja tak jadi.

Gibran tetap diam di tempatnya, "Kila... ternyata alis lo nggak simetris."

Kampret. Kudorong tubuh lelaki tersebut hingga terhuyung ke belakang. Gibran kembali ke belakang setir.

"Ini gambarnya hampir setengah abad. Main ngehina aja!" Kutegapkan tubuhku. Sudah tiba di gedung apartemenku ternyata.

Gibran hanya diam. Meneliti banyaknya motor yang lewat sekeliling gedung. Malam ini memang lumayan rame. Namun, mobil terasa sepi. Tak ada suara penyiar radio yang sering digunakan Gibran sebagai teman perjalanan.

Gibran pasti merasakan apa yang kupikirkan barusan. Entah dia yang enggan membahas atau memang Gibran sudah terbiasa dengan pola seperti ini. Terluka, terpikir, diam, lupakan, lalu kembali tertawa. Tanpa penyelesaian sama sekali.

"Gue jemput lagi besok, Kil. Kalau alis lo belum simetris jangan harap kita berangkat." Gibran tertawa. Untuk orang yang tak mengenalnya, mungkin berpikir bahwa Gibran baik-baik saja. Sama seperti diriku yang dulu.

Kan. Fake laugh. Pembohong besar. Membohongi diri sendiri.

"Njiiir, nggak bakal imbang tahu. Susah. Menyetarakan yang satu dengan yang lainnya itu harus sudah profesional. Memiliki jam tayang tinggi." Aku tertawa. Bukan menertawakan soal alis tapi menertawakan kegilaan kami.

Aku membuka pintu mobil, "gue balik ya," pamitku.

Gibran mengangguk. Aku berdiri di sisi jalan sementara outlander hitam tersebut berjalan. Ikut menyesaki jalanan ibu kota malam ini. Ramai yang terasa hampa di diriku. Kosong tak berujung yang terus kurasakan ini tapi sesak.

Perkataan Mang Edi tadi terus menggema di telingaku. Seperti ikut meneriakan, menyumpahi segala kebodohan yang kulakukan selama ini. Semesta sudah menunjukan digdayanya, menyiksaku dengan rasa bersalah, mengulitiku dengan perasaan sesal yang menyayat.

Sesak karena aku tak tahu di mana keberadaan Januar, sesak karena tak mampu mengucapkan maaf secara langsung. Masih dengan gaya yang kubuat-buat, kuberjalan menuju lift. Menampilkan senyum seringai, seperti biasa acap kali aku berpapasan dengan orang.

Me : lo yang minta gue buat kembaliin hati lo. Tapi lo sendiri yang secara paksa ngambilnya dari gue.

Menyisa perasaan bersalah. Sesal. Dan rindu.

Pesan yang kukirim semua centang. Tak ada satu pun yang terbaca. Aku terus menggerutu, mengumpati Januar yang beraninya meninggalkan segala macam perasaan aneh yang tak pernah kutemukan selama ini.

Andai diberi kesempatan bertemu kembali dengan Januar, aku hanya ingin mengucapkan kata maaf. Terserah dimaafkan atau tidak. Aku hanya ingin tidur nyenyak tanpa bergelimpungan dengan pikiran negatif tentang diriku sendiri.

---

"Kita harus ngomong." Suara lelaki jangkung yang berdiri di depan mejaku menghentikan kegiatanku mengetik laporan.

"Gas, minggir. Gue mau ngomong sama Kila," usir Zhio pada Bagas.

Bagas mendengus, "kerjaan gue banyak, Yo."

"Alaaah, Pak Nando lagi nggak ada."

"Yaelah, untung ganteng." Bagas akhirnya berdiri. 

Ganti Zhio yang duduk di kursi milik Bagas tadi. Menariknya mendekat ke arahku.

"Oleh-oleh buat gue mana? Yang bulan madu ke raja ampat diem-diem aja," godaku.

Zhio mendorong jidatku, "selama apa gue ngurusin nikahan sampai semua gosip tentang lo banyak banget dan gue nggak tahu. Bahkan Tiara aja nggak tahu."

"Apaan sih, lo? Ya bagus kalau Tiara nggak tahu. Berarti dia bukan bigos. Wajib kita jadikan teman," balasku, membuat Zhio makin memanas. "Tenang, Yo. Habis nikah harusnya lo jadi nggak gampang emosi. Pembuangan sudah bersih, kan?"

"Jadi, lo ada apa sama Gibran? Atau sama Januar?" Zhio memang orang yang susah dialihkan. Berbanding terbalik dengan istrinya.

"Nggak ada apa-apa," jawabku, as always.

"Nggak apa-apa gimana? Gosip yang bilang kalau lo tidur sama Januar terus Januar lo campakan dan memilih sama Gibran itu beredar di divisi gue."

"Lo percaya gue ngelakuin itu semua?" tanyaku, kembali tanpa menjawab.

Zhio menggeleng, "makanya  gue ke sini, biar gue tahu dan nggak pusing sama simpang siur soal gosip itu."

"Gue nggak pernah tidur sama Januar, bukan gue yang ninggalin Januar tapi dia yang pergi." Entah pengolahan kataku benar atau tidak. Semoga Zhio tak salah tangkap dengan maksudku.

"Kalau lo sama Gibran?"

"Gue sama Gibran bukannya dari dulu juga begini, Bran? Tempel sana tempel sini. Wajar kan?"

Zhio mengangguk, "kapan-kapan gue ajak Rizka ketemu sama lo. Dia kepikiran lo mulu. Tiap ada acara malam minggu nggak pernah ikut ngumpul sama anak-anak. Emang perlu butuh seret lo itu."

"Lah malam minggu gue jatah mangkal nyari CEO."

