[Dua Belas]

"Nata..." Gibran berjalan mendekat, berdiri di dekat Rivan, "kamu apa kabar?" tanyanya kembali saat sudah tak melangkahkan kaki.

Dari tempatku berdiri—di depan Gibran—aku seperti ditarik ke masa di mana tatapan milik Gibran selalu hadir untuk Nata dari dulu selalu sama; saat SMA.

"Baik, kamu apa kabar?" tanya Nata balik. Tangan Nata masih sibuk di pipi Azka yang berada digendongan Rivan.

"Yaelah, Bran, bini orang ini masih aja ditanyain," seloroh Dinda. "Udah jadi emak dua anak ini, masih aja ditungguin."

Gibran terlihat tak terusik dengan sindiran Dinda. Mata sehitam jelaga milik Gibran bergerak ke sana ke mari mengikuti pergerakan tangan Nata. Aku mengamati terus sambil memutar ujung gelas minuman yang kuambil saat mengembalikan Abyan tadi.

"Baik, Nat. Meski tak sebaik dulu," jawab Gibran datar.

"Ehm!" Panji berdeham setelah kembali dari pertemuannya dengan Pak Wibisana, merangkul Nata erat. Memproklamirkan kepemilikannya. Wajahnya terlihat biasa, tak ada gejolak amarah sama sekali. Panji dan wajah datarnya. "Kamu sendirian saja, Bran?"

"Anjiiir, aku masih ganteng nggak, Bun?" celetuk Rivan. "Bakal ada drama ini, siapa tau ntar masuk televisi, kan lumayan jadi artis."

Dinda terlihat mencubit perut Rivan, meminta sang suami tetap diam saja. Aku yang biasanya mampu menguasai diri kali ini memilih diam dan menjadi pengamat.

"Iya, sendirian aja. Mau sama siapa emang?" Gibran menjawab tak kalah tenang. "Oh iya, Bos, Murai pesanan lo udah ada di tempat gue," tambah Gibran membuatku semakin erat menggenggam gelas.

"Kapan bisa saya ambil?" Panji bertanya.

"Kil..." satu panggilan dan tepukan di pundakku membuat Gibran dan Panji menghentikan pembicaraan mereka. Ganti menatap kepadaku.

"Pak Wibisana ngajakin kita foto bareng anak-anak kantor. Dia mau buruan balik. Sebelum diamuk para bininya," terang Bagas.

Aku hanya mendengarkan saja penjelasan dari Bagas tanpa menoleh ke samping. Kali ini aku tengah beradu tatap dengan Gibran yang menyadari keberadaanku.

"Kila..." lirih Gibran.

Aku menulikan diri. "Titip." Memberikan gelas pada Rivan, mencium pipi montok Azka kemudian berbalik mengikuti Bagas tanpa menoleh kembali pada Gibran.

"Malam, Pak. Gagah sekali pakai batik begini. Terlihat 60 tahun lebih muda." Aku menyalami bosku yang sebenarnya: Pak Wibisana.

Beliau tergelak kemudian, "padahal saya belum ada 60 tahun. Tapi terima kasih untuk pujiannya."

Aku ganti mengangguk.

Beliau menatap kami satu persatu yang kebetulan diundang. "Anak saya nggak membuat kerepotan yang berarti pada kalian, kan, selama bekerja?"

"Repot, Pak." Lana yang menjawab, dengan semangat. "Repot bikin orang susah fokus kalau lihat bos Janu," lanjut Lana cekikikan tanpa rasa bersalah.

Pak Wibisana ikut tergelak. Merangkul Januar yang berdiri tepat di sebelahnya, "iya, ya. Januar masih single saja padahal sudah mau 31 tahun. Cewek kantor juga pada cantik. Tapi ntahlah, seleranya Januar seperti apa. Kalau nanti 32 tahun belum menikah. Mau saya jodohkan saja."

"Pa..." sela Januar.

Eh? Januar dan perjodohan? Aku menatap Januar, mencari penjelasan tapi lelaki itu memilih mengarahkan netranya—yang malam ini tertutup kacamata—ke mana saja asal tak menatapku. Aku tahu Januar anak penurut. Dari sejak masih mengenakan seragam putih abu-abu, jarang sekali Januar mengelak acap kali diminta melakukan sesuatu oleh Ibunya. Bahkan saat Ibunya menikah kembali dengan Pak Wibisana. Januar hanya akan diam pada sang Ibu. Selalu. Aku tahu bagaimana keengganan Januar berbagi suara dengan sang Ibu.

"Kila... bisa carikan saya perempuan yang pas dengan Januar." Pak Wibisana kembali berucap.

Eh?

"Kila masih sendiri, kan? Belum punya pacar?"

Eh?

"Dulu satu sekolah sama Januar juga, kan?"

Eh? Kok tahu. Aku berdeham, "siap, Pak. Tinggal tulis list kriteria mantu yang bapak mau," jawabku sambil tersenyum.

"Iya, Pak. Dunia sempit banget ya. Perasaan tiap saya ke mana. Pasti kalau ditanya kenal Shakila Indira Listy. Ada saja yang kenal. Emang dasar si Kila kalau nggak mantan gebetan." Siska berbicara tanpa rem.

Aku melirik tajam ke arahnya.

"Cewek cantik emang gampang jadi apalan." Bagas yang menjawab.

"Tau aja lo cewek cantik. Biasa juga nyari lekong." Rian dengan lebih gilanya menjawab, berhadiah tendangan oleh Bagas.

Paka Wibisana tertawa. Yang lain pun ikut tertawa terbahak. Aku pun tak mau kalah sumbang suara.

"Iya, Kila memang cantik. Dari dulu. Nggak pernah berubah." Januar berkata membuat gelak tawa kami mereda seketika.