Zhio tak tergelak. Mungkin sudah basi dengan guyonan tak berganti dariku, "jadi kenapa lo galau Januar pergi bukan karena dia CEO, kan?" tembak Zhio.

"Bukanlah!" jawabku pada detik pertama. "Gue nggak galau ditinggal Januar, tapi ada yang butuh gue selesaikan sama dia."

"Bohong banget, kantong mata lo udah nyaingin kantong ajaibnya doraemon, Kil. Apa memang yang mau lo selesaikan sama Januar?"

Kudorong jidatnya, "kepo. Balik sana lo. Bagas udah kaya cacing kremi itu di sana," tunjukku pada Bagas yang berdiri gelisah di depan investor bule.

"Gue balik. Besok kita lanjut lagi. Gue ajak Rizka ke tempat lo." Zhio berdiri. Meminta Bagas supaya duduk kembali. Bagas sudah mengedipkan wajahnya manja. Dan itu bikin muntah.

Zhio melirikku sebelum menghilang di balik mejanya. Baru kuingat sesuatu, aku tak seutuhnya kosong. Aku punya banyak teman, walapun salah satunya adalah sumber kekacauan hati Gibran.

Jadi, bukankah tetap ada yang mampu kita syukuri dalam hidup?

---

"Bran, tu cewek nengok mulu ke sini," ucapku, memberi informasi. Sedari tadi kami membuka pintu restoran, perempuam tersebut mencuri pandang ke arah kami.

Gibran menengok, mencari objek yang kumaksud. Namun, tak berselang lama Gibran melanjutkan makan. "Itu tadi Markisa yang dulu mau dikenalin sama gue."

Kupindai gadis tersebut dari tempat dudukku. Lumayan cantik. Pasti tinggi dan rambutnya bergelombang. "Kok lo nggak mau nikah sana dia."

"Gayanya sok banget, Kil. Barang warna tabrak-tabrakan aja masih dipakai. Meski barang brand tapi kalau nggak bisa menyelaraskan warna tetap aja hasilnya aneh."

"Kalau gue? Gue suka pakai warna macam-macam. Jadi, gue aneh juga dong?"

"Lo jaman SMA yang dekil aja tetep banyak naksir. Lah apalagi sekarang, Kil, lo gaya ondel-ondel juga masih banyak yang mau nerima."

Kulemparkan sebuah tisu, "sialan, kalau Nata?"

Gerakan tangannya terhenti sejenank, kembali melanjutkan dan bersikap biasa. Gibran benar-benar ahli dalam menyembunyikan perasaan. "Kalau Nata itu..." jedanya seperti menerawang, membayangkan wajah Nata, "Nata itu sederhana tapi memukau."

Shit!

Itu lebih dari sekedar cantik.

Sudah hampir dua minggu aku 'saling bantu' dengan Gibran tapi selama itu tak ada progress apapun. Pernah beberapa kali kupergokki Gibran menghidupkan lampu sen ke perumahan Nata. Namun, saat menyadari aku duduk di sampingnya. Gibran melanjutkan outlandernya lurus saja.

"Bran..."

"Hmm..."

"Menurut lo kita udah sampai mana?"

"Apanya?"

"Ya ini, yang kata lo kita saling bantu."

Gibran mengalihkan pandangannya padaku. Sata kata. Mata itu tetap kosong. Tak terisi apapun.

"Bran, untuk membangkitkan seseorang yang jatuh setidaknya salah seorang diantara kita itu berdiri, sementara kita sama-sama jatuh. Jadi, dengan apa kita harus saling bantu?

"Gue kosong, lo kosong, dan untuk saling mengisi setidaknya harus ada komposisi yang lain. Lalu, harus kita isi apa kekosongan kita?"

Gibran diam. Menelaah ucapanku, kemudian pandangan makin menerawang. Meletakan sendok dan garpunya di meja. Menatap padaku, sebelum mengembuskan napasnya. Terang-terangan menunjukan lelahnya dirinya.

"Kandidat yang gue harapkan bisa mengisi kekosongan hati gue, kalau nggak Nata ya cuma lo. Lo emang juara kalau urusan mengisi kekosongan hari gue yang tak berwarna. Namun, untuk mengisi hati gue. Ternyata itu nggak cukup."

"Terus gimana sama nyokap lo?"

"Ya udah, terima nasib aja dijodohkan sama nyokap gue.

"Yang semodel Markisa itu juga oke."

"Gue mau yang lebih dewasa. Ya minimal secantik elu lah."

"Bran..."

"Semoga lo bahagia ya, Kil. Gue khawatir kalau lo masih begini-begini aja."

"Yaelah...."

"Kalau nanti nggak ada yang bisa bikin lo bahagia. Gue ada di belakang lo."

Aku mengangguk. Tersenyum pada Gibran. Mulai malam ini aku akan mempersipkan diriku seorang diri menghadapi sesal dan perasaan bersalah. Bukankah sebelum meminta maaf pada orang lain, lebih baiknya kita coba memaafkan diri sendiri.

Aku akan mencoba berdamai dengan diriku. Kelak, entah sendiri atau berdampingan, aku akan menyayangi diriku terlebih dahulu.

Semoga.

---

Tbc

❤1112345678 Likes
Gibran_Wiratama kelak, diakhir cerita kita akan tahu. Bahwa untuk mencapai happy ending, kita harus mengawali dengan mulai terbiasa menertawakan luka.
View all 1233 coments
ZhioArkh ahelah Bran. Galau juya lo?
Shakila_Indira skg jd editor crta gan?

❤22234578 Likes
Shakila_Indira Ya sudahlah.
View all 1234 coments
RizkAyu Kilaaa wae?

Karanganyar, 14 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top