Mendengar ucapan Januar ada sesuatu yang merekah dan terasa panas di pipiku. Aku terseret ombak dari tepian hingga tengah laut dan tak mampu berdiri tegak. Ayolah, di mana Kila yang dulu selalu berdiri tegak meski dihantam gombalan apapun. Namun, bisakah diartikan ucapan Januar sebagai gombalan.

"Kila malu-maluin nggak kalau jadi mantu bapak?" Bagas berucap.

"Ehm! Kapan gue malu-maluin? Lo tu yang selalu memalukan," ucapku tenang. Menolak sekuat tenaga perasaan merekah yang tadi hadir.

"Sialan!"

"Udah, foto aja kita," ajak Pak Wibisana.

Aku berjalan di samping Bagas. Merangkul lengan lelaki—setengah lelaki—saat tercium bau harum yang terasa familiar di hidungku.

"Kamu cantik malam ini. Cocok sekali memakai batik. Terima kasih," bisik Januar, kemudian berlalu meninggalkan aku yang mulai mencengkeram lengan Bagas.

Sialan Januar.

"Lo ada apa sama bos Janu?" Bagas yang mungkin menyadari keberadaan Januar yang mulai menjauh memilih bertanya.

Aku mengedikan bahu. Mencoba tak acuh tapi tetap saja bahu dan punggung tegap milik Januar tak bisa dilewatkan begitu saja. Aku memilih menikmati, tak acuh dengan omongan orang. Bukankah rezeki itu tak boleh ditolak? Dan memandang punggung Januar merupakan rezeki mataku.

---

"Tunggu, Kil."

Aku memelankan langkahku saat terdengar panggilan dari belakang. Gibran. Menyamai langkahku, mencoba merangkulku tapi aku mengelak.

"Bran..."

"Hmm..."

"Perasaan lo sama Nata itu gimana?"

Gibran berhenti melangkah. Secara tak sadar aku juga menghentikan langkahku.

"Lo jangan malu-maluin gue, Bran. Udah lebih dari seperempat abad masa hidup hanya berotasi pada satu wanita," guyonku.

Namun, Gibran tak menampilkan mimik wajah santai seperti biasanya. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dan itu pasti soal pertanyaanku barusan: tentang perasaannya. "Gue nggak tahu apa gue bisa dikatakan sebagai tukang gamon seperti yang lu bilang." Gibran terlihat kembali menarik napas, "demi Tuhan, gue nggak pernah berharap Nata cerai dari suaminya. Bahkan memimpikan Nata bertengkar dengan Panji saja, gue nggak pernah. Serius.

"Tapi gue juga nggak tahu kenapa gue dengan isengnya menanyakan kabar Nata. Walaupun gue tahu yang balas selalu Panji. Tapi itu seperti kebiasaan dan gue nggak tahu gimana cara ngilangin itu. Sama seperti acap kali gue berjumpa dengan Nata, ada medan magnet yang tiba-tiba narik gue buat mendekat. Sekedar melihat Nata baik-baik saja, dia bahagia atau tidak, Nata tersenyum tulus atau pura-pura."

Gibran benar-benar serius dengan ucapannya barusan. Tak ada guyon atau candaan berlebih. Semua nyata dan tergambar jelas di bola sehitam jelaga miliknya. "Gue nggak tahu, Kil. Kenapa gue selalu merasa ada penyesalan. Selalu ada kata andai yang nggak bisa gue bongkar satu persatu dari kepala gue. Andai dulu gue nggak ninggalin Nata, andai dulu gue nggak hilang kabar. Andai dulu gue..."

Gibran terlihat terengah. Lelaki itu mencengkeram pundakku. "Gue harus apa?" Kali ini suaranya terdengar frustasi.

Inilah Gibran. Lelaki kocak yang selalu tertawa seperti diriku. Selalu ada lubang dalam di antara sela tawa. Selalu ada luka di balik canda. Selalu. Bahkan, orang dengan tawa paling keras, kadang dialah orang paling terluka, paling kesepian. Sama seperti diriku.

"Karena jiwa lo masih berontak dengan apa yang sudah digariskan Tuhan. Lo coba menyalahkan takdir. Kasihan sama badan lo, Bran. Cobalah berdamai dengan diri sendiri dengan menerima kenyataan. Melepaskan yang bukan seharusnya. Karena waktu tak akan berhenti bergerak hanya demi nunggu diri lo bebas."

Gibran dengan tak disangka memelukku erat. Jantungku bertalu. "Terima kasih," ucapnya. Sesekali terjadi gesekan antara ujung kepalaku dan hidungnya.

Kudorong tubuhnya yang membuat jantungku berontak, meronta meminta ruang. Karena sesak. Sesak oleh perasaan yang entah tak kutahui apa. "Di dunia ini nggak ada yang gratis. Satu kali konsultasi sama bu Kila Teguh itu 50 juta. Atau Outlander lo juga boleh," candaku. Merasa aneh dengan keadaan kaku yang terjadi di antara aku dan Gibran.

"HAHAHA tetep ya, Kil." Gibran merangkulku. Kali ini aku tak menolak. Berjalan ke arah mobil Gibran. "Betewe, lo cantik banget."

"Cantik gue apa Nata?"

"Auranya beda."

Ponselku bergetar.

From : 087808321×××

Sy siap memberikan satu ruang penuh untuk kamu di hati saya. Tp kamu memilih hidup berdesakan dengan wanita lain di hati lelaki itu?

Deg!

Aku menengok ke belakang. Memutari ruangan tapi tak terlihat siapapun.

---

Kila sama Gibran kemarin ni. Siapa yang tidurnya gini 😂😂😂😂


Kalau kila sama Janu mungkin gini ya 😂😂😂😂

Atau malah gini?

Karanganyar, 3 April 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